Dari Demokrasi Menuju Negara Kleptokrasi


Dari Demokrasi Menuju Negara Kleptokrasi
Oleh : Fadil Abidin

            Kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu klepto (maling/pencuri) dan kratein (pemerintahan), sehingga artinya  pemerintahan para maling/pencuri. Negeri kleptokrasi artinya negeri yang diperintah oleh para maling atau pencuri.
Istilah kleptokrasi menjadi sangat populer setelah digunakan oleh Stanislav dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) yang merujuk pada sebuah pemerintahan yang sarat dengan praktek korupsi dan penggunaan kekuasaan yang bertujuan mencari keuntungan secara tidak halal, sehingga sistem pemerintahan dan budaya masyarakat pun berada di bawah bayangan para kleptomania, yaitu pengidap penyakit mencuri.
Dalam ilmu psikologi, kleptomania adalah penyakit jiwa yang mendorong seseorang mencuri sesuatu, meskipun ia telah memiliki sesuatu yang dicurinya itu. Karena itu, pengidap penyakit kleptomania dikatakan berwatak sangat serakah. Negara kleptokrasi adalah negara yang dalam gambaran filsuf Friederich Nietzsche, ibarat monster yang paling dingin dari yang terdingin karena beroperasi dengan mencuri harta kekayaan penduduk dengan bermacam alasan, sehingga elite korup ibarat kera yang saling menginjak untuk mendapatkan materi dan kekuasaan.
Harian Kompas (14/6/2011) menampilkan salah satu headline berjudul, “Negara Menuju ke Arah Kleptokrasi”. Ungkapan di atas mencermati realitas kekinian, saat ini kasus-kasus korupsi di berbagai level begitu marak. Korupsi bukan hanya dilakukan oleh para pejabat negara di tingkat pusat hingga daerah, tetapi dipraktikkan juga secara sempurna oleh para wakil rakyat bahkan oleh para aparat penegak hukum.
Sebetulnya demokrasi bukan sekadar sedang mengarah menuju kleptokrasi. Dalam buku Ilusi Negara Demokrasi (2009), bahkan telah ditegaskan bahwa demokrasi justru identik dengan kleptokrasi itu sendiri. Pasalnya, kleptokrasi sesungguhnya tidak sekadar ditunjukkan oleh perilaku korup para pejabat atau wakil rakyat, sebagaimana yang kita saksikan secara telanjang hari ini. Kleptokrasi justru melekat dalam sistem demokrasi yang memang selalu didominasi oleh kekuatan para pemilik modal yang kemudian selalu sukses ‘mencuri’ kedaulatan rakyat atas nama demokrasi.
Itulah yang terjadi di Amerika Serikat sendiri sebagai negara kampiun demokrasi di dunia. Ralph Nader, pada tahun 1972 menerbitkan buku Who Really Runs Congress? Buku ini menceritakan betapa kuatnya para pemilik modal mempengaruhi dan membiayai lobi-lobi Kongres AS. Kenyataan ini diperkuat dalam buku The Powergame (1986) karya Hedrick Smith yang menegaskan bahwa unsur terpenting dalam kehidupan politik Amerika adalah: (1) uang, (2) duit, dan (3) fulus. Akibatnya, kedaulatan rakyat sesungguhnya hanya jargon kosong belaka. Sebab, yang berdaulat pada akhirnya selalu para pemilik modal. Maka dari itu, benarlah apa yang diteriakkan oleh Huey Newton, pemimpin Black Panther, pada tahun 1960-an, “Power to the people, for those who can afford it” (Kekuasaan diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu membayar untuk itu).
Cacat Bawaan Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Latin, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Demokrasi selalu diasosiasikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi saat ini telah menjadi ‘agama global’. Mungkin tak ada satu negara pun di belahan bumi ini yang tidak mengenal demokrasi. Namun, demokrasi melahirkan aneka tafsir sehingga dalam praktiknya, demokrasi tidaklah seragam di berbagai negara, termasuk di Amerika dan Eropa. Karena itu, sampai saat ini perdebatan seputar negara mana yang dianggap paling demokratis menjadi tampak absurd.
Pasalnya, standar yang digunakan untuk mengukur demokratis-tidaknya sebuah negara sering tidak ‘standar’. Tidak aneh, jika Amien Rais pernah menyatakan, bahwa Indonesia sesungguhnya lebih demokratis daripada Amerika. Alasannya sangat sederhana, Indonesia pernah memiliki presiden perempuan, sedangkan Amerika belum pernah memilikinya hingga hari ini. Di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim, anggota DPR atau kepala daerah yang non-Muslim relatif lebih banyak, ketimbang Amerika yang anggota Kongres non-Kristen nyaris tidak ada.
Secara teoretis, inti atau substansi demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Justru di sinilah akar persoalan sekaligus yang menjadi cacat bawaan demokrasi. Pasalnya, rakyat sendiri adalah individu yang tak lepas dari tipu daya, manipulasi, kesalahan dan godaan. Karena itu, dalam demokrasi, menyerahkan segala-galanya kepada rakyat melalui mekanisme perwakilan rakyat di parlemen bisa menjadi sebuah kesalahan fatal. Apalagi jika kekuasaan tersebut kemudian disalahgunakan dengan atas nama rakyat.
Demokrasi mengklaim bahwa segala keputusan selalu didasarkan pada prinsip suara mayoritas rakyat. Namun dalam praktiknya, karena parlemen/DPR sering dikuasai oleh segelintir elit politik, para pemilik modal, atau kedua-duanya, suara mayoritas yang dihasilkan hanyalah mencerminkan suara mereka yang sesungguhnya minoritas, tidak mencerminkan suara mayoritas rakyat. Artinya, di sini yang terjadi sebetulnya adalah tirani minoritas.
Di Indonesia, demokrasi lebih bersifat artifisial dan prosedural, jauh dari subtansi demokrasi itu sendiri. Pemilu damai, transparansi, kebebasan, persamaan, dll hanyalah kategori-kategori yang sangat teknikal dan prosedural. Contoh yang paling mendasar, kedaulatan rakyat sebagai ‘ruh’ demokrasi dalam praktiknya selalu dibajak oleh segelintir para pemilik modal atau oleh elit penguasa yang didukung oleh para pemodal. Uniknya, hal ini merupakan gejala atau fenomena umum di negara-negara penganut demokrasi, tanpa kecuali.
Negara Kleptokrasi
Fenomena korupsi dalam negara kleptokrasi akan bertambah sempurna jika disokong oleh budaya politik oligarki dan sistem pemerintahan plutokrasi. Oligarki adalah kekuasaan di tangan segelintir orang, politisi dan pengusaha. Sedangkan plutokrasi adalah pemerintahan yang diatur dan dikendalikan oleh sekelompok orang kaya yang mengambil keuntungan materi dari dana yang dikucurkan negara.
Politik oligarki adalah suatu konfigurasi politik yang didominasi kelompok elite yang mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling menguntungkan di antara elite sendiri. Di dalam konfigurasi politik yang oligarkis keputusan-keputusan penting kenegaraan ditetapkan oleh para elite negara secara kolutif dan koruptif, sehingga keberadaan mereka ibarat di negeri kleptokrasi.
Sesungguhnya oligarki dan plutokrasi telah melekat pada sistem demokrasi di negeri ini baik secara terang-benderang maupun laten. Keberadaan mereka ibarat penumpang gelap yang berbahaya. Bagi negara kleptokrasi ala Indonesia pertumbuhan oligarki dan plutokrasi berjalan secara pesat bak gurita raksasa.
Parpol di negeri ini telah dirasuki oleh politik oligarkis dan plutokrasi. Ini terlihat dari tidak adanya satu pun parpol yang memiliki kemampuan keuangan mandiri dan hidup dari iuran anggota. Dan sudah menjadi rahasia umum, jika parpol, terutama parpol yang ikut dalam pemerintahan selalu berusaha menempatkan orang-orangnya pada posisi basah di lembaga pemerintahan dan BUMN guna menghimpun dana bagi parpol. Kasus mantan Bendaharawan Partai Demokrat, M. Nazaruddin, menegaskan bahwa parpol yang berkuasa selalu mencari sumber keuangan atau dana dari tender-tender proyek pemerintah, termasuk dengan praktik korupsi, kolusi dan suap-menyuap untuk memenangkan tender tersebut.
Sejujurnya, bangsa ini berada di ambang kehancuran yang tidak terelakkan lagi karena praktik korupsi yang merajalela. Berita korupsi datang dari berbagai penjuru angin, kasus korupsi terjadi di semua level pemerintahan, baik ekskutif, legislatif, maupun yudikatif. Mungkin hanya Tuhanlah yang mampu memperbaiki keadaan ini.  Nada pesimisme ini muncul karena korupsi di negeri ini terjadi mulai istana sampai kantor RT, dari bangun tidur sampai tidur lagi, dari lahir sampai meninggal, dari tempat ibadah sampai toilet, sehingga tak ada ruang, waktu, dan kesempatan yang tak terjamah oleh praktik korupsi.
Semua aparata negara, aparat penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan KPK sekalipun tidak luput dari sinyalemen dugaan korupsi.  Berbagai kasus terkini, seperti Century Gate, mafia pajak, mafia hukum, kasus korupsi di seluruh departemen, KPU, DPRD, DPR RI, MA, MK, kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian benar-benar menjadi fakta bahwa korupsi telah mengakar kuat di mana pun berada hingga bisa disebut telah menjadi budaya masyarakat.
Fakta ini, walaupun sungguh berat menyatakan bahwa bangsa ini termasuk bangsa kleptokrasi (bangsa maling) karena semua hal bisa dikorupsi, mau tidak mau kita harus mengakuinya. Berbagai upaya reformasi di bidang penegakan hukum dan pencegahan korupsi telah dilakukan, namun belum mampu memberantas dan membuat efek jera bagi para pelakunya.  Korupsi pun berkembang menjadi syndrome-anomy di mana masyarakat tidak lagi berpandangan negatif terhadap korupsi. Semua kebobrokan ini telah dianggap sebagai sebuah perubahan sosial yang wajar.
Korupsi dianggap sebagai sebuah budaya baru yang harus dilestarikan. Terjadilah pembiaran dan apatisme publik terhadap para koruptor. Maka, menguatnya demokrasi sesungguhnya menjadi sia-sia, karena demokrasi kemudian menjelma menjadi kebebasan tiada batas untuk melalukan apa saja, termasuk korupsi.
Indonesia yang pernah didaulat sebagai jawara demokrasi, dalam praktiknya tak lebih merupakan negara kleptokrasi, negara yang dikuasai para maling. Sebab, di negara ini yang berkuasa  adalah segelintir orang yang bermental maling. Merekalah yang telah mencuri atau merampas kedaulatan rakyat dan mengubahnya menjadi kedaulatan elit wakil rakyat, elit politik dan elit para pemilik modal. ***