Antara
Klenik dan Dukun Politik
Oleh : Fadil Abidin
Nama Dimas Kanjeng Taat Pribadi
mendadak ramai diperbincangkan masyarakat, media cetak maupun media online
selalu memberitakannya. Dimas Kanjeng mengklaim mampu menggandakan uang kepada
murid-muridnya. Kasus tersebut membuktikan di tengah era modern saat ini,
hal-hal mistis masih menempati ruang dalam kehidupan sehari masyarakat
Indonesia. Praktik klenik dan serba mistik masih marak di tengah-tengah
masyarakat kita.
Korban maupun pengikut dari
praktik klenik ini tak memandang golongan. Ada dari masyarakat awam hingga
golongan intelektual, dari orang yang tidak bersekolah hingga berpendidikan S2.
Dari petani yang berpenghasilan ratusan ribu per bulan hingga pengusaha yang
bisa menyetor uang ratusan miliar rupiah. Ada dari aparat pemerintah, pejabat
lokal, anggota dewan, tokoh nasional, oknum
TNI, Polri, dari pangkat terendah hingga konon berbintang dua.
Motifnya juga beragam, ada yang
terdorong ingin memiliki uang banyak tanpa perlu kerja keras. Ada juga karena
tamak, uangnya sudah banyak tapi ingin berlipat lebih banyak lagi. Ada yang
ingin uasahanya kian maju, ada yang ingin pangkat dan jabatannya kian
meningkat, ada yang ingin maju sebagai caleg atau calon kepala daerah, serta
motif-motif lainnya.
Klenik (bahasa Jawa) adalah sesuatu yang tersembunyi atau hal yang
dirahasiakan untuk umum. Klenik identik dengan hal-hal mistis yang cenderung
berkonotasi negatif. Kamus besar bahasa Indonesia dalam versi daring, menempatkan
klenik sebagai sebuah aktivitas perdukunan. Klenik juga dikaitkan dengan banyak
hal yang tidak dapat dicerna dengan akal namun dipercaya oleh banyak orang.
Klenik sering dikaitkan segala
sesuatu yang berhubungan dengan dunia gaib, paranormal, dukun, mahluk halus,
jimat, jin, siluman dan sejenisnya. Jika kita bicara klenik maka yang
dipikirkan adalah hal-hal yang tidak dapat dilihat dengan mata dan dianggap
mempunyai hubungan langsung dengan manusia. Klenik adalah sebuah realitas yang
berdampingan dengan dunia nyata.
Klenik
dalam Politik
Di
Indonesia, klenik dan politik sebenarnya berhubungan erat. Ini adalah praktik
yang telah berlangsung ratusan tahun lampau. Dahulu, ketika seseorang ingin
menjadi pejabat kerajaan, maka yang dilakukan adalah melakukan beberapa ritual.
Mulai dari mengunjungi makam leluhur, mendatangi tempat atau kuburan keramat,
meletakkan sesajian di tempat tertentu, hingga main dukun.
Pergi
ke dukun pun motifnya juga beragam, ada yang meminta tuah kesaktian, ilmu pelet
agar orang mudah percaya, meningkatkan kharisma dan wibawa, ilmu kebal senjata,
anti santet agar tidak mempan disantet lawan politiknya. Atau bahkan meminta
dukun agar mengirimkan santet atau teluh kepada lawan politiknya. Praktik seperti ini masih ada dalam
masyarakat. Terbukti ada iklan-iklan di media cetak hingga media online yang
menayangkannya.
Heboh dunia klenik dan
kaitannya dengan politisi dimulai ketika Akademisi dan Sejarawan JJ Rizal
menilai banyak politikus melakukan hal-hal berbau klenik untuk memperlancar
karir politik.
Menjelang pemilu
legislatif, banyak calon anggota legislatif (caleg) yang mengunjungi
makam-makam yang dianggap keramat untuk mendapat berkah atau memohon restu dan
bantuan kekuatan spiritual dari penghuni makam. Ada juga yang mengunjungi
dukun, paranormal, penasehat spiritual, dan sebagainya. Pada intinya mereka
meminta agar diberi kekuatan agar menang dan menjadi anggota dewan. Menjelang Pilkada
demikian juga, banyak calon kepala daerah yang melakoni praktik serupa.
Para dukun ini pun
banyak yang kemudian bermetamorfosa. Dukun-dukun konvensional biasanya memakai
keris, kemenyan, bunga tujuh rupa, atau jampi-jampi dengan penampilan dekil,
berkumis dan berjanggut. Kini dukun-dukun inkonvesional ini memakai jaringan
internet untuk memasarkan diri, memakai smartphone, dan teknologi canggih untuk
mencari informasi. Tapi masih juga membungkusnya dengan yang serba mistik dan
klenik agar lebih meyakinkan klien.
Puluhan ribu caleg dan ratusan
calon kepala daerah yang ingin maju dalam Pileg maupun Pilkada adalah pangsa
pasar yang menggiurkan para dukun ini. Peluang
ini ditangkap oleh para 'dukun politik'. Mereka menawarkan cara alternatif agar
para caleg atau calon kepala daerah yang kurang percaya diri, bisa menarik para
pemilih saat pileg maupun pilkada.
Stasiun
TVOne beberapa waktu lalu pernah menayangkan seorang dukun politik Dr KH
Desembrian Rosyady, S.Ag, SH, SE, MM, MBA. Melalui pamflet, iklan di media
massa hingga postingan di dunia maya, dia menawarkan jasanya. Para caleg dan para
calon kepala daerah juga bisa menggunakan jasanya.
Tarifnya,
untuk caleg tingkat kabupaten/kota Rp 100 juta, tingkat provinsi Rp 200 juta.
Untuk DPR pusat Rp 300 juta. Tarif lebih
tinggi dipatok untuk calon kepala daerah. Untuk bupati atau wali kota, mahar
yang harus disediakan Rp 2 miliar, sedangkan untuk calon gubernur, minimal Rp 5
miliar, tergantung wilayahnya. Sementara untuk para calon presiden, Desembrian
memasang tarif yang luar biasa tinggi. "Untuk capres Rp 1 triliun,"
ujarnya.
Desembrian
mengaku sudah berpraktik sejak tahun 1997. Dia mengklaim, banyak politisi dan
calon kepala daerah yang sukses dikawalnya. Dia menjelaskan, bagi para calon
klien, mereka diminta menyetorkan nama, tanggal lahir, nama orang tua, alamat,
dapil, partai, hingga alamat rumah mereka. Kemudian dia melakukan ritual untuk
menghitung peluang sang calon klien tersebut. Dalam tujuh hari, dia akan
berikan jawaban apakah sang calon bisa lanjut atau tidak. Kalau misalkan
jawabannya tak bisa lanjut, maka terserah calon. Kalau mau lanjut berarti harus
menyiapkan syarat dan maharnya.
Dukun
Politik
Sejak 1998 banyak aktor
politik melihat polling, survei atau jajak pendapat sebagai instrumen yang
efektif untuk mendeteksi opini publik maupun perilaku pemilih dalam sebuah
kontestasi politik. Polling membantu aktor politik yang bertarung dalam sebuah
kontestasi, mengetahui tingkat dukungan terhadap kandidat, sekaligus memetakan
ekspektasi masyarakat terhadap calon pemimpinnya. Polling dipercaya membantu
aktor politik dalam bertarung merebut kekuasaan dalam konteks demokrasi modern
pasca Orde Baru.
Kuatnya pemikiran rasionalitas
dalam rekrutmen politik telah memunculkan anggapan bahwa peran dukun politik telah
berakhir. Nyatanya, praktek dukun dalam setiap kontestasi politik, disinyalir
tetaplah kuat. Kuatnya praktek perdukunan bahkan sampai membuat kementerian agama
pada waktu itu mengeluh, maraknya perdukunan di Pilkada (maupun Pileg) dipandang
dapat merusak nilai-nilai agama karena menjurus kepada perbuatan syirik.
Peran dukun dalam
politik, baik atas permintaan kandidat sendiri maupun tim suksesnya, mempunyai posisi yang sama seperti konsultan
politik modern lainnya. Selain itu, terdapat semacam “pembagian kerja” antara konsultan
politik berbasis polling dengan dukun yang berbaris metafisika. Lembaga polling
mengukur popularitas dan akseptabilitas, dukun mengintip pulung,
keberuntungan atau kesialan. Lembaga polling meningkatkan elektabilitas,
dukun meningkatkan karisma dan pamor.
Lembaga
polling memetakan perilaku pemilih, dukun memetakan kondisi
budaya, spiritual dan konstelasi kejiwaan para pemilih. Lembaga polling mengumumkan hasil polling
secara terbuka untuk mempengaruhi opini publik, dukun membisikan wangsit dengan
senyap agar kuat bertuah dan barokah. Lembaga
polling memakai multistage random sampling dan
wawancara untuk memperoleh data, dukun menggunakan media roh-roh dan tirakat
agar mendapat ilham.
Lembaga
polling memberi saran-saran strategis kampanye
dan pemenangan, dukun menancapkan susuk dan menyemburkan jampi-jampi agar semakin
bersinarnya penampilan kandidat. Pada akhirnya, kandidat dan tim sukses
mendengarkan nasihat lembaga polling
sebagai konsultan politik dengan logis
dan kritis, namun juga menghayati nasihat dukun dengan takzim dan patuh.
Panggung politik adalah
ajang terbuka bagi siapa saja untuk bertarung merebut dan mempertahankan
kekuasaan. Persaingan yang sangat ketat menciptakan banyak cara dalam berkompetisi,
termasuk penggunaan jasa dukun. Berkembangnya praktek perdukunan dalam Pemilu dan
Pilkada disebabkan tingginya tingkat kompetisi dan kompleksitas pemilu di
Indonesia.
Di beberapa daerah,
dukun sudah lebih dulu ada dibanding konsultan politik modern dan diangggap
sebagai fenomena budaya yang bisa diterima masyarakat. Menampik eksistensi
dukun dalam proses politik di tanah air justru mengingkari kenyataan yang
sebenarnya. Klenik adalah sebuah realitas yang berdampingan dengan dunia nyata
dalam masyarakat kita. ***