Imlek, Merayakan Kebhinekaan dalam Persatuan
Oleh : Fadil Abidin
Alam dengan seluruh gejala dan kesatuan manusia di dalamnya, ternyata tak hanya melahirkan berbagai filosofi, kepercayaan, dan sistem nilai. Sejarah kebudayaan berbagi bangsa di dunia menunjukkan bagaimana kesatuan manusia dan alam dengan seluruh gejalanya itu melahirkan berbagai cara pandang dan kesadaran mereka untuk memaknai waktu. Inilah yang melahirkan sistem penanggalan.
Pergantian tahun yang baru merupakan suatu penyesuaian terhadap gejala alam semesta. Di dalam kehidupan manusia, tahun baru merupakan suatu batas masa untuk menandai pembaruan dalam tata kehidupan. Semua umat bergembira menyambut kehadiran tahun baru dengan penuh harapan. Sesungguhnya apa beda tahun kemarin dengan tahun baru, malam kemarin dengan malam tahun baru?
Pergantian tahun merupakan suatu momentum untuk menyadari secara mendalam, bahwa kita terikat oleh waktu. Bersamaan dengan itu gejala perubahan alam dalam masa pergantian tahun, manusia diingatkan bahwa ia hidup dalam ruang dan waktu tertentu yang ada batasnya. Keterikatan perjalanan hidup terhadap ruang dan waktu menyadarkan kita sebagai makhluk yang kecil dan lemah di hadapan Tuhan, kekuasaan yang mengatur alam semesta ini.
Kesadaran tersebut seharusnya membuat manusia bersyukur, berterima kasih karena masih diberi kesempatan menjalani kehidupan dalam ruang dan waktu yang terbatas ini. Karunia Tuhan berlimpah dicurahkan kepada umat manusia. Oleh karena itu sudah sewajarnya manusia sadar untuk berusaha melakukan yang terbaik dalam kehidupan dengan menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Pada momentum inilah kita berusaha memperbaiki diri dan mengakhiri semua permusuhan, kebencian, dan kejahatan.
Tahun Baru
Tiap kepercayaan, kebudayaan dan negara memiliki tanggal perayaan tahun baru yang berbeda-beda. Secara umum, di Indonesia tahun baru dirayakan pada 1 Januari karena memakai sistem kalender Gregorian atau Masehi (solar system). Yaitu sistem penanggalan berdasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari yang memakan waktu 365¼ hari untuk sekali putaran.
Selain solar system dikenal juga lunar system, yaitu penanggalan yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Kalender Hijriyah memakai sistem penanggalan ini, satu bulan terdiri atas 29 dan 30 hari sehingga jumlah hari dalam setahun 355 hari. Hal ini mengakibatkan hari-hari besar Islam selalu lebih cepat 11 hari setiap tahunnya jika dibandingkan dengan kalender Masehi.
Tahun baru Cina atau Imlek sebenarnya kurang tepat jika disebut memakai lunar system. Tahun baru Imlek menggabungkan perhitungan matahari, bulan, 2 energi yin-yang, urutan shio, 4 musim, dan 5 unsur. Jika dihubungkan dengan sistem kalender Gregorian, tahun baru imlek jatuh antara 21 Januari hingga 20 Februari setiap tahunnya pada bulan kedua setelah musim dingin. Imlek dirayakan di negeri Tiongkok pertamakali pada 4699 SM pada masa Kaisar Huang Ti.
Imlek saat ini bukan sekadar ritual tahunan suatu agama tertentu. Ada tradisi yang menyatu dengan kepercayaan. Perayaan Imlek atau sering disebut juga Xin Nian, zheng yue, Sin Cia pada mulanya merupakan perayaan bagi petani Tionghoa pada awal musim semi. Dalam perjalanan waktu, bangsa Jepang, Korea, Vietnam dan lainnya ikut merayakan.
Menurut Pastor Agung Wijayanto SJ (Kompas, 24/01/2009 dan Kompas, 13/02/2010) merayakan imlek berarti merayakan kehidupan. Dalam pemahaman orang Tionghoa, hidup itu pada dasarnya baik dan indah. Ada beberapa pemahaman dasar orang Tionghoa tentang kehidupan. Pertama, hidup yang sejati bersumber dari kesucian, kebaikan dan keindahan. Pada kesempatan Imlek, mereka saling mengucapkan salam, berbagi makanan dan uang sebagai ungkapan syukur atas kemurahan Sang Sumber kehidupan.
Kedua, pengikat dan sumber daya kehidupan adalah kasih yang mengalir dan merasuki semua hal yang ada di alam raya (Dao) agar hidup itu menjadi baik dan indah. Pada perayaan Imlek, generasi muda langsung mengalami kebaikan dari yang lebih tua (menerima angpao/ hong bao = kasih sarana kehidupan). Yang muda mempersembahkan bai gui (hormat kepada pemberi kasih kehidupan). Pada kesempatan itu juga orang tua berdoa bagi kedamaian dan kesejahteraan baik mereka yang telah meninggal dunia maupun yang masih hidup di dunia.
Ketiga, hidup harus dirayakan di dalam kebersamaan dengan orang lain dan leluhur. Di sini diungkapkan perayaan syukur dan sujud kepada sumber-sumber pemberi kehidupan, kepada langit, bumi, leluhur, orang lain dan sumber kehidupan yang lain. Di saat perayaan Imlek, kehidupan yang baik dan indah itu dirayakan, sehingga tali-temali persaudaraan diawetkan. Di sana semua doa dan harapan akan damai, selamat, sehat, lancar usaha dan resolusi kembali ditegaskan.
Membangun Persatuan
Perayaan tahun baru Imlek sempat dilarang di Indonesia pada 1965-1998. Dengan Inpres No.14 Tahun 1967, rezim Orde Baru melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek. Masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No.14 tahun 1967.
Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Kepres No. 19 Tahun 2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.
Pengakuan pemerintah atas Imlek sebagai Hari Nasional memperteguh amanat konstitusi yang menekankan Bhinneka Tunggal Ika.
Pengakuan pemerintah atas Imlek sebagai Hari Nasional memperteguh amanat konstitusi yang menekankan Bhinneka Tunggal Ika.
Kurang lebih lima belas tahun terakhir, kelompok etnis Tinghoa benar-benar percaya diri dapat mengekspresikan identitas mereka melalui kesenian, kebudayaan, dan sosial politik. Adanya perasaan takut sebagai sisa peninggalan penjajahan dan perlakuan diskriminatif pemerintahan sebelumnya pelan-pelan mulai menghilang. Adanya pengakuan diri sebagai bagian dari NKRI mendorong kelompok turunan juga semakin berani menunjukkan diri dalam hidup bernegara dan berbangsa dalam bingkai NKRI.
Sebagai bagian dari warga NKRI, etnis Tionghoa dan bersama semua kelompok suku bangsa lain di Indonesia memiliki tanggung jawab dan komitmen untuk pembangunan bangsa dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan. Semua etnis di Indonesia mempunyai kewajiban untuk memberikan kontribusi dalam mewujudkan kehidupan bangsa Indonesia yang maju, makmur-sejahtera, adil, demokratis dan bermartabat.
Segala praktek curang seperti korupsi, kolusi dan nepotisme dalam bisnis dan kehidupan bernegara, paham hidup eksklusivisme harus dibuang jauh dalam kehidupan bersama. Kesetaraan dan kesamaan hak adalah prinsip kebersamaan. Semangat solidaritas dan setia kawan perlu dibangun. Apalagi menurut keyakinan orang Tionghoa, tahun 2012 adalah Tahun Naga Air, dimana banyak tantangan dan peluang.
Dalam perkembangannya, selebrasi penyambutan tahun baru Imlek itu telah menjelma jadi hari besar bagi bangsa Indonesia, tak peduli datang dari suku mana. Imlek tidak lagi eksklusif milik masyarakat Tionghoa. Walaupun tradisi dan kebiasaan boleh berbeda, tetapi ada satu semangat yang sama dalam merayakan Imlek, yaitu suatu harapan akan kedamaian, kebahagiaan keluarga, teman-teman ataupun penduduk dunia lainnya.
Semangat dan perayaan Imlek dapat menjadi tali perekat warga bangsa ini yang berbeda-beda. Imlek seharusnya dapat dijadikan sebagai hari untuk merayakan kebhinekaan dalam persatuan dan persaudaraan.
Semangat inilah yang dapat dijadikan modal bersama dalam membangun NKRI yang lebih baik dan indah. Hidup yang baik dan indah itu tampak bila hidup dirayakan dalam kebersamaan di dalam solidaritas dan perjuangan mewujudkan NKRI yang damai, bersatu, adil, sejahtera dan bermartabat. Semoga. ***