Ketika Para Koruptor Sakit (Jiwa)

Ketika Para Koruptor Sakit (Jiwa)
Oleh : Fadil Abidin

            KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi ternyata tidak bisa mengambil pengalaman dari beberapa kasus sebelumnya soal kaburnya para koruptor ke luar negeri, yang akhirnya menjadi buronan pemerintah Indonesia. "Sejak dulu penyakit permanen koruptor itu kabur, (beralasan) sakit, dan nanti lupa ingatan" (Sebastian Salang,tempointeraktif.com,30/5/2011).
Modus para koruptor menghadapi pemeriksaan KPK, atau juga aparat hukum lainnya selalu sama, dengan hanya keterangan “sakit”, maka pemeriksaanpun akan ditunda. Dan modus ini selalu dipakai oleh para koruptor mengelabui aparat hukum, bisa jadi alasan sakit ini menjadi bagian dari konspirasi.
Itulah kelebihan koruptor dibanding penjahat biasa, dengan uang hasil korupsinya bisa menyogok siapa saja, Hal-Hal seperti ini yang membuat kita semakin tidak percaya dengan komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi, jangan-jangan para koruptor ini memang sudah memberi upeti sebelumnya kepada aparat pemerintah, sehingga koruptor bisa merajalela menghabiskan uang negara.
Kalau setiap koruptor bisa beralasan sakit, lalu proses hukum dihentikan entah berapa lama, tergantung kesehatan si koruptor, lambat laun pemberantasan korupsi di republik ini cuma menjadi angan-angan yang tidak ada solusinya. Alasan sakit tersebut sangat bisa dibuat dan direkayasa, atas kerjasama dokter dan aparat hukum yang menangani kasusnya. Tipu daya seperti inilah yang terus dilakukan untuk mengelabui rakyat, sementara seorang pencuri ayam bisa langsung dihukum dengan seberat-beratnya.
Setiap orang yang menjadi tersangka korupsi, baik kepala daerah, pejabat daerah atau pejabat pusat, tidak lama kemudian pasti akan mengaku mendadak “sakit”. Ada yang mengaku sakit jantung, diabetes, stroke, hipertensi hingga sakit ingatan. Lalu dengan segala upaya agar diperbolehkan ke luar negeri untuk berobat.
Apakah mereka benar-benar sakit atau hanya akal bulus untuk lolos dari hotel prodeo? Sungguh aneh bin ajaib, jika satu persatu para koruptor yang akan atau sedang mendekam di penjara mulai divonis “sakit” dengan surat keterangan dokter. Dan ujung-ujungnya mereka harus dirawat di rumah sakit yang berkelas dan ber-AC sepadan dengan standar hotel berbintang. Tidak lagi ditemui wajah sangar para sipir penjara, tetapi senyum manis para perawat dan dokter yang selalu siap 24 jam untuk melayani kebutuhannya. Itu sebabnya para koruptor lebih suka berbaring di rumah sakit dengan pelayanan ekstra daripada tidur di hotel prodeo.
Bagi orang miskin sakit membawa petaka, sebaliknya pada para koruptor sakit malah membawa berkah. Apa yang bisa dilakukan hukum ketika berhadapan dengan surat sakti tersebut? Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 31 tersangka atau terdakwa yang sakit boleh meminta penundaan penahanan. Barisan pengacara top disertai surat keterangan sakit merupakan peluru terakhir yang membuat kejaksaan dan pengadilan tidak bisa berkutik melanjutkan proses hukum.
Hal inilah yang perlu kita waspadai dalam mengawasi pemberantasan kasus korupsi. Surat keterangan sakit rawan sekali terhadap manipulasi, untuk itu diperlukan tim dokter yang independen yang berasal dari kejaksaan atau pengadilan. Tim dokter inilah yang akan melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka korupsi yang memberikan klaim bahwa dirinya “sakit”. Sebab sudah bukan rahasia lagi jika surat dokter tersebut sangat mudah didapatkan, tergantung bargaining power serta uang yang ada. Dengan adanya tim dokter yang independen diharapkan tercipta keadilan yang sebenar-benarnya, bagi tersangka yang betul-betul sakit akan mendapatkan perawatan yang layak dan juga sebaliknya.
Selain mengaku “sakit” ada jurus satu lagi yang dilakukan para calon terpidana kasus korupsi papan atas adalah kabur ke luar negeri. Singapura adalah negeri tempat kabur yang ideal karena tidak ada perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Ibarat kata, hanya sepelemparan batu. Serasa menyeberang pagar depan rumah, cuma 90 menit terbang dari Bandara Soekarno- Hatta. Nunun Nurbaeti, Gayus Tambunan, Nazaruddin dan para pengemplang Dana BLBI kabur ke Singapura. Para pengemplang Dana BLBI ratusan triliun rupiah itu, mereka kini hidup “bahagia” di negeri singa. Pemerintah Singapura sangat “ramah” menyambut para koruptor ini karena membawa modal investasi uang korupsi yang sangat banyak dari Indonesia.
Secara teori, tidak ada perbedaan di depan hukum. Di depan hukum semua orang sama derajatnya. UUD 1945 juga menyatakan demikian, tapi kenyataannya tidak. Lihatlah di alam nyata, jika seorang pencopet atau maling ayam pada saat tertangkap polisi, tiba-tiba ia bilang, mengidap sakit jantung atau lupa ingatan permanen, akankah ditangguhkan penahannya? Tidak. Proses hukum tetap berjalan buat orang kecil, apapun kondisinya.
Sakit Jiwa?
Jika menilik definisi gangguan jiwa, maka seseorang disebut mengalami gangguan jiwa jika gejala dan ciri yang terdapat pada pasien tersebut sudah menggangu fungsi pribadi dan sosialnya disadari ataupun tidak. Hal ini sangat tergantung pada penampakan orang tersebut. Seperti layaknya pasien gangguan kepribadian, dia tidak sadar bila gejalanya tersebut mengganggu orang lain. Memang tidak menggangu dirinya, tetapi mengganggu orang lain di sekitarnya.
Contohnya saja seorang yang mengidap psikozoprenia, dia biasanya merasa mendengar suara-suara yang berbicara kepadanya walaupun tidak ada orang di sekitarnya. Maka ia akan berbicara, tertawa dan menangis sendiri tanpa sebab. Ia sulit mengendalikan diri dan terperangkap dalam dunianya sendiri.
Kalau para koruptor masuk gangguan jiwa yang mana? Karena belum ada kriteria diagnosis tertentu untuk kasus seperti ini, maka perilaku korupsi dari para koruptor akan kita masukkan ke dalam kriteria diagnosis. Secara umum, perilaku korupsi para koruptor yang tidak peduli akan perilakunya, tidak merasa bersalah dan cuek adalah perilaku yang memenuhi kriteria suatu gangguan kepribadian. Orang dengan gangguan kepribadian biasanya tidak merasa ada yang salah dengan diri dan perilakunya. Bahasa psikologisnya, kondisi ini bersifat egosintonik. Lihat saja para koruptor, walau dinyatakan bersalah pun masih mau mangkir dan mengelak merasa tidak bersalah. Bahkan ada yang merasa seperti malaikat, karena mereka kerap memberi sumbangan kepada orang miskin, panti asuhan, pembangunan rumah ibadah dan berulang kali melaksanakan ibadah haji atau umroh.
Setelah memasukkan perilaku koruptor ke dalam suatu diagnosis gangguan kepribadian, lalu jenis gangguan kepribadian apa yang sekiranya mirip? Apakah mengidap gangguan kepribadian ganda (disorder split personality), gangguan kepribadian paranoid, gangguan kepribadian antisosial yang sering disebut psikopat, gangguan kepribadian narsisistik, gangguan kepribadian histrionik ataukah campuran dari kesemuanya.
Perilaku korupsi dilakukan atas dasar kesadaran, keserakahan dan rasa tidak malu bahkan tidak merasa bersalah atas perbuatannya. Kondisi ini dilakukan secara sadar untuk memperkaya diri dengan tidak memperdulikan rasa keadilan dan kemanusiaan. Kondisi ini cocok sebagai gambaran perilaku pada orang dengan gangguan kepribadian antisosial alias psikopat. Perilaku kejahatan yang dilakukannya dilakukan secara sadar bukan karena lupa ingatan.
Karena itu, dalam konteks ini aparat penegak hukum harus selektif dan ketat dalam memberikan toleransi dan kompensasi berobat bagi para pejabat kita yang tersangkut kasus korupsi agar tidak kabur. Untuk menilai oknum pejabat tersebut memang benar-benar sakit atau berdalih sakit untuk menghindari pemeriksaan, penyidikan dan penahanan, perlu adanya  pemeriksaaan medis yang objektif.
Dan untuk menjaga objektivitas pemeriksaaan, pejabat yang bersangkutan harus di periksa oleh dokter-dokter yang independen atau setidaknya dokter yang tidak ada hubungan kedekatan dengan pejabat yang bersangkutan. Perlu ada medical report dari dokter yang berkompeten dan independen. Jika ini tidak dilakukan, maka akan banyak pejabat yang  mendadak sakit ketika akan disidik atau bahkan ditahan hanya dalih semata untuk menghindari pemeriksaan atau eksekusi penahanan. Sakit akan selalu dijadikan "senjata" ampuh para kouptor untuk menghindari proses hukum. Dan akhirnya ketika para koruptor itu kabur ke luar negeri, maka akan sulit untuk ditangkap kembali. ***