Meluruskan
Istilah “86”
Oleh : Fadil Abidin
“Delapan
enam, Ndan.
Delapan enam, lapan enam, Ndan.'' Demikian suara pembuka acara di sebuah
stasiun televisi swasta tentang sepak terjang aparat kepolisian dalam
memberantas kejahatan. Suara yang sama juga sering kita dengar dari handy
talky milik polisi. Istilah delapan enam, lapan enam atau
dalam angka ditulis ''86'' adalah salah satu kode atau sandi yang harus
dipahami oleh semua anggota polisi.
Sandi itu memiliki arti sama-sama
mengerti atau memahami sebuah ''taruna''. Istilah “taruna” di sini bukan
berarti siswa Akpol yang lazim disebut taruna, melainkan istilah dalam
kepolisian yang maksudnya perintah. Tepatnya, ada perintah apa yang harus
dilakukan. Jadi maksud dari istilah ''86 Ndan, taruna!'' adalah ''Mengerti
Komandan, siap menerima perintah!''. Begitulah kira-kira maksudnya.
Namun istilah ''86'' itu, makin lama
makin berkembang dan sering disalahartikan oleh publik. Pernah suatu ketika
seorang tetangga, rumahnya digerebek oleh polisi karena diduga mengedarkan
narkoba. Ia ditangkap dan dibawa ke dalam mobil polisi. Tapi beberapa hari
kemudian ia sudah bebas. Lalu masyarakat berucap,”Wah, dia delapan enam!”.
Ketika saya bertanya kepada mereka,”Apa itu delapan enam?”. Jawabannya,”Tangkap
lepas”.
Jadi dalam masyarakat istilah “86”
adalah kode “tangkap lepas”. Kok bisa ditangkap lalu dilepas? Pertama, karena
kurang barang bukti. Pengedar narkoba itu dilepas (setelah ditangkap) karena
kurang barang bukti atau saksi. Kedua, konon (dan mudah-mudahan ini tidak
benar!), pengedar narkoba itu ditangkap-lepas karena telah “menyetor” sejumlah
uang kepada oknum-oknum kepolisian sebelum kasusnya diproses lanjut.
Memang ada saja oknum-oknum nakal di
kepolisian yang kerap melakukan razia atau menggerebek para pengedar narkoba
tanpa surat perintah tugas. Tujuannya menangkap mereka, setelah ditangkap
diperas dengan dimintai uang. Jika ada sejumlah uang yang jumlahnya sampai
puluhan juta disetorkan ke oknum-oknum polisi tadi, maka bebaslah mereka. Tapi
jika tidak ada uangnya kasus pun dilanjutkan ke proses selanjutnya.
Konon, tujuan tangkap-lepas ini
dengan memeras para pengedar narkoba ini untuk “memiskinkan” para pengedar
narkoba? Wallahu ‘alam. Tapi begitulah kenyataan yang sering terjadi terutama
untuk pengedar-pengedar yang beroperasi di kampung-kampung atau gang. Mereka
akan selalu di ”86” kan oleh oknum polisi. Mereka ditangkap, setelah setor uang
dilepas lagi. Bulan berikutnya ditangkap lagi, setor uang dilepas lagi. Begitu
terus bulan-bulan berikutnya. Ketika ditangkap tak bisa setor uang karena sudah
tak punya uang lagi, maka sang pengedar pun akan dijebloskan ke penjara. Maka
“operasi 86” tangkap-peras-lepas ini kerap menjadi momok dan membuat kapok bagi
para pengedar kelas teri atau pengedar pemula yang kerap beroperasi di
kampung-kampung atau gang.
Konotasi
Negatif
Selain disalahartikan menjadi
“tangkap-lepas”, istilah “86” dalam bahasa plesetan, berarti saling
mengerti dalam bentuk saling membantu, sama-sama tahu, saling mengerti,
sepakat, atau damai-damai. Hal ini berkonotasi negatif, yakni saling mengerti
karena penanganan kasus oleh seorang oknum anggota polisi hendaknya dihargai
dengan sebuah ''penghargaan'', dalam bentuk ''kemudahan'' pelayanan atau
pemberian sejumlah uang untuk melancarkan penanganan kasus.
Ada dua hal yang paling ditakuti
masyarakat bawah, yaitu ketika berhadapan dengan dokter (dan institusinya
semisal rumah sakit) dan polisi (dan institusi sejenisnya seperti kejaksaan,
pengadilan dan penjara). Jika berurusan dengan kedua-duanya selalu membutuhkan
biaya banyak. Jika sakit dan dirawat di rumah sakit sudah pasti keluar uang
(apalagi jika tidak punya asuransi kesehatan). Berurusan dengan polisi apalagi.
Banyak warga masyarakat yang
berurusan dengan aparat polisi karena kasus kejahatan, sudah pasti akan
menghabiskan banyak uang. Tapi kita kerap juga mengalami terkena tindakan
kejahatan seperti penipuan atau kemalingan. Maka istilah “86” juga berlaku. Atau
istilah lain, sekadar untuk ''ATK''. Apa itu ATK? Alat tulis kantor? Bukan. Ya,
sekadar pemberian dari masyarakat yang meminta pelayanan hukum dari oknum
polisi untuk melancarkan proses penyidikan, laporan atau yang lainnya. Istilah
lainnya juga kerap dipakai ''Rembang Pati'' yang disingkat RP artinya rupiah.
Bila disebut dalam istilah kasarnya, lebih gampang dikatakan uang sogok atau
pelicin.
Jika tidak ada “Rempang Pati” kasus
yang kita laporkan konon tidak akan ditindaklanjuti. Praktik ini diakui atau
tidak, telah mewarnai kehidupan banyak oknum anggota polisi dalam melayani
masyarakat atau proses penegakkan hukum. Maka kerap terlontar ungkapan di
tengah masyarakat, melapor kambing yang
hilang akhirnya justru kehilangan kerbau.
Praktik-praktik seperti ini muncul karena
disebabkan sikap ambivalen oknum polisi. Kita tidak bisa menyalahkan hal tersebut
karena banyak hal yang memicu perilaku oknum berbuat seperti itu. Bisa jadi
karena tingkat kesejahteraan anggota polisi yang masih kurang, kurang
terpenuhinya biaya operasional kelembagaan polisi, tidak ada uang bensin yang
cukup memadai, uang insentif untuk menangani kejahatan yang masih kurang, dan
sebagainya.
Tanpa
Kompromi
Untuk menciptakan polisi yang profesional
dan sesuai dengan harapan masyarakat, maka
kesejahteraan aparat kepolisian perlu
ditingkatkan. Bila polisi sejahtera, maka dia tidak 'menengok' ke kanan dan
kiri. Maka, penegakan hukum oleh polisi bisa sesuai dengan harapan masyarakat.
Polisi profesional adalah polisi
yang tanpa kompromi dalam menegakkan hukum. Mereka tidak mau berkolaborasi
dengan para pelanggar hukum. Tidak ada lagi istilah “86” “saling mengerti” atau
tangkap-lepas oleh oknum anggota kepolisian karena sang penjahat memberi
setoran uang. Hukum itu harus tegas, tanpa ada damai atau tawar-menawar dengan
nilai uang. Oknum polisi yang berkolusi dengan para pelanggar hukum dengan
memeras, menerima sogokan atau suap, berarti ia juga menjadi pelanggar hukum.
Ia bukan lagi menjadi aparat penegak hukum.
Pimpinan Polri hendaknya
memperhatikan biaya operasional sampai di tingkat terendah, yakni polsek.
Selama ini, kita tidak pernah mengetahui, berapa besarnya biaya operasional
kepolisian, baik untuk pelayanan masyarakat maupun insentif mengejar, menangkap
penjahat hingga membongkar suatu kasus kejahatan. Oknum aparat polisi akan
mudah tergoda bila biaya operasional itu tidak tercukupi.
Memang harus diakui, salah satu
organisasi pemerintah yang kini paling tertib adalah Polri. Sebab pembaruan
selalu dilakukan sejak reformasi polisi tahun 1999 dengan pemisahan Polri
dengan TNI. Hal itu ditunjukkan dengan upaya pembersihan internal terkait
dengan praktik korupsi di tubuh Polri.
Tapi polisi jangan terlena dengan
prestasi tersebut. Sebab jika tidak dijaga dengan baik, maka kinerja yang
semakin buruk akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepada polisi.
Untuk itu stigmatisasi “86” dengan praktik tangkap-peras-lepas, praktik
“damai-damai di tempat”, dan praktik-praktik kotor lainnya harus dikikis habis.
Istilah “86” harus diluruskan kembali seperti arti sebenarnya agar tidak
berkonotasi negatif di tengah-tengah masyarakat.***