Sekolah versus Bimbingan Belajar


Jelang Ujian Nasional :
Sekolah versus Bimbingan Belajar

Oleh : Fadil Abidin

Dimuat di Harian Analisa Medan, 21 Februari 2009

Saat ini beberapa bulan menjelang Ujian Nasional (UN),bila Anda menjadi orang tua dari anak yang duduk di kelas 6 SD,atau di kelas 3 SMP (kelas 9) atau di kelas 3 SMA (kelas 12), apa yang sedang Anda cemaskan? Apakah tiba-tiba anak Anda memohon agar dimasukkan ke Bim-bingan belajar (Bimbel) atau justru Anda sendiri yang memaksa mereka untuk masuk Bimbel?
Sistem pendidikan kita memang aneh,sementara sistem pendidikan di luar negeri sana mempersiapkan siswa-siswanya menjadi seorang problem solver bagi kehidupannya sehari-hari, maka sistem pendidikan kita hanya mempersiapkan siswanya menjadi seorang penghapal dan penjawab soal-soal ujian. Pendidikan (baca : sekolah) telah menjadi pulau terasing dari realita kehidupan sehari-hari.
Pola pikir kita adalah kalau kita ingin anak kita berhasil,maka dia harus kuliah di univer-sitas yang bagus (ternama) dan untuk masuk universitas ternama tersebut peluangnya lebih besar bagi yang berasal dari SMA favorit.Untuk masuk SMA favorit,kesempatannya lebih besar kalau berasal dari SMP favorit pula.Untuk masuk SMP favorit maka harus lulus UASBN tingkat SD dengan nilai yang sangat tinggi.
Untuk dapat masuk ke SMP atau SMA favorit harus memiliki skor nilai yang tinggi,dan nilai tersebut didapat berdasarkan banyaknya soal ujian UN yang dapat dijawab dengan benar. Maka dipersiapkanlah anak-anak kita untuk dapat mengerjakan soal ujian tersebut sebaik-baiknya.Maka tidaklah heran jika bisnis lembaga-lembaga bimbingan belajar sangat pesat di In-donesia bahkan sampai ke pelosok desa dan hanya satu-satunya di dunia. Mengapa harus Bim-bel? Karena Bimbel-bimbel tersebutlah yang mampu mempersiapkan anak-anak kita secara sis-tematis,intensif dan terpadu dalam mengerjakan soal-soal ujian apapun. Mereka punya bank soal yang lengkap,variasi soal yang banyak,dapat memprediksi soal seperti apa yang akan keluar pa-da ujian nanti,para pengajarnya (tutor) juga berasal dari mahasiswa atau tamatan dari PTN fa-vorit.Inilah beberapa kelebihan Bimbel dibandingkan sekolah.Anehnya pula,justru yang berseko-lah di SMP ataupun SMA favorit yang paling banyak ikut masuk di lembaga bimbingan belajar.
Jika orang tua atau para siswa telah mengandalkan Bimbel untuk menjamin keberhasilan menjawab soal-soal UN atau untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi,lalu apa gu-nanya sekolah? Bukankah lebih baik anak-anak kita ‘disekolahkan’ saja di bimbingan belajar. Apakah sekolah telah berubah fungsinya hanya sekadar produsen ijazah sebagai pemenuhan per-syaratan administratif untuk masuk ke jenjang pendidikan berikutnya?
Tamparan keras
Fenomena ini sebenarnya telah berjalan lebih dari 20 tahun lalu.Tapi anehnya dunia pen-didikan, sekolah bahkan terutama para guru di tanah air ini tenang-tenang saja.Guru tidak lagi menjadi pelita dan embun penyejuk dalam kehidupan (seperti yang tercantum dalam lagu Hymne Guru).Mereka tidak merasa cemburu ketika para siswanya ‘berselingkuh’ dengan bimbingan belajar.Tanyakan pada para siswa, manakah yang lebih ‘hebat’ : guru mereka di sekolah atau tutor mereka di Bimbel.Dengan kondisi seperti ini sekolah dan para guru seharusnya patut mera-sa cemburu dan cemas. Kondisi ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi mereka.Maraknya lembaga Bimbel (Bimbel dari siswa SD sampai SMA cuma ada di Indonesia) sedikit banyak adalah representasi dari ketidakpercayaan orang tua dan siswa terhadap sekolah formal.
Pertanyaan adalah apakah para guru yang mengajar anak-anak kita di sekolah sudah tidak layak dipercaya lagi sehingga anak-anak kita lebih memilih Bimbel sebagai jaminan kelulusan dengan nilai yang tinggi ? Atau sistem pendidikan kita yang tidak layak dipercaya? Tidakkah dualisme dan ‘perselingkuhan’ anak-anak kita dengan Bimbel merupakan pemborosan waktu dan biaya? Tidakkah kita juga terlalu membebani anak-anak kita sehingga kebebasan waktu bagi mereka untuk mengekspresikan dan mengaktulisasikan diri menjadi terbatas karena dari pagi hingga malam harus belajar dan belajar terus secara simultan? Bukankah dengan kondisi ini kita hanya melahirkan generasi mesin dan robot penjawab soal?
Tingginya minat para siswa masuk bimbingan belajar merupakan simbol ketidakperca-yaan siswa dan orangtua siswa terhadap proses pembelajaran di sekolah formal.Karenanya, sekolah harus memperbaiki kinerjanya kepada siswa untuk mengembalikan kepercayaan terse-but.Guru dan sekolah harus bisa mengoreksi cara pembelajaran mereka agar tetap bisa menye-nangkan dan memberi layanan pendidikan yang baik sehingga hak-hak siswa tidak tertinggal.
Pemerintah telah meningkatkan anggaran pendidikan hingga 20% dari APBN,gaji guru PNS telah ditingkatkan minimal Rp 2 juta sebulan.Dengan hari efektif belajar maksimal 250 hari setahun sehingga rata-rata setiap bulan hanya mengajar 21 hari,para guru dibayar lebih dari Rp 95.000 setiap hari dengan jam mengajar rata-rata 25 jam seminggu.Sekolah-sekolah juga banyak menerima gelontoran dana,mulai dari dana BOS,DAK maupun APBD.Maka sebagai konse-kuensinya guru harus profesional dan sekolah harus bisa memberikan pelayanan pendidikan se-cara optimal.
Tapi walaupun telah menerima banyak gelontoran dana tiap tahunnya,kondisi sekolah (terutama sekolah negeri) sungguh memprihatinkan.Jangankan AC, kipas angin saja tidak ter-sedia di kelas.Komputer juga nyaris tidak ada dan para gurunya juga gagap teknologi.Padahal kalau para kepala sekolah mau bertindak jujur dan tidak korup, anggara pendidikan tersebut bisa diberikan minimal kipas angin agar siswa tidak kepanasan sewaktu belajar di kelas.Bisa menye-diakan komputer untuk keperluan administrasi,menulis soal-soal ulangan dan sebagainya.Ban-dingkan dengan Bimbel yang menyediakan ruangan ber-AC dan serba terkomputerisasi.
Maraknya lembaga bimbingan ini setidaknya dipicu oleh rendahnya kemampuan guru untuk melalukan proses "Didaktik-Metodik" di sekolah (walau tidak semua) bahkan dari hasil survei, 70% guru di Indonesia tidak layak mengajar,sementara kurikulum yang dirancang peme-rintah sekarang ini hanya berorientasi pada kognitivasi ( keberhasilan sekolah hanya ditekankan pada aspek kognitif siswa dalam menjawab soal-soal ujian).Peluang inilah yang kemudian di-manfaatkan oleh Bimbel.Perbedaan sekolah dengan Bimbel dalam aspek kognitif  dalam meng-hadapi ujian juga nyaris tidak ada.Bahkan dalam beberapa hal Bimbel lebih unggul.
Lembaga bimbingan belajar dirasakan juga lebih inovatif dalam soal proses pembela-jaran.Pendidikan berbasis teknologi informasi justru telah lebih dulu dikembangkan bimbingan belajar daripada sekolah formal.Banyak Bimbel menggunakan sarana komputer,internet dan multimedia.Para pembimbingnya juga masih fresh graduate. Bandingkan dengan guru-guru di sekolah (terutama guru yang telah puluhan tahun menjadi PNS).Mereka mengajar tanpa gairah dan inovasi hanya sekadar mengajar terkadang pun sering datang terlambat dan absen mengajar. Karena apa pun yang mereka buat tidak akan mempengaruhi besarnya gaji yang mereka terima tiap bulan.Jadi siswa mau tetap bodoh ataupun menjadi pintar,bukan urusan mereka.Sehingga tidaklah heran kalau kemudian para siswa dan orang tua lebih percaya kepada bimbingan belajar.
Sinergi
Dalam  UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,Pasal 26 berbunyi : "Pendidikan non-formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang ber-fungsi sebagai pengganti,penambah,dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendu-kung pendidikan sepanjang hayat".Sejalan dengan bunyi UU diatas maka kita dapat  mengelom-pokkan Bimbel sebagai pendidikan nonformal  yang diselenggarakan masyarakat.Pada hakikat-nya sekolah dan Bimbel seharusnya seiring sejalan,saling melengkapi dan tidak saling memojok-kan.Tetapi opini yang muncul di masyarakat seolah-olah pengajar di Bimbel lebih mumpuni di banding guru di sekolah.
Opini di atas sebenarnya hanya karena ‘tradisi’ belajar-mengajar saja.Para pengajar di Bimbel tentu akan terus-menerus dituntut profesional oleh pemilik Bimbel karena pengajar di Bimbel bukanlah PNS atau pegawai tetap sehingga tidak bisa mengajar santai ala kadarnya se-perti guru PNS.Para pengajar Bimbel kebanyakan masih fresh graduate bahkan berstatus maha-siswa sehingga lebih up to date dan inovatif dalam memecahkan soal-soal ujian (sehingga lebih unggul aspek kognitifnya). Para pengajar Bimbel kebanyakan adalah generasi muda yang melek teknologi dan akrab dengan internet sehingga mereka lebih mengetahui terlebih dahulu per-kembangan kurikulum pendidikan yang terbaru,kisi-kisi soal,prediksi soal dan sebagainya.
Untuk itu para guru harus meningkatkan kualitasnya.Jangan sampai muridnya terlebih dahulu mengenal internet sedangkan gurunya buta sama sekali tentang komputer,misalnya.Ja-ngan sampai terjadi ironi, “guru yang selalu mengharuskan muridnya rajin belajar, sedangkan gurunya sendiri malas belajar meningkatkan ilmu pengetahuannya”. Jangan jadikan mengajar atau menjadi guru itu sebagai pekerjaan seperti layaknya buruh pekerja pabrik,yang penting datang dan bekerja.Tapi jadikan sebagai ladang pengabdian ilmu dan amal untuk meningkatkan nilai tambah bagi kemanusiaan.
Ada beberapa solusi yang mungkin bisa dilakukan supaya opini  masyarakat terhadap sekolah dan Bimbel tidak keliru.Pertama, Sekolah dan Lembaga Bimbingan Belajar bisa mela-kukan kerjasama terbatas pada hal-hal tertentu saja dan dibatasi oleh koridor-koridor yang jelas, sehingga Bimbel tidak terlalu masuk ke ranah sekolah dan mengabaikan peran guru sehingga para siswa juga tidak sepenuhnya mengandalkan Bimbel. Kedua, pemerintah atau khususnya Diknas harus membuat aturan  yang jelas tentang kompetensi tutor atau instruktur yang mengajar di Bimbel sehingga guru Bimbel dapat terstandar dan tidak ada anggapan bahwa pengajar Bim-bel lebih baik dari guru di sekolah,yang pada kenyataanya Bimbel pun ada yang merekrut in-strukturnya dari guru di sekolah. Ketiga orangtua harus faham betul atas kemampuan anaknya bahwa kepintaran anak tidak datang dengan tiba-tiba tetapi melalu proses yang panjang,bukan instan dengan diserahkan ke Bimbel anak dijamin menjadi pintar,dan Bimbel jangan dijadikan alasan karena orang tua tidak sanggup membimbing anak secara akademik di rumah.Sekolah dan para guru juga harus berani melakukan koreksi dan introspeksi diri terhadap nilai minus yang di-sandangnya sehingga mengapa para murid dan orang tua lebih mengandalkan bimbingan belajar dalam menghadapi ujian nasional.***