Meretas
Kenaikan Harga Beras
Oleh : Fadil Abidin
Sebagai
guru Sekolah Dasar menghadapi anak-anak lugu nan belia dengan
pertanyaan-pertanyaan kritis terkadang membuat saya sulit menjawab dengan
tepat. Seperti sebuah pertanyaan,”Negara kita adalah negara agraris, tapi
mengapa harga beras mahal, Pak?”
Menjawab
pertanyaan ini butuh kebijaksanaan guru karena yang bertanya adalah murid SD.
Penjelasan yang panjang, komprehensif, atau tuntas malah akan membuat sang
murid tambah bingung. Guru yang bijak justru akan menantang sang murid untuk
mencari jawaban bersama melalui sumber-sumber media massa, televisi, surat
kabar, atau internet.
Pertanyaan
tersebut sebenarnya menjadi pertanyaan kita semua. Mengapa negara kita sebagai
negara agraris yang mayoritas penduduknya hidup di sektor pertanian justru
harga beras mahal? Beras adalah makanan pokok rakyat Indonesia. Kenaikan harga
beras akhir-akhir secara nasional rata-rata 20% patut menjadi perhatian kita.
Ada
banyak sebab dan alasan mengapa harga beras mengalami kenaikan harga yang tak
wajar akhir-akhir ini. Perum
Bulog mengungkapkan kenaikan harga beras disebabkan kekosongan stok dalam tiga
bulan sebelumnya, yakni periode November-Desember 2014 dan Januari 2015.
Kekurangan stok terjadi karena
faktor alam seperti musim paceklik yang berlangsung lama, sehingga
mengakibatkan mundurnya jadwal panen raya di Indonesia. Mestinya Februari
hingga Mei sudah panen raya, tapi karena hujan datang terlambat, maka jadwal
tanam dan panen ikut mundur sekitar satu hingga 1,5 bulan sehingga musim
pacekliknya lebih lama.
Sementara banyak pihak menduga kenaikan
harga beras akhir-akhir ini akibat adanya permainan ilegal yang dilakukan oleh
oknum tertentu. Para spekulan yang sengaja menimbun dan menahan stok beras
dengan tujuan tertentu. Ada juga tudingan, harga beras naik karena ada peran
kartel atau mafia beras yang ingin agar pemerintah membuka keran impor beras.
Kuota atau hak impor beras inilah yang menjadi incaran para mafia beras.
Penyebab
lainnya adalah terlambatnya
penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin) sebesar 30 persen dari kebutuhan
beras nasional. Pemerintah terlambat menyalurkan raskin karena berniat
mengganti penyalurannya ke uang elektronik (e-money).
Akibatnya, pengonsumsi raskin beralih dengan membeli beras yang dijual di
pasaran, permintaan beras meningkat, stok berkurang sehingga harga pun naik. Beras
raskin yang harusnya dibagikan pada November dan Desember 2014 tidak diberikan.
Sehingga 15 juta pengguna raskin membludak membeli beras di pasaran.
Banyak Sebab
Kenaikan harga beras yang tidak
wajar, jelas menyudutkan pemerintahan Jokowi-JK yang bertekad mewujudkan
swasembada dan kedaulatan pangan. Ada yang menganggap pemerintah telah gagal
karena tidak mengantisipasi musim paceklik lebih panjang dari biasanya.
Walaupun negara kita adalah negara agraris, tapi sektor pertanian belum menjadi
hal yang penting. Pertanian kita mayoritas masih bersifat tradisional, nyaris
sama dengan sistem pertanian di zaman Sriwijaya atau Majapahit tempo dulu.
Mayoritas petani kita masih menggunakan pacul atau cangkul, lebih maju
lagi menggunakan hewan seperti kerbau atau lembu untuk membajak sawah. Kalaupun
menggunakan peralatan modern, masih sebatas penggunaan traktor tangan. Selama
beratus-ratus tahun, usaha tani tergantung dengan kemurahan alam. Sektor
pertanian kita sangat tergantung iklim dan cuaca. Saat terjadi anomali iklim,
sudah bisa dipastikan sektor pertanian akan terganggu.
Hambatan lain adalah subsidi di sektor pertanian yang kerap salah
sasaran. Subsidi pupuk atau subsidi benih unggul untuk petani kerap
diselewengkan. Pemberantas hama tanaman dan peralatan pertanian semi-modern
harganya relatif tinggi sehingga tak terjangkau para petani. Sementara sistem irigasi
belum maksimal, banyak proyek pembangunan irigasi dikerjakan asal-asalan dengan
kualitas seadanya, beberapa tahun kemudian sudah rusak. Ada juga irigasi yang
dibangun tanpa daya dukung alam yang memadai sehingga tidak ada air yang
mengalir ke sawah-sawah.
Tantangan lain adalah alih fungsi sawah untuk hal di luar pertanian.
Setiap tahun ribuan hektar sawah beralih fungsi menjadi pabrik atau perumahan.
Sementara pencetakan sawah-sawah baru tak kunjung terwujud. Program
transmigrasi agar ada orang yang bersedia mengolah sawah juga belum maksimal. Pembangunan
dam atau bendungan untuk menampung air juga belum gencar dilaksanakan.
Selain tanpa dukungan teknologi, pertanian kita juga nyaris tanpa
didukung ilmu pengetahuan. Sarajana-sarjana pertanian kita, mayoritas belum
bersedia turun ke desa untuk menjadi penyuluh-penyuluh pertanian. Faktor
insentif dan ekonomi dari pemerintah untuk mereka kurang menjadi daya tarik
para sarjana pertanian untuk membangun desa.
Banyak sebab mengapa pemerintah kita dari tahun ke tahun sangat sulit
mempertahankan swasembada beras dan hasil pertanian lainnya. Slogan ketahanan
dan kedaulatan pangan seakan menjadi slogan belaka tanpa diikuti
langkah-langkah drastis untuk memajukan sektor pertanian.
Mafia Beras
Sesungguhnya, tidak ada lonjakan
berarti dari sisi permintaan konsumen. Istilahnya, permintaan relatif datar
walaupun ada peralihan beras raskin. Persoalannya terletak pada terhambatnya
suplai karena banyak hal. Mulai dari perubahan cuaca, pergantian musim dan
bencana alam. Kenaikan harga tersebut juga disebabkan lantaran adanya penurunan
produksi hampir 1 persen di 2014.
Struktur pasokan beras di negara kita memang aneh, terjadi oligopoli
yang dikuasai beberapa orang yang berkuasa. Pada beberapa rantai distribusi,
khususnya penggilingan beras dan pedagang besar masih dikuasai oleh segelintir
orang. Sedikit sekali jumlah pengusaha penggilingan dan pedagang besar, menyebabkan
mereka bisa dengan bebas memainkan pasokan dan harga jual beras di pasar. Akibatnya
Bulog yang berperan sebagai stabilisator harga beras menjadi tidak berjalan.
Peran tersebut justru berpindah ke pemilik penggilingan beras dan para pedagang
besar.
Kenaikan harga beras bisa jadi karena ulah spekulan dan mafia beras yang
hendak membentuk opini bahwa Indonesia kekurangan beras sehingga kebutuhan
tersebut harus diimpor. Proyek impor beras inilah yang kerap menjadi bahan
bajakan untuk memperoleh rente ekonomi yang tinggi. Harap tahu aja, harga beras
impor kualitas premium asal Vietnam sekitar Rp 6.000 per kg. Ketika sampai di
Indonesia bisa dijual menjadi Rp 12.000 per kg. Ukuran per kg saja mereka telah
untung 100%, konon pula sampai beribu-ribu ton.
Beras impor dari Vietnam, Thailand atau negara lainnya memang lebih
murah dan lebih berkualitas dibanding
dengan beras lokal. Tapi apapun keadaannya, impor beras bukanlah solusi bijak
untuk mengatasi kebutuhan beras nasional. Impor beras justru akan mematikan
petani padi lokal. Ketika hasil panen mereka tidak dibeli atau dihargai dengan
pantas, mereka akan berhenti menjadi petani dan menjual sawahnya. Akibatnya,
negara akan tergantung terus-menerus dengan beras impor. Target swasembada, ketahanan
pangan atau kedaulatan pangan hanya akan menjadi slogan kosong belaka.
Selain inflasi, kenaikan harga beras jelas akan mengakibatkan multiple effect atau efek berantai
terhadap kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya. Untuk itu perlu dilakukan langkah
yang tepat agar kenaikan harga beras dapat diretas atau diputus sehingga tidak
menimbulkan masalah sosial.
Pemerintah harus meretas (memutus) kenaikan harga beras dengan
mengeluarkan berbagai insentif dan subsidi untuk pertanian, membuka lahan sawah
baru, memodernisasi pertanian, menghapus praktik oligopoli, dan memberantas
mafia beras. Beras adalah komoditas strategis sehingga harus dijaga kestabilan
harga dan pasokannya. Tanpa beras dengan harga yang terjangkau niscaya rakyat
akan galau!***