Belajar
Menjadi Presiden
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian
Analisa Medan, 23 Februari 2015
"Jokowi baru belajar jadi presiden", itulah celetuk Mantan
Menko Perekonomian Rizal Ramli (Okezone.com, 19/11/2014). Ungkapan tersebut
sebagai kritik terhadap Presiden RI Joko Widodo yang telah menaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu ketika harga minyak dunia turun.
Dan ironisnya beberapa hari kemudian, harga BBM diturunkan kembali sampai dua
kali.
Karena “baru belajar jadi presiden”
Rizal Ramli meminta anggota dewan di Senayan memaklumi kesalahan tersebut. Dan
seperti yang diketahui, interpelasi kepada presiden soal kenaikan harga BBM
yang sempat diwacanakan dengan sangat antusias oleh para anggota dewan mendadak
lenyap begitu saja.
Seperti pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono, selain menghadapi masalah BBM, pemerintahan Jokowi-JK juga
menghadapi perseteruan Polri versus KPK. Bahkan kali ini lebih sengit ketimbag
“Cicak vs Buaya” jilid I maupun jilid II, sehingga kerap menjadi anekdot “Cicak
vs Godzilla”.
Kalau “Cicak vs Buaya” jilid I
maupun jilid II hanya menyangkut perseteruan jajaran petinggi Polri yang
pangkatnya masih di bawah Kepala Kepolisian RI. “Cicak”-nya adalah KPK,
sedangkan “Buaya”-nya pada waktu itu Kepala
Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri, Komjen Susno Duadji. Dan untuk jilid II, KPK versus
Kepala Koordinator Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri, Irjen Djoko
Susilo. Kali ini, KPK berhadapan dengan yang lebih besar dari “Buaya” yaitu
“Godzilla”
Banyak
pihak menuding, perseturuan Polri-KPK, tak lepas dari kesalahan “baru belajar
jadi presiden” oleh Jokowi. Ketika memilih para menteri, Jokowi melibatkan KPK
dan PPATK untuk menelisik integritas para calon menteri. Tapi ketika memilih calon
Kapolri, mengapa tidak melakukan hal yang sama? Padahal jauh sebelumnya sudah
ada rilis dari beberapa lembaga tentang nama-nama petinggi Polri yang diduga
memiliki “rekening gendut”.
Ada pihak lain yang juga menuding,
adagium black campaign selama
kampanye Pilpres lalu, bahwa Jokowi hanya petugas partai sehingga akan menjadi
“presiden boneka”, dan dalam konteks kekinian nyaris tak terbantahkan. Slogan
kampanye tanpa transaksi jabatan dengan dukungan, maupun kompensasi bagi-bagi
proyek, ternyata menjadi bumerang bagi Jokowi sendiri.
Sebagai presiden yang baru belajar,
Jokowi secara kasat mata masih merasa di bawah bayang-bayang Megawati
Soekarnoputri yang secara langsung maupun tidak langsung menjadikannya sebagai
mentor. Mantan Wamenkumham, Denny Indrayana, bahkan dengan keras menuding jika
Jokowi telah memindahkan Istana Negara ke Jalan Teuku Umar (kediaman Megawati).
Ujian Pertama
No free
lunch – tak ada makan siang gratis. Di dunia politik slogan itu adalah
keniscayaan. Slogan kampanye tanpa politik transaksional seakan terlupakan,
karena yang terjadi saat ini adalah politik balas budi untuk orang-orang yang
berjasa, baik diberi jabatan maupun kompensasi proyek. Dan Jokowi telah
terjebak di dalamnya.
Presiden
Jokowi seharusnya berani menanggalkan
stigma publik yang selama ini dilekatkan pada dirinya, yakni hanya sebagai
'petugas partai'. Karena itu, sebagai presiden, Jokowi harus berani mengambil
langkah esktrim kepada partai pendukung dan tokoh-tokoh yang mendukungnya,
dengan memberi garis batas tegas, boleh beri pertimbangan, tapi jangan
merepotkan, agar pemerintahannya bisa berjalan efektif dan tidak tersandera
selama lima tahun.
Posisi yang
terjadi saat ini memang menempatkan Jokowi menjadi serba tidak enak dengan
mendapat tekanan dari segala arah. Mulai dari kekuatan politik pendukung,
orang-orang dekat, para tokoh, serta masyarakat. Dia harus melepaskan diri dari
kondisi yang serba tidak enak ini. Selain itu publik melihat Jokowi hanya
sekadar punya jabatan sebagai presiden. Namun yang kontrol kewenangannya ada di
tangan orang lain.
Jokowi perlu
menunjukkan bahwa dirinya adalah presiden yang sebenarnya. Bukan petugas partai
yang menjabat sebagai Presiden. Jokowi
harus ingat, bahwa dia adalah Presiden RI, presiden bagi seluruh rakyat,
baik rakyat yang memilih dan yang tidak memilihnya.Karena itu dia harus
melepaskan diri dari bayang-bayang orang lain. Caranya adalah segera memberi
batasan kepada parpol pendukungnya, sejauh mana mereka boleh terlibat dalam
memberi masukan dan pertimbangan, tapi tidak untuk pengambilan keputusan.
Saat
ini merupakan momentum bagi Jokowi untuk menegaskan diri, ia adalah Presiden RI
yang sebenarnya. Bukan presiden yang terkesan manut oleh tekanan partai atau
para tokoh pendukungnya. Masa-masa belajar menjadi presiden telah usai, ini
saatnya memasuki masa ujian atau test atas kepemimpinannya. Jokowi harus berani
menarik garis tegas, bahwa untuk soal pemerintahan bersih, bebas kroni, kolusi dan
pemberantasan korupsi, dia tidak bisa kompromi.
Perseteruan antara
Polri-KPK merupakan ujian pertama yang harus diselesaikan Presiden Jokowi. KPK
saat ini nyaris runtuh, beberapa komisioner KPK dituduh melakukan pelanggaran
hukum dan etika. Dan ironisnya, yang ‘menggembosi’ komisioner KPK adalah
orang-orang partai pendukung Presiden Jokowi.
Pada era pemerintahan
Presiden SBY, tercatat, empat kali beliau mengangkat Kapolri. Wakil Ketua KPK
Bambang Widjojanto menjelaskan bahwa di era SBY, KPK diminta melakukan uji
sahih LHKPN para calon Kapolri dan hasilnya diserahkan langsung pada Presiden
sebagai bahan Presiden untuk menentukan calonnya. Presiden RI SBY juga
melibatkan PPATK. Pelibatan KPK dan PPATK ini memang tidak diumbar ke publik,
sampai dibuka sendiri informasi ini oleh orang KPK dan politisi di DPR.
Banyak pelajaran
positif dari perlakuan ini. Di antaranya tidak mempermalukan nama pejabat
negara jika gagal diajukan sebagai calon Kapolri karena pelibatan KPK dan PPATK
dilakukan secara tertutup, mendapat sudut pandang berbeda sehingga pertimbangan
menjadi lebih matang, menghindari penolakan hebat dari publik, gejolak politik,
serta gangguan atas stabilitas ekonomi negara, jika calon Kapolri yang diajukan
ternyata ditolak oleh banyak kalangan karena diindikasi tidak bersih atau tidak
memiliki integritas dalam pemberantasan korupsi, serta banyak hal lainnya. Pelibatan
KPK dan PPATK merupakan tradisi baik, dan seyogyanya hal baik dicontoh oleh
siapa pun yang menjadi presiden.
Visi ke Depan
Sebagai presiden Jokowi
harus ingat akan janji dan visinya. Jokowi harus ingat, bahwa dia dipilih
langsung oleh rakyat, bukan oleh partai. Mandat yang dia terima adalah mandat
rakyat, bukan mandat partai. Dia adalah pelayan rakyat, bukan pelayan partai.
Jokowi harus cepat belajar, lulus dari semua ujian, dan berakhir menjadi
Presiden yang sesungguhnya.
Ada cerita
tamsil tentang ini. Konon, dalam rangka memperingati Hari
Kemerdekaan, sepuluh ekor anak kodok menggagas lomba memanjat menara. Karena
penasaran khalayak ramai berkerumun menyaksikan lomba yang tak lazim itu.
Mereka bertepuk dan bersorak-sorai, namun sejatinya bukan memotivasi, bahkan
kebalikannya, mengejek, mencemooh, dan menafikkan kemungkinan kesepuluh anak
kodok itu akan berhasil.
Benar juga apa kata penonton, satu
demi satu anak-anak kodok itu tergelincir jatuh. Teriakan penonton semakin
brutal, dan kian banyak pula peserta lomba yang terpeleset dan gagal. Namun
tunggu dulu. Ada satu anak kodok yang terus berjuang. Ia sama sekali tak
terpengaruh. Ia terus merayap menunju puncak menara. Perlahan tapi pasti, dan
akhirnya dia berhasil! Maka penontonpun heran. Mereka mencoba mencari tahu
mengapa anak kodok yang satu ini sukses mencapai puncak menara. Dan ternyata
dia tuli!
Kesimpulannya, kalau
mau berhasil jadilah pemimpin yang ”tuli”. Tuli terhadap seruan negatif para
provokator. Tuli terhadap semua bisikan yang tidak membesarkan diri. Sekali
anda punya niat baik, punya mimpi besar untuk mengubah diri dan dunia di
sekitar anda, fokuskan pandangan ke depan, mantapkan hati, busungkan dada,
bermunajat mohon pertolongan dan penjagaan Allah SWT, lalu melangkahlah!
Godaan paling klasik dari para
provokator itu adalah cercaan bahwa impian kita tidak realistik. Impian memang
mestilah tak realistik saat ini, di sini, bagi orang-orang yang tak
mempercayainya. Bahkan, sebenarnya dalam hidup kita tak pernah sunguh-sungguh
mengalami apa yang disebut ”realita”, karena yang kita alami adalah persepsi panca
indera kita tentang realita. Jika tidak hati-hati, yang kita sebut realita akan
lebih banyak menjadi jeruji besi pemasung cita-cita. Dan lebih lanjut, pada
titik inilah seorang pemimpin sejati menjadi begitu berbeda: keyakinannya
terhadap sebuah impian yang hebat, sense of certainty-nya, membuatnya
mampu mencapai apa yang dianggap tidak realistik oleh orang lain.
Jadi untuk Yang Terhormat Bapak
Jokowi, berhentilah belajar menjadi Presiden. Karena Anda saat ini adalah telah
menjadi Presiden RI yang sebenarnya untuk seluruh rakyat Indonesia. Masa-masa
belajar telah usai, saat ini adalah masa-masa tindakan. Mengutip kata-kata
bijak Donald H.McGannon, “Kepemimpinan itu
tindakan, bukan jabatan”.***