Ancaman Kebangkrutan di Negara PNS


Ancaman Kebangkrutan di Negara PNS
Oleh : Fadil Abidin

            Keuangan negara semakin menyempit karena jumlah PNS (Pegawai Negeri Sipil)  setiap tahun semakin membengkak. Kementerian Keuangan mengaku kurang leluasa dalam mengelola anggaran negara untuk mendanai kegiatan-kegiatan produktif karena sedikitnya ruang fiskal yang hanya sekitar 8% dari kapasitas APBN. Sebagian besar belanja negara mengalir ke daerah, dan terutama untuk membayar gaji PNS.

Total pagu belanja negara di APBN 2011 sebesar Rp 1.229,6 triliun sebagian besar sudah teralokasi untuk mendanai kegiatan belanja yang sifatnya mengikat. Antara lain untuk transfer ke daerah sebesar Rp 393 triliun, bayar bunga dan utang pokok Rp115 triliun, subsidi Rp 188 triliun, dana pendidikan Rp 240 triliun dan bantuan sosial Rp 63 triliun.
"Total dari 100% belanja negara yang Rp 1.200 triliun, 92% sudah untuk belanja mengikat. Jadi yang betul-betul free untuk pembangunan baru, new initiative, tidak lebih dari 8%. Itu untuk belanja infrastruktur, untuk mendorong pembangunan ekonomi," ujar Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawaty (detikFinance, 21/06/2011).
Jumlah PNS di Indonesia saat ini sudah cukup tinggi dan bisa memberatkan anggaran pemerintah dalam penyediaan tunjangan gaji serta pensiun dan asuransi. Negara Indonesia memang pantas disebut sebagai negara PNS, menjadi PNS adalah cita-cita terfavorit di mayoritas masyarakat kita. Setiap ada lowongan CPNS maka berbondong-bondonglah masyarakat melamarnya. Secara umum gaji PNS memang di atas rata-rata pendapatan perkapita penduduk Indonesia sehingga profesi ini begitu didambakan bahkan sebagian orang akan melakukan apa saja untuk menjadi PNS, termasuk dengan menyogok puluhan bahkan ratusan juta rupiah atau mengandalkan nepotisme.
Pemerintah telah menaikkan gaji PNS sebesar 10-15 persen tahun ini. Dengan adanya kenaikan gaji tersebut, gaji pokok terendah PNS sebesar Rp1,175 juta bagi pegawai Golongan I A dengan masa kerja 0 tahun. Gaji pokok tertinggi dinikmati pejabat eselon I atau Golongan IV E dengan masa kerja 32 tahun sebesar Rp 4,1 juta. Untuk gaji pokok anggota TNI/Polri dengan pangkat terendah sebesar Rp1,23 juta. Sementara itu, gaji pokok terbesar, Rp 4,2 juta, diperuntukkan bagi  pangkat tertinggi yaitu jenderal, laksamana, marsekal, atau jenderal polisi dengan masa kerja 32 tahun. Besarnya anggaran itu kerap menimbulkan kritikan karena PNS masih dianggap terlalu gemuk dan kurang efisien dalam bekerja.
Sebenarnya berapa jumlah PNS di Indonesia? Berdasarkan situs Badan Kepegawaian Negara, jumlah PNS pada 2010 sebanyak 4.598.100 orang. Dari rentang usia 18-65, komposisi paling banyak berada pada usia 46-50 sebanyak 953.546 orang, dan usia 41-45 sebanyak 882.313 orang. Sementara itu, komposisi tingkat pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga S3. Paling banyak SLTA sebanyak 1.602.209 orang, disusul Sarjana Strata 1 (S1) sebanyak 1.426.215 orang. PNS pria lebih banyak dibanding perempuan, yaitu 2,46 juta, sedangkan PNS perempuan 2.137 juta. PNS golongan III paling banyak jumlahnya yaitu 2,178 juta dan Golongan II sebanyak 1,433 juta orang.
               PNS terdiri atas tiga golongan yaitu fungsional umum sebanyak 2,279 juta, fungsional tertentu 2,09 juta, dan pejabat struktural sebanyak 219.029 orang. Dari pejabat struktural itu, paling banyak Eselon IV yaitu 162.557 orang. Sementara itu, eselon I sebanyak 540 orang. Untuk jabatan fungsional tertentu, terdiri atas tenaga pendidik/guru yaitu 1.688.679, tenaga medis 23.651, tenaga paramedis 163.494, dosen/le/guru besar sebanyak 77.951, dan lainnnya 145.873 orang (sumber : http://informasicpnsbumn.com).
Wacana Pensiun Dini
Meningkatnya penerimaan PNS, terutama di daerah juga terkait dengan janji-janji politik calon kepala daerah ketika masa kampanye Pilkada. Artinya, penambahan jumlah PNS di daerah dilakukan bukan karena mempertimbangkan kinerja atau kebutuhan tenaga di bidang tertentu, melainkan karena alasan politis.
Penerimaan CPNS di daerah disinyalir sebagai program “balas budi politik” kepada pihak-pihak yang mendukung dengan memberi jatah kursi PNS serta “proyek pengembalian modal” bagi kepala daerah setelah mengeluarkan dana yang tidak sedikit ketika kampanye. Sehingga tidaklah heran jika aroma KKN tetap menyeruak di setiap penerimaan CPNS.
               Jumlah PNS yang begitu besar tentu lambat laun akan membangkrutkan keuangan negara. Setiap tahun pemerintah harus memperbesar alokasi belanja negara untuk menggaji PNS. Sementara alokasi belanja untuk pembangunan infrastruktur nyaris tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Sehingga tidaklah heran jika kondisi infrastruktur dan fasilitas umum di negeri ini begitu menyedihkan, seperti jalan, jembatan, gedung-gedung publik, sarana kesehatan, pendidikan, sarana transportasi publik, dan sebagainya. Anggaran belanja negara sebagian besar tersedot hanya untuk menggaji PNS. Jika hal seperti ini dibiarkan terus, maka tidak mustahil negara ini akan mengalami kebangkrutan.  
               Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan, idealnya jumlah PNS, termasuk anggota TNI dan Polri, hanya sebanyak 1,6 juta orang. Kenyataannya, saat ini, jumlahnya mencapai 4,7 juta pegawai. Kalaupun ada wacana pengurangan, militer dan polisi sepertinya tidak mungkin dikurangi (2/6/2011).
               Untuk mengurangi beban anggaran belanja negara maka pemerintah berencana untuk merampingkan jumlah PNS. Ada dua opsi yang disodorkan, baik oleh sejumlah LSM, pakar dan anggota DPR. Opsi pertama, pemerintah harus menjalankan moratorium (penundaan) penerimaan PNS dalam kurun waktu tertentu, 3-5 tahun misalnya. Opsi kedua, pemerintah harus menjalankan program pensiun dini.
               Desakan berbagai pihak agar pemerintah melakukan penghentian sementara atau moratorium penerimaan CPNS, agaknya tidak bisa dilakukan. Pertimbangannya, dengan adanya moratorium justru akan menimbulkan masalah baru. “Sekitar tahun 2000-an, kita pernah menghentikan penerimaan CPNS. Hasilnya, PNS resmi memang tidak bertambah, tapi kemudian bermunculan tenaga honorer yang hingga kini masih menjadi problematika pemerintah. Sebab, para honorer ini minta diangkat menjadi CPNS,’’ ungkap Deputi SDM Bidang Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Ramli Naibaho (27/5/2011).
               Pemerintah kemudian lebih memlih opsi pensiun dini. Para PNS yang dianggap tak produktif akan disodorkan untuk segera mengambil pensiun dini. Menteri Keuangan Agus Marto Wardodjo mengatakan opsi pensiun dini akan dikaji melalui produktivitas para PNS. Jika ada PNS yang dianggap sudah tidak dibutuhkan dan pegawai bersangkutan juga menginginkan untuk mengikuti program pensiun dini maka pemerintah bisa melepaskan pegawai tersebut (23/6/2011).
               Pemerintah menyiapkan kompensasi bagi para PNS yang mengajukan pensiun dini secara sukarela sebelum habis masa jabatan.  Pemberian kompensasi pensiun dini ditentukan oleh performance based. Jika telah dilakukan pelatihan, tetapi tidak ada perbaikan kinerja, maka pemerintah akan menawarkan opsi pensiun dini bagi PNS yang bersangkutan. Pemerintah diharapkan tidak lagi tersandera dan terbebani dengan SDM yang besar tapi tidak produktif yang hanya menghabiskan uang negera. Sementara dari sisi anggaran, akan lebih hemat dan dananya bisa digunakan untuk pos yang lebih penting seperti pembangunan infrastruktur dan sarana publik lainnya.
               Untuk itu perlu dipikirkan inisiatif mengenai pengurangan jumlah PNS pada 2012 agar anggaran dapat lebih dialokasikan untuk belanja pembangunan. Jumlah pegawai negeri yang semakin besar jelas akan memberatkan pemerintah dalam penyediaan gaji, tunjangan pensiun dan asuransi. Karena itu kita berharap, program reformasi birokrasi dapat berjalan dengan semestinya, sehingga efektifitas dan produktifitas kerja PNS dapat tercapai. Di masa mendatang diperlukan pengetatan penerimaan PNS melalui kegiatan seleksi yang baik, selektif, objektif dan transparan. 
Mengapa PNS?
               Di sebuah artikel, budayawan YB. Mangunwijaya pernah menulis tentang sistem kependidikan kita dan kenapa orang begitu berminat menjadi PNS (birokrat). Rupanya, kita ini masih mewarisi mental inlander dari zaman kolonial dulu, di mana orang dididik untuk menjadi patuh dan taat pada pemerintah sehingga bisa menjadi ambtenaar (PNS di zaman kolonial). Menjadi ambtenaar itu jabatan terhormat di masyarakat waktu itu, dan rupanya masih terbawa hingga sekarang. Yang juga masih terbawa adalah paradigma bahwa mereka adalah bagian dari penguasa bukan pelayan rakyat.
               Ada sindiran “804” buat PNS yang malas, yaitu datang jam 8, kerja 0, pulang jam 4. Mentalitas pragmatis dan keinginan mendapatkan pekerjaan yang "enak" sebagai PNS dengan stereotipe: kerja santai, gaji dan kesejahteraan terjamin, hari tua diasuransikan, merupakan motivasi intrinsik bertahannya budaya aji mumpung dan korupsi di lingkungan birokrasi. Para CPNS terpilih tidak akan bisa melahirkan tradisi dan kultur pekerja keras ketika mereka menjadi "abdi negara", apalagi para CPNS yang terpilih dengan melalui KKN dan praktik suap-menyuap.
               Fakhrudin Ali (2006) menyatakan, uang hanya bisa untuk membeli jam bukan waktu, membeli buku bukan pengetahuan, membeli obat bukan kesehatan, membeli darah bukan kehidupan, dan membeli jabatan tapi bukan kehormatan.
               Pada hakikatnya kehormatan tidak terkait dengan simbol-simbol kehidupan, namun lebih erat hubungannya dengan kesadaran jiwa seseorang yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk etos kerja yang disiplin dan sikap-sikap terhormat dalam berbangsa dan bernegara. Imam Ali pernah menyatakan, seseorang akan terhormat bukan karena pangkatnya tapi karena perbuatan dan hatinya.
               Dengan demikian, seorang pegawai negeri tidak bisa dikatakan terhormat walaupun telah memiliki jaminan finansial dan status sosial sebagai abdi negara, kecuali dia mampu menjaga stabilitas jiwa, mental, pikiran dan sikapnya dalam mengemban tugas dan tanggung jawabnya dengan penuh kedisiplinan dan tanggung jawab yang tinggi. ***