Ujian Bagi Asas Persamaan di Depan Hukum



Ujian Bagi Asas Persamaan di Depan Hukum
Oleh : Fadil Abidin

            Kasus kecelakaan maut (01/01/2013) yang melibatkan Rasyid Amrullah Rajasa, putra bungsu Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Ketua Umum Partai Amanat Nasional, bakal calon presiden 2014, juga merupakan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi ujian bagi para penegak hukum dalam menjunjung tinggi asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Mobil BMW X5 jenis SUV yang dikemudikan Rasyid menabrak angkutan umum pelat hitam Daihatsu Luxio, tabrakan itu mengakibatkan dua orang tewas dan tiga orang lain terluka.

            Usai kecelakaan terjadi, pejabat Polda Metro Jaya tampak sangat berhati-hati dalam menyampaikan informasi. Tidak ada keterbukaan seperti kasus ‘Xenia maut’ Afriyani Susanti yang menewaskan sembilan orang di Tugu Tani Jakarta beberapa waktu lalu. Kala itu polisi langsung membeberkan fakta terkait kecelakaan tersebut, dari data pengemudi hingga penetapan tersangka. Sementara dalam kasus Rasyid, polisi seakan ragu dan menunggu ‘lampu hijau’ dari Hatta Rajasa terlebih dahulu yang beberapa jam kemudian melakukan konperensi pers.
            Asas hukum equality before the law atau persamaan di hadapan hukum dapat dimaknai bahwa setiap orang kedudukannya sama di depan hukum. Baik itu orang kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, berpendidikan atau tidak. Sebagai negara hukum, Indonesia menegaskan dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945, bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Meski telah menjamin persamaan dan kesetaraan di depan hukum ini dalam konstitusi, tapi dalam praktiknya hukum di Indonesia ibarat pisau belati, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Lihat saja kasus Lanjar Sriyanto, pria asal Karanganyar, Jawa Tengah. Ia dijebloskan ke penjara dengan tuduhan telah membunuh istrinya. Mulanya, ia berboncengan sepeda motor dengan anak dan istrinya dari suatu kunjungan Lebaran tahun lalu. Di tengah perjalanan, istrinya terpental ke sisi lain jalan lantaran Lanjar tak mampu menguasai motornya setelah mobil di depannya berhenti mendadak. Nahas, dari arah berlawanan melaju mobil yang dikemudikan oleh anggota kepolisian setempat. Tanpa bisa dicegah, istri Lanjar pun tergilas mobil itu dan meninggal dunia seketika.
Kelanjutan kasus itu kita semua tahu. Tidak cukup kehilangan istri, Lanjar pun mesti mendekam di penjara. Sebab, hukum mengatakan, dialah yang menyebabkan istrinya tewas, bukan supir yang anggota kepolisian itu. Lanjar yang lemah, miskin, buta hukum, tak punya koneksi pejabat, dan tidak mampu membayar pengacara itulah yang mesti bertanggung jawab. Supir anggota kepolisian yang menabrak istri Lanjar hingga tewas itu justru terlepas dari jeratan hukum. Ironis.
Langit Runtuh
Kita takut, kasus yang menimpa putra Hatta rajasa tersebut akan berubah menjadi pengalihan penghukuman seperti kasus Lanjar. Alih-alih memprosesnya secara adil, justru yang ditakutkan adalah pengalihan dengan menyalahkan pihak supir Daihatsu Luxio. Misalnya, mengapa mobil pribadi pelat hitam dialihkan menjadi angkutan umum. Mengapa pintu mobil tidak dikunci, sehingga ketika terjadi benturan keras ada penumpang yang terpental dan tewas. Hatta Rajasa tentu telah membayar para pengacara untuk mendampingi putranya tersebut di pengadilan. 
Asas persamaan di depan hukum, sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945, merupakan prinsip mutlak dalam perspektif HAM. Prinsip ini memberikan landasan bahwa penegakan hukum tidak boleh diskriminatif, pandang bulu, dan tebang pilih. Prinsip ini tidak bisa ditawar-tawar. Mutlak. Karena itu, muncul adagium terkenal di dunia peradilan, fiat justitia ruat caelum, "hukum harus ditegakkan, walaupun langit akan runtuh". Artinya, hukum harus diberlakukan secara adil kepada siapa pun, di mana pun, kapan pun, dan apapun yang akan terjadi.
Pemihakan hukum hanya kepada kebenaran, di pihak mana pun kebenaran itu berada, apakah pejabat negara atau rakyat jelata, konglomerat atau orang melarat, di mata hukum semuanya tetap diperlakukan sama. Tapi tampaknya prinsip equality before the law kini tinggal mitos, karena hanya menghiasi konstitusi, dikenal dalam teori pendidikan hukum, sekadar lips service, dan jargon para penegak hukum tapi jauh dari implementasi. Pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat akan diproses sesuai dengan logika hukum positif. Tetapi ketika hukum dilanggar oleh para elit politik dan birokrasi tingkat tinggi, ia berubah menjadi hukum kompromi.
Adagium fiat justitia ruat caelum, "hukum harus ditegakkan, walaupun langit akan runtuh" sebenarnya juga berasal dari mitos yang konyol. Kita telah keliru dalam mengutip kata-kata Gnaeus Piso dalam drama “Piso’s Justice” karya Seneca, penyair Romawi terkenal.   Gnaeus Piso adalah seorang konselor (penguasa) daerah. Suatu hari Piso marah melihat ada serdadu yang kembali dari garis depan tapi tak bersama dua temannya. Anggapan Piso, jika prajurit itu tak muncul, serdadu itu pasti telah membunuhnya.
Dia pun memerintahkan agar serdadu tadi dihukum mati. Tapi begitu hendak dieksekusi, dua serdadu yang diduga telah dibunuh tadi, muncul tiba-tiba. Eksekutor kemudian menunda eksekusi dan melaporkannya kepada Piso. Alih-alih membatalkan eksekusi, Piso naik ke mimbar seraya berkata, fiat justitia ruat caelum, hukuman telah ditetapkan. Piso menetapkan si eksekutor harus dihukum mati karena telah berani menunda eksekusi. Prajurit tadi, tetap dihukum mati. Dua serdadu itu? Di hukum mati juga. Alasannya, karena menyebabkan kematian dua orang yang tak berdosa itu.
Sejak itulah, fiat justitia ruat caelum jadi melegenda. Kalimat itu diagungkan untuk mengeksekusi siapa saja. Kalimat itu dijadikan alasan pembenar, menghukum siapa saja. Asalkan, ada hukuman yang telah ditetapkan. Sehingga Themis, dewi keadilan dalam mitologi Yunani Kuno, selalu digambarkan sebagai sosok yang menutup matanya dengan kain hitam, sebelah kiri memegang neraca dan sebelah kanan menghunus sebilah pedang. Pedang tersebut siap menebas siapapun yang culas dan memberantas segala sesuatu yang menindas tanpa pandang bulu.
Ujian Bagi Penegak Hukum
Di Indonesia saat ini banyak persoalan di bidang hukum dan keadilan tidak berjalan baik. Semuanya tampak timpang tindih, bak benang kusut yang tidak tahu ujung pangkalnya. Hukum dan peradilan kita ibarat labirin, penuh liku, jebakan, dan ‘pemangsa’. Jika dalam mitologi Yunani Kuno, labirin yang dibuat oleh Daedalus dan Icarus dipenuhi pemangsa kanibal bernama Minotaur. Maka labirin peradilan kita dipenuhi oleh pemangsa bernama ‘mafia kasus’, ‘mafia peradilan’, dan para penegak hukum yang korup.  
Kasus-kasus hukum di negeri ini sering kali berubah menjadi sebuah perdebatan yang tidak pernah kunjung reda, menjadi debat kusir di acara talk show di televisi, dan pada akhirnya konsentrasi pelaksanaan hukum dalam penegakan keadilan menjadi embrio kepentingan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab pada persoalan hukum itu sendiri. Lihatlah kasus Bank Century atau Hambalang.
Hukum yang bertujuan memberi rasa keadilan dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat masih jauh dari harapan. Jangankan rasa adil, rasa tenteram, dan suasana tertib yang terwujud, hari-hari belakangan ini kita justru disuguhkan dengan berbagai praktik penegakan hukum yang melukai rasa keadilan (sense of justice) bagi masyarakat.
Tak mengherankan bila apa pun slogan penegakan hukum yang dicanangkan penyelenggara negeri ini, hanya dianggap angin lalu oleh masyarakat. Ketidakpercayaan publik terhadap kinerja aparatur penegak hukum kian menguat, melebihi berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbaiki citra aparatur penegak hukum yang mengalami keterpurukan.
Penegakkan hukum dianggap tidak berlaku terhadap semua orang, tapi hanya terhadap golongan tertentu yang memiliki keterbatasan sumber daya dan dana. Persamaan di depan hukum (equality before the law) belum sepenuhnya terwujud. Sebaliknya, ketidaksamaan di depan hukum (unequality before the law) seakan telah menjadi praktik keseharian kita. Penegakan hukum di negeri ini belum bisa disebut ideal, bahkan boleh dikatakan minimal. Fenomena pelanggaran hukum yang terjadi seperti ungkapan di atas tersebut disebabkan masih lemahnya perangkat hukum (legal substance) dan aparat penegak hukum (legal structure) serta budaya hukum (legal culture) kita hari ini.
Kasus kecelakaan maut yang melibatkan Rasyid Amrullah Rajasa, putra bungsu Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa sesungguhnya menjadi ujian bagi pihak kepolisian, kejaksaan, dan peradilan di Indonesia. Dapatkah hukum tetap ‘buta’ menghukum siapa saja yang bersalah  tanpa pandang bulu? Dapatkah hukum tetap tegak walaupun langit akan runtuh? ***