Biaya Caleg
Tinggi Sebagai Sumber Korupsi?
Oleh :
Fadil Abidin
Menjadi
calon anggota
legislatif (caleg) di DPR memerlukan biaya yang besar.
Politikus PDI Perjuangan Pramono Anung dalam disertasi doktornya di Universitas
Padjajaran, Bandung menyebutkan,
para caleg rata-rata mengeluarkan biaya Rp 1,5 miliar
sampai Rp 2 miliar. Besaran biaya kampanye itu tergantung pada latar belakang caleg.
Pramono dalam penelitiannya mempublikasikan pada kampanye Pemilu
2009 ada caleg yang mengeluarkan uang hingga Rp 20 miliar.
Pramono merinci pengeluaran kampanye
untuk pengurus partai atau aktivis Rp 500 juta-Rp 1,2 miliar, mantan anggota
TNI/Polri dan birokrat Rp 800 juta-Rp 2
miliar, dan pengusaha Rp 1,2-Rp 6 miliar. Jumlah itu diperkirakan akan naik
pada Pemilu 2014. Yang paling kecil biaya adalah
publik figur
(termasuk para artis). Jadi, tidak salah kalau
partai merekrut para
artis dan selebritis karena mereka tidak keluar
biaya konsolidasi
yang besar. Pramono menguraikan, sistem
multi partai saat ini mengakibatkan mahalnya biaya caleg untuk melakukan
konsolidasi
(Tribunnews. com,13/03/2013).
“Tidak ada makan siang gratis”, maka
hampir dipastikan tidak ada caleg yang bisa terpilih
dengan hanya modal dengkul. Paling tidak, untuk kebutuhan alat peraga, sosialisasi,
dan operasional tim sukses juga dibutuhkan sekurang-kurangnya modal sosial dan
modal politik. Dalam
sistem politik yang berkembang di Indonesia yang menjurus kepada politik transaksional dengan
sistem take and give, memang
tidak mudah dan murah ongkos politik yang dibutuhkan para caleg agar bisa lolos
dan terpilih dalam Pemilu Legislatif 2014.
Kondisi
ini ditambah
adanya persaingan internal maupun eksternal partai, serta masa kampanye yang
jauh lebih panjang kira-kira 1 tahun dibandingkan Pemilu 2009. Saat ini jika para bakal caleg telah
masuk DCT (Daftar Caleg Tetap) yang akan diumumkan akhir Mei 2013 nanti, sudah
bisa melakukan sosialisasi dan konsolidasi kepada masyarakat. Mau
tidak mau kondisi itu semakin memaksa para caleg merogoh kocek
lebih dalam lagi.
Perkiraan biaya
yang akan dikeluarkan para caleg untuk Pemilu 2014 antara lain: biaya penginapan, akomodasi, dan transportasi ke
daerah pemilihan
(dapil). Biaya logistik atau atribut, seperti kaos,
spanduk, kalender, umbul-umbul, baliho, iklan di media lokal, alat peraga
berupa kartu suara, lomba kesenian, lomba olahraga dan lain lain. Biaya bantuan sosial
seperti perbaikan musala, masjid, gereja, jalan desa, pengobatan gratis, dan lain-lain. Biaya
pengumpulan massa pada waktu
kampanye dengan biaya transport setiap orang Rp 20.000 hingga Rp 50.000.
Bayangkan jika mendatangkan massa sampai 1000 orang. Biaya tim sukses di setiap
desa, kecamatan, kabupaten atau jaringan. Biaya saksi di
setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS), berkisar Rp 50.000 hingga Rp 100 ribu per orang. Bayangkan di
setiap dapil biasanya ada 5.000-10.000 TPS. Tinggal kalikan saja jumlah itu, kemudian dibagi kepada jumlah
caleg satu partai di dapil yang sama.
Pendapatan
Anggota Dewan
Tingginya
biaya menjadi anggota dewan
ini dinilai banyak pihak sebagai salah satu sumber terjadinya praktik korupsi setelah yang bersangkutan menjabat
nanti.
Bayangkan jika pada Pemilu 2014 biaya rata-rata yang harus dikeluarkan para caleg
Rp
2 miliar. Padahal,
gaji take home pay anggota DPR Rp 25 juta sampai dengan Rp 35 juta per bulan. Lima tahun tidak
lebih dari Rp 2 miliar. “Jujur saja, sejak satu setengah tahun
menjadi anggota DPR, keuangan saya defisit,” kata anggota Fraksi PAN yang juga mantan pelawak Eko
Patrio (vivanews.com, 20/03/2013).
Berdasarkan Surat
Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan
Tunjangan Anggota DPR,
disebutkan gaji pokok anggota DPR berjumlah Rp 4,2 juta. Tunjangan istri
Rp 420 ribu,
tunjangan anak Rp 168
ribu per orang,
tunjangan beras Rp 198
ribu, tunjangan PPH Rp 1,7
juta, tunjangam sidang/paket sebesar Rp 2 juta, dan yang paling besar adalah
tunjangan jabatan sejumlah Rp
9,7 juta.
Total
gaji pokok dan berbagai tunjangan itu masih harus dipotong iuran wajib anggota
sebesar Rp 478
ribu, dan pajak PPH Rp1,7 juta. Sehingga total gaji pokok dan tunjangan dasar anggota dewan adalah
Rp 16 juta. Namun angka itu masih
bertambah karena setiap anggota DPR menerima tunjangan kehormatan yang
jumlahnya ditentukan posisi dan jabatan yang mereka pegang. Semakin tinggi
jabatan, maka jumlah tunjangan pun akan semakin tinggi.
Ketua
alat kelengkapan atau ketua komisi misalnya, menerima tunjangan kehormatan Rp 4,4 juta. Wakil ketua
alat kelengkapan menerima tunjangan kehormatan sebesar Rp 4,3 juta, sedangkan
anggota alat kelengkapan menerima tunjangan kehormatan sebesar Rp 3,7 juta. Tunjangan
sebesar itu masih ditambah lagi dengan tunjangan komunikasi sebesar Rp 14 juta untuk setiap
anggota dewan. Anggota
DPR juga masih menerima tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran,
masing-masing Rp 3,5
juta untuk ketua alat kelengkapan, Rp 3 juta untuk wakil ketua alat
kelengkapan, dan Rp 2,5
juta untuk anggota alat kelengkapan.
Ada
pula yang namanya biaya penelitian dan pemantauan peningkatan fungsionalitas
konstitusional dewan, masing-masing sebesar Rp 600 ribu untuk ketua alat kelengkapan,
dan Rp 500
ribu untuk wakil ketua alat kelengkapan. Khusus untuk anggota komisi yang
merangkap anggota Badan Anggaran, mereka pun menerima tunjangan, masing-masing
Rp 2 juta untuk
ketua, Rp 1,5
juta untuk wakil ketua, dan Rp1 juta untuk anggota. Ada juga tunjangan
listrik dan telepon sebesar Rp
5,5 juta bagi setiap anggota DPR, dan biaya penyerapan
aspirasi masyarakat sebesar Rp
8,5 juta.
Mulai Korupsi
Take home pay
sejumlah itu, menurut pengakuan sebagian besar anggota dewan, tidak mencukupi
karena mereka kerapkali mengeluarkan dana pribadi guna berkomunikasi secara
intensif dengan para konstituen mereka di daerah-daerah. Kasak-kusuk pun terjadi, tidak
jarang para anggota dewan mencari ‘jalan belakang’ agar modal sewaktu nyaleg kembali.
Mereka pun mulai melakukan
‘korupsi’, ada yang benar-benar melakukan korupsi secara harfiah dengan
‘mencuri’ uang negara atau ‘mencuri’ waktu dengan melakukan pekerjaan lain atau
tetap mengurus bisnis dan perusahaannya sehingga kerap membolos sewaktu sidang.
Jabatan sebagai anggota dewan hanya untuk menaikkan posisi tawar dan status
sosial saja.
Sehingga tidak heran, misalnya
seorang anggota dewan yang berasal dari kalangan artis akan tetap menerima
‘job’ sebagai pembawa acara, bintang tamu di acara tv, bintang iklan, dan
sebagainya. Padahal seorang anggota dewan secara etik dilarang melakukan
pekerjaan lain secara langsung yang menghasilkan uang untuk kepentingan
pribadi. Bagaimana mereka akan semangat menghadiri sidang, jika mereka
‘bangkrut’ sewaktu nyaleg dan harus
mencari job yang lain?
Sedangkan anggota dewan yang tidak
punya ‘job’ lain sebagai artis atau pengusaha, tidak punya deposito atau
tabungan yang cukup, maka mereka selalu mencari celah untuk menutupi
pengeluaran sebagai anggota dewan. Sedangkan bagi yang lain, menjadi anggota
dewan adalah untuk mencari kekayaan. Tipe-tipe seperti inilah yang kerap
terjerat korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Kondisi-kondisi seperti inilah yang
menjadi sumber korupsi, kerap kita mendengar anggota dewan minta upeti atau fee atas proyek-proyek di DPR atau di
kementerian, BUMN, swasta, bahkan
asing. Tidak jarang pula ada yang menjadi makelar di Badan Anggaran DPR, atau
menjadi calo dan meminta upeti atas pencairan dana bantuan sosial, bencana
alam, dana hibah, dana alokasi pembangunan, dan tender proyek-proyek. Ada juga
yang mendapatkan dan memenangkan tender proyek dari pemerintah atas nama orang lain.
Korupsi Semakin
Besar
Pendanaan
kampanye partai politik, calon legislatif, dan calon presiden dalam Pemilu 2014
membuka potensi beredarnya uang dalam jumlah besar. Menurut Direktur Lingkar
Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, setidaknya, ada tiga sumber pendanaan
yang berpotensi menjadi mesin uang para politisi. Pertama, lewat penyalahgunaan
alokasi anggaran dalam APBN dan APBD. Merujuk APBN 2013 yang dikelola 10
kementerian yang ditempati menteri berlatar belakang partai politik seperti laporan
FITRA, ada alokasi belanja sosial sebesar Rp 73.6 triliun. Uang sebanyak ini
potensial bocor dan digunakan kampanye.
Sumber
pendanaan kedua dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan aset Rp 3 ribu
triliun, BUMN sangat rentan menjadi mesin ATM pendanaan partai, caleg atau
capres. Terbukti, dari 2009-2012 saja sudah ditemukan beberapa kasus BUMN yang
potensial merugikan negara.
Ketiga,
sumber dana yang berasal dari lembaga pemberi dana asing yang mensponsori
lembaga penyelenggara pemilu atau peserta pemilu. Menurut Ray,
sebetulnya masih banyak modus pendanaan lainnya yang belum diungkap. Sebut saja
bagaimana partai menggunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk mengobral konsesi
sumber daya alam kepada pihak swasta baik asing maupun dalam negeri (Tribunnews.com, 29/4/2013).
Seperti
diketahui, di dalam UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak diatur pembatasan dana kampanye. Untuk itu Komisi Pemilihan
Umum (KPU) harus membuat
aturan yang tegas untuk
pembatasan dana belanja kampanye. Hal tersebut untuk menghindari partai politik
dan calon anggota legislatif jor-joran menyiapkan
dan mengucurkan dana kampanye yang akhirnya menghindari praktik korupsi ketika
terpilih.
Praktik korupsi di legislatif
karena ada problem di sistem pendanaan. Ini yang akan menjadi faktor kuat
dibutuhkan aturan KPU terkait pembatasan dana kampanye. Apalagi Pemilu 2014 yang menghasilkan anggota
DPR periode 2014-2019 akan
jauh lebih rentan melakukan korupsi. Dana kampanye diperkirakan akan membengkak 2-3 kali
lipat dibanding kampanye Pemilu 2009. Dengan
pendanaan politik terus membesar, perilaku korupsi juga akan semakin besar. ***