Sepenggal Catatan di Hari Ayah

Sepenggal Catatan di Hari Ayah
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 21 Juni 2009
“Kita tidak akan tahu bagaimana cinta, kasih sayang dan
rasanya menjadi orang tua sebelum kita sendiri yang mengalaminya”
                                                                                               Henry Ward Beecher

            Ketika masih anak-anak, saya sering mengalami sebuah kebiasaan yang unik. Jika saya meminta dibelikan sesuatu misalnya mainan, Ibu pasti menyuruh saya mengutarakan secara langsung kepada Ayah. Ketika saya menghadap Ayah, beliau tidak langsung mengiyakan atau menolak permintaan tersebut. Jawabannya,”Tunggu beberapa hari lagi.” atau “Tunggu Ayah gajian, ya.”  atau  “Ayah nanti tanya sama Ibu dulu, ya.”
            Mengapa Ibu menyuruh saya menghadap Ayah? Ibu hanya ingin mengingatkan bahwa Ayah adalah sebagai kepala rumah tangga, segala sesuatu harus melalui persetujuan dan se-pengetahuannya. Tapi Ayah tidak selalu harus memutuskan sesuatunya sendiri, kadang ia me-minta persetujuan Ibu.
Dari kebiasaan tersebut saya baru menyadari bahwa Ayah dan Ibu mengajarakan kepada saya tentang arti sebuah kesabaran dalam memperoleh sesuatu. Mereka sebenarnya punya uang atau kemampuan untuk membelikan keinginan saya pada saat itu juga. Tak jarang saya men-dengar pembicaraan mereka yang membahas tentang keinginan saya tersebut. Pada prinsipnya, Ayah yang bekerja mencari uang, Ibu menerima uang tersebut untuk dikelola, disimpan dan digunakan sebaik mungkin. Setiap ada pengeluaran yang ekstra harus dirundingkan terlebih dahulu, setelah itu baru disepakati.  
Mereka ternyata ingin mengajarkan bahwa kelak saya harus bekerja atau berusaha terlebih dahulu sebelum menginginkan sesuatu, segala sesuatu harus ada proses. Maka ketika saya dibelikan mainan, perasaan memiliki mainan itu begitu mendalam. Saya selalu sadar bahwa mainan itu dibeli dari hasil kerja keras Ayah. Saya selalu menjaga mainan itu jangan sampai rusak, merawat dan membersihkannya sehingga awet sampai 10 tahun kemudian. Demikian juga dengan sepeda pemberian Ayah juga  masih baik. Sehingga ketika tamat SMA, mainan dan sepeda itu masih bisa saya sumbangkan kepada orang lain. 

Lebih dari sekadar cinta
Ketika masih anak-anak saya sering berpikir, mengapa Hari Ibu ada sedangkan Hari Ayah nyaris tidak pernah terdengar dirayakan? Padahal peran keduanya sangat penting dan saling melengkapi dalam sebuah keluarga. Peran Ayah dalam keluarga sangat vital dan utama. Ayah adalah sebagai tulang punggung keluarga, ia yang mencari nafkah, ia sebagai penanggung jawab, pengambil keputusan, penjaga kehormatan dan teladan bagi anak-anaknya.
Sebagai orang yang berasal dari keluarga menengah ke bawah, perjuangan seorang Ayah dalam mencari nafkah sungguh berat, pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan. Tak jarang pulang dalam keadaan basah kuyup ketika musim hujan tiba. Risiko di jalan dari pergi hingga pulang atau di tempat kerja juga kerap mengancam. Ayah pernah masuk rumah sakit ka-rena mengalami kecelakaan di jalan raya ketika akan pergi ke tempat kerja, kakinya patah dan sepeda motor yang dikendarainya rusak berat.
Beberapa tahun setelah itu, Ayah pernah juga mengalami kecelakaan di tempat kerja. Tangannya tersengat listrik tapi untung saja tidak membahayakan jiwa dan mengakibatkan cacat. Hidup ini memang berat sehingga ada saja cobaan. Kakak nomor dua sakit parah sehingga harus dioperasi dan diopname di rumah sakit, butuh uang jutaan rupiah. Ayah pun kalang kabut untuk menutupi biaya perobatan. Ia pun kerja di dua tempat, dari pagi hingga malam. Tapi apa yang terjadi? Ia malah jatuh sakit terkena lever karena terlalu bekerja berat.
Kadang sering ada pertanyaan, mengapa para Ayah mau bekerja keras dan berat mencari nafkah demi menghidupi anak-istrinya?  Sungguh, untuk menjawab pertanyaan ini kita harus menjadi seorang ayah dulu seperti ungkapan Henry Ward Beecher di atas!
Penulis adalah ‘mantan’ remaja seperti rekan pembaca sekalian, penulis kini sudah men-jadi seorang suami dan ayah dari seorang putri. Suatu hari istri pernah menanyakan hal yang sama dengan pertanyaan di atas. Ironisnya penulis tak bisa menjawab secara tegas.
Memang ketika pacaran dulu, saya hanya bisa menjanjikan satu hal : “satu cinta komplit dengan kebahagiaan beserta lampirannya yaitu penderitaan. Saya terus terang tidak bisa membe-rikannya tawa melulu, suatu saat secara bergantian akan memberikannya air mata juga. Sedih-gembira, tawa-tangis, senang-derita, sehat-sakit, kaya-miskin, dan sebagainya semuanya harus dihadapi bersama. Itulah yang saya maksud “satu cinta komplit dengan kebahagiaan beserta lampirannya”.   
Jadi dalam posisi ini bukan perkara “mau atau tidak mau” seorang Ayah itu rela mem-banting tulang demi anak-istri. Ini seperti menjadi sebuah komitmen untuk diwujudkan ketika mereka masih pacaran dulu. Dalam proses ini tidak ada lagi ‘aku’, ‘dia’ atau ‘mereka’ tapi semuanya melebur menjadi ‘kami’. Semua usaha, kerja keras, komitmen dan cita-cita itu men-jadi usaha bersama ‘kami’.   
Bagi seorang suami dan ayah, walaupun letih seperti apapun ketika pulang, tapi ketika melihat rumah rapi, melihat istri menyambut dengan senyum dan tawa riang anak-anak, “Ayah pulang! Ayah Pulang!” Hilanglah sudah kepenatan setelah bekerja seharian.
Ini seperti sebuah insting rohaniah, jika anak sakit, para orang tua (ayah dan ibu) pasti selalu berkeinginan biarlah mereka yang sakit jangan sampai anak mereka, atau sakit tersebut hendaknya dipindahkan saja kepada mereka. Jadi orang tua siapapun dia, pasti tidak akan pernah bisa tidur nyenyak jika ada anaknya yang sakit. Walaupun esoknya harus bangun pagi dan pergi bekerja kembali dalam keadaan mata masih mengantuk sehingga harus ngeles, curi-curi kesempatan istirahat ketika bos lengah, walaupun kalau ketahuan pasti kena damprat, tapi mereka tidak menganggapnya sebagai beban. Diperlukan lebih dari sekadar cinta untuk bisa melalui itu semua. Love just ain’t enough!

Penutup
Sebagai anak kita perlu merenungi perjuangan orang tua, baik Ayah ataupun Ibu. Syukuri apapun yang telah mereka berikan. Sebagai manusia mereka tidaklah sempurna tapi dengan segala kekurangannya mereka berusaha tampil sebaik mungkin di depan anaknya agar bisa menjadi kebangggaan, tempat bersandar, tempat mengaduh dan tempat berlindung.
Sebagai seorang anak tentu kita harus membalas jasa-jasa mereka, ini bukan soal materi berapa jumlah uang yang telah mereka keluarkan untuk membesarkan kita sehingga harus di-balas dengan jumlah materi tertentu pula. Tidak! Yakinlah, perlakuan kita terhadap orang tua akan berbalas ketika anak kita akan memperlakukan kita kelak.
Setiap bangun dari tidur yakinkan diri bahwa suatu saat kita akan menjadi orang tua, menjadi seorang ibu atau ayah dari seorang atau beberapa orang anak yang harus kita tanggung jawabkan. Kesadaran ini membuat kita akan lebih bersungguh-sungguh dalam menjalani masa muda, belajar dengan baik, bekerja sekeras mungkin dan tidak lalai membuang-buang waktu.
Di Hari Ayah ini, luangkan waktu sejenak untuk memperhatikan Ayah kita yang akan pergi bekerja. Ayah yang besepatu mengkilat dengan mengendarai mobil mewah, atau ayah yang hanya bersandal jepit menjadi pedagang kaki lima di pasar. Apa dan bagaimana profesi mereka adalah tetap ayah kita yang berusaha memberikan yang terbaik buat keluarga. Berikan senyum dan ucapkan sepenggal doa agar ia diberi keselamatan dan kemudahan dalam segala urusannya di hari ini. ***