Moratorium Penerimaan PNS dan Dampaknya

Moratorium Penerimaan PNS dan Dampaknya
Oleh : Fadil Abidin

            Bagi anda yang bercita-cita menjadi PNS (pegawai negeri sipil) tahun 2011 ini harus menahan diri. Hal ini disebabkan pemerintah menerapkan kebijakan moratorium (penghentian sementara) penerimaan PNS yang berlaku di sebagian instansi pemerintah. Moratorium itu ditempuh karena jumlah PNS saat ini dianggap sudah terlalu banyak sehingga memberatkan anggaran negara dan daerah.

Surat keputusan bersama (SKB) moratorium penerimaan PNS ditandatangani Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Menteri Keuangan pada 24 Agustus 2011 di Istana Wakil Presiden, Jakarta. Pemerintah melakukan moratorium PNS mulai 1 September 2011 sampai 31 Desember 2012.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mencatat, jumlah PNS di Indonesia per Mei 2011 mencapai 4.708.330 orang atau 2,03 persen dari jumlah penduduk. Beban APBN per tahun mencapai Rp 180 triliun untuk gaji PNS termasuk pensiunan. Dalam hal ini negara menjadi terbebani dengan kewajiban terhadap PNS yang selama ini terlihat tidak maksimal membawa perubahan bagi manajemen pembangunan negara. Birokrasi PNS juga mencerminkan kinerja yang buruk dalam melayani masyarakat.
Sumber Kompas.com (30/6/2011) menyebutkan menurut Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati, pihaknya mencatat 30 persen hingga 70 persen anggaran yang dialirkan ke daerah digunakan hanya untuk menutup anggaran belanja pegawai. Jadi, tidak ada ruang fiskal untuk membangun infrastruktur. Dana alokasi umum (DAU) dalam APBN 2011 sebesar Rp 225,5 triliun, di mana sebagian besar dialokasikan untuk gaji pegawai.
Perekrutan PNS pun selama ini menuai kritik, karena terindikasi KKN, penuh kecurangan dan menjadi salah satu penyebab kendala yang dihadapi negara dalam merekrut PNS yang kompeten dan berkualitas. Manajemen perekrutan PNS yang sering mendapat pesanan dari para pejabat pemerintah daerah kerap kali terjadi walaupun susah untuk dibuktikan. Hal ini pun sudah menjadi rahasia umum bagaimana kursi PNS menjadi sumber pemasukan finansial bagi para pejabat di daerah maupun di pusat.
Paradigma PNS
Akibat sistem rekrutmen yang tidak sehat ini, seringkali PNS yang terpilih adalah mereka yang malas, tidak kompeten dan tidak punya loyalitas mengabdi kepada masyarakat. Sehingga membawa dampak buruk bagi manajemen pemerintahan, PNS yang seharusnya menjadi pemecah masalah, realitanya kini justru menjadi pembuat masalah. Hal ini terjadi karena beberapa alasan.
Pertama, PNS direkrut atas dasar pesanan dan masuk dengan uang sogokan yang sudah ditentukan tarifnya mulai dari Rp 100-250 juta per orang. Oknum pejabat pemerintah daerah pun diuntungkan secara individu. Dalam hal ini kualitas PNS dipertanyakan karena direkrut bukan berdasarkan kemampuan.
Kedua, PNS memiliki paradigma (mindset) aman dengan gaji tetap dan terjamin dengan kenaikan setiap tahunnya walaupun tanpa didukung oleh kinerja yang memadai atau tanpa perlu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Cara pandang seperti ini semakin mencitrakan PNS adalah birokrasi pemalas yang selalu mendapat gaji seumur hidup dan ditanggung hidup oleh negara.
Ketiga, ada anggapan bahwa PNS adalah “priyayi” di era sekarang yang mempunyai kedudukan sosial yang nyaris sama dengan ambtenaar di zaman kolonial Belanda. Status ini memberikan beberapa pandangan yang elitis. Sehingga PNS dipandang sebagai jabatan “kebangsawanan” yang bisa diteruskan ke anak-cucu, sebuah jabatan yang terhormat, enak, penuh kemudahan, tidak bisa dipecat dan memberikan jaminan masa depan yang lebih pasti.
Keempat, perekrutan PNS kurang direncanakan sehingga negara terbebani akibat banyak PNS yang kurang memiliki fungsi apalagi menjadi kendala dalam kondisi Indonesia sebagai negara berkembang untuk maju.
Beberapa contoh yang terjadi dalam perekrutan PNS yang tidak efektif bagi negara seperti banyaknya PNS yang ada dalam lingkungan pemerintah daerah. Staf pegawai yang sering didapati di pemerintahan daerah, kebanyakan menganggur dan banyak melakukan aktivitas yang mubazir di jam kerja seperti main catur, kartu, game atau internet.
Di sejumlah intansi, baik di level pusat maupun daerah, sering kali satu pekerjaan ringan dikerjakan oleh 2-5 orang. Sebagai contoh, di beberapa bagian humas pemerintah daerah, pegawai yang bertugas untuk mengkliping koran saja 2-3 orang. Akibatnya, tak jarang terlihat PNS hanya terlihat santai dan bercanda. Bahkan, budaya main catur atau game komputer merupakan sebuah hal yang lumrah bagi PNS untuk membunuh waktu sembari menunggu jam istirahat atau pulang.
Menggerogoti Anggaran
Dampak jumlah PNS yang membludak juga menggerogoti anggaran. Sekitar 124 daerah menggunakan APBD lebih dari 50 persen untuk membayar gaji pegawainya. Bahkan, ada 16 pemerintah daerah yang APBD-nya lebih dari 70 persen hanya untuk membayar para PNS. Misalnya, Kabupaten Lumajang menghabiskan 83 persen APBD untuk membayar gaji pegawai. Lantas, bagaimana bisa membiayai pembangunan yang bertujuan menyejahterakan rakyat. Lantas, rakyat mendapat apa dengan sisa dana yang hanya 17 persen itu. Apalagi, jumlah tersebut belum dialokasikan untuk operasional. Selain itu, dengan sisa anggaran yang minim tersebut, bagaimana pemerintah daerah merangsang pertumbuhan ekonomi yang lebih baik bila tak mempunyai dana stimulus. Sebab, bisa jadi kas pemda akan kosong.
Kalau kita tarik ke belakang, melubernya jumlah PNS yang kini menjadi tanggungan besar APBD dan APBN tak terlepas dari politik pencitraan masa lalu. Berdasar data yang dikeluarkan Badan Kepegawaian Negara (BKN), pertumbuhan pegawai negeri terbesar terjadi pada 2007 (9,18 persen) dan 2009 (10,80 persen).
Periode 2009 adalah yang terbesar sejak 2003. Pada periode tersebut, ada agenda nasional pemilu dan pemilihan presiden. Politik membuka keran pegawai negeri seluas-luasnya tak terlepas dari pencitraan dan upaya menarik simpati untuk peserta pemilu dan pilpres. Sulit rasanya menyebut proyek pengangkatan calon PNS secara besar-besaran pada 2009 tidak ada yang berkaitan dengan pemilu dan pilpres.
Penerimaan pegawai secara besar-besaran pada 2007 dan 2009 itu baru kita rasakan dampaknya sekarang. Saat ini pemerintah harus menguras anggaran negara dan daerah hanya untuk membayar gaji pegawai. Sementara di sisi lain, efektivitas PNS dalam melayani publik tak jarang dikritik rakyat.
Pemerintah melalui Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan bahwa moratorium akan dilakukan secara selektif. Penerimaan PNS baru di bidang pendidikan, kesehatan, tenaga teknis seperti keselamatan penerbangan, dan penjaga lembaga pemasyarakatan masih terbuka. Gamawan menyebutkan, dampak positif  dari moratorium adalah jumlah penghematan yang bisa dilakukan mencapai Rp 2,6 triliun per tahun. Hal ini diasumsikan apabila pemerintah menerima 100 ribu PNS baru setiap tahunnya.
Wakil pimpinan DPR Priyo Budi Santoso mengatakan ide moratorium penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) yang digulirkan pemerintah terlambat. Sebab, saat ini jumlah PNS yang membengkak membebankan keuangan negara dan tentu secara sosial menciptakan ketidakstabilan suasana kerja PNS.
"Jumlah PNS di daerah sudah membengkak. Dan sudah di luar batas kelayakan negara demokratis," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, (25/8). Menurutnya, selain jumlah PNS yang membengkak, dirinya pun mengkhawatirkan kerja PNS yang tidak berkualitas. Sebab, banyak PNS yang diangkat bukan karena kualitas dan spesifikasi keilmuan yang dimiliki, melainkan lebih karena hubungan kekerabatan.
Priyo mengusulkan agar PNS di-upgrade. Artinya, PNS ditatar lagi agar memiliki kompetensi dan mencapai kualifikasi standar minimal. Tujuannya adalah supaya pelayanan publik semakin maksimal. "Bukan seperti yang dulu kala, PNS jadi tuan besar dan bukan melayani publik," terangnya. Priyo juga mengusulkan sebaiknya pemerintah saat ini memperhatikan penyebaran PNS. Penyebaran PNS saat ini tidak merata atau seimbang di setiap instansi dan wilayah Indonesia.  Ada beberapa instansi yang mengalami kegemukan dan di lain instansi malah kekurangan tenaga.
Langkah moratorium penerimaan calon PNS saat ini merupakan jalan ekstrem yang, mau tidak mau, harus diambil pemerintah. Sebab, bila menerapkan pensiun dini, pemerintah juga membutuhkan dana besar untuk pesangon. Pemerintah harus mengambil hikmah dari booming PNS saat ini. Kapan harus menambah PNS dan kapan tidak. PNS dan birokrasi bukanlah merupakan alat politik, dan bukan pula sumber finansial bagi pejabat daerah dan pusat. 
Sistem perekrutan PNS harus dibenahi sebagai upaya mereformasi budaya dan paradigma yang ada. Usulan moratorium perlu dijadikan evaluasi dan benar-benar dijadikan kesempatan untuk mereformasi kembali perekrutan dan fungsi penempatan birokrasi PNS agar lebih memiliki peran optimal. Selain itu Indonesia perlu belajar banyak dari negara yang sudah menerapkan pendidikan enterprenuer (wirausaha) agar semua rakyat tidak hanya bercita-cita ingin menjadi PNS.***