Ilusi Sekolah Gratis


Ilusi Sekolah Gratis
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 19 Juli 2011

            Praktik korupsi, terutama pungutan liar (pungli) ternyata telah lama menjalar ke institusi pendidikan bernama sekolah. Amanat konstitusi tentang wajib belajar sembilan tahun seakan ditelikung oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan materi.

Berulang kali, baik Menteri Pendidikan Nasional, Kepala Dinas Pendidikan atau pejabat terkait yang menyatakan bahwa tidak ada pungutan dalam proses penerimaan siswa baru (PSB) di SD atau SMP negeri. Tapi kenyataannya praktik pungli tahun ini kian marak dan masif, bahkan tidak menjadi rahasia lagi jika masuk SD atau SMP negeri sekalipun tetap dikenakan pungutan. Apalagi sekolah negeri favorit, pungutan itu kian mahal.
PSB di tingkat SMP negeri misalnya. Ada kabar tak sedap tentang isu “jalur khusus” terutama untuk masuk SMP negeri. Modus operandinya sangat sederhana. SMP Negeri A misalnya, daya tampung siswa barunya 250 siswa. Maka sebanyak 200 kursi diperebutkan secara jujur melalui peringkat Nilai Ujian Nasional, dan 50 kursi diisi melalui jalan belakang oleh siswa “jalur khusus” yang membayar jutaan rupiah.
Pihak orang tua siswa banyak yang mau dan bersedia membayar Rp 1-2 juta untuk menempuh jalur khusus ini dengan asumsi jika anaknya masuk sekolah swasta akan mengeluarkan biaya yang sama. Jadi bukankah lebih baik membayar? Praktik seperti ini bukanlah hal yang baru. Terbatasnya daya tampung di SMP negeri menyebabkan permintaan masuk ke dalamnya juga semakin ketat sehingga ada pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk mencari keuntungan.
Pihak sekolah atau kepala sekolah pun berdalih, bahwa itu bukan “jalur khusus”. Tapi merupakan salah satu cara untuk menutupi biaya operasional sekolah. Harap maklum, Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) masih kurang dan sering terlambat datangnya bahkan kerap “disunat” sehingga kepala sekolah menerima lebih sedikit dari semestinya.   
Ketika siswa resmi diterima pun tak lepas dari pungutan dengan kedok “sumbangan sukarela sekolah” yang pada dasarnya tidak bersifat sukarela. Orang tua siswa mau tidak mau juga harus membayarnya karena khawatir anaknya akan diperlakukan secara diskriminatif jika tidak membayarnya. Sumbangan ini kemudian diplesetkan menjadi “uang terima kasih” karena telah diterima di sekolah negeri.
Untuk tingkat SD negeri jangan dikira bebas pungli. Ada saja modus operandi yang diterapkan sekolah untuk menciptakan peluang tersebut. Bayangkan, untuk masuk SD yang notabene calon-calon siswanya berusia 6-7 tahun ada seleksi ujian masuk. Seleksi meliputi ujian membaca, menulis dan berhitung.
Bukankah kebanyakan kita memasukkan anak kita ke SD agar supaya anak kita bisa membaca, menulis dan berhitung? Jadi syarat agar bisa masuk SD, anak harus bisa membaca, menulis dan berhitung sungguh tidak masuk akal. Bahkan ada pihak sekolah SD yang menyatakan bahwa kepandaian dalam menulis, membaca dan berhitung harus sudah didapat si anak di TK, bukan di SD. Di SD tidak ada lagi pelajaran calistung (baca-tulis-hitung).
Pihak sekolah SD juga terkadang membuat syarat-syarat yang memberatkan sehingga posisi tawar orang tua calon siswa tidak punya pilihan selain harus membayar kekurangan syarat tersebut. Misalnya calon siswa SD harus punya akte kelahiran, namanya sudah ada di kartu rumah tangga dan punya ijazah TK. 
Tapi itu hanya kedok, karena ujung-ujungnya pihak sekolah menawarkan “jalan damai”. Calon siswa yang tidak bisa atau belum lancar calistung atau kurang syarat administrasi tetap bisa masuk SD tersebut dengan membayar sejumlah uang tertentu.
Pandangan dan praktik-praktik di atas sungguh menyesatkan. Mensyaratkan calon siswa SD harus tamat TK dan harus bisa calistung atau punya akte kelahiran, jelas melanggar UU Sisdiknas dan mengkhianati esensi dari sistem pendidikan dasar.  
Sesuatu yang diawali dengan pungli maka sepanjang anak bersekolah di tempat tersebut juga tidak lepas dari pungli juga. Ada saja cara agar siswa dipaksa membayar sejumlah uang tertentu. Mulai dari uang “sampul” buku, uang kursi-meja, uang sumbangan, uang peringatan hari besar keagamaan dan nasional, uang keterampilan, uang rapor, uang ujian, dan terakhir uang perpisahan serta uang ijazah dan SKHUN.
Biaya tersebut semakin membengkak, karena ada sekolah yang mewajibkan siswanya membeli semua baju seragam di sekolah yang harganya lebih mahal ketimbang harga pasaran. Sehingga tidaklah heran jika banyak orang tua yang mengeluh. SMP negeri memang gratis uang SPP, tapi pungutannya nyaris menyamai uang sekolah swasta.
Jika kita telah lama berkecimpung menjadi guru atau di bidang pendidikan, hal-hal di atas sepertinya telah menjadi hal yang biasa sehingga terus terjadi setiap tahun. Mengapa pihak sekolah atau kepala sekolah begitu “kemaruk?”
Ada isu-isu yang semoga saja tidak benar, bahwa untuk menjadi kepala sekolah harus membayar sejumlah uang tertentu yang konon mencapai puluhan juta rupiah. Jika isu ini benar, maka logikanya wajar, jika kemudian banyak kepala sekolah yang begitu kemaruk menarik pungutan dan terlibat penyelewengan Dana BOS. Mereka tentu ingin uangnya kembali, karena untuk meraih jabatan itu mereka telah mengeluarkan modal yang tidak sedikit. Jadi praktik-praktik pungutan liar di sekolah seperti lingkaran setan yang sulit terputus karena dari awalnya sudah berbasiskan hal-hal yang bersifat koruptif.
Terbatasnya daya tampung sekolah negeri sementara peminatnya membludak,  menyebabkan terjadinya “hukum pasar” yang dinamakan supply and demand yang melahirkan apa yang disebut sebagai “harga”. Harga ini bisa dibayarkan kepada mereka yang mampu, yang tidak mampu silakan gigit jari
Jadi moto, “jika orang mau membayar mengapa mesti digratiskan?” seakan menghinggapi nyaris sekolah negeri di Indonesia terutama sekolah-sekolah favorit yang berada di kota. Maka akibatnya sekolah gratis hanya tinggal ilusi belaka. ***