Mahalnya Demokrasi Kita
Oleh :
Fadil Abidin
Betapa mahalnya biaya demokrasi kita saat ini, dan gelagat ini
tampaknya ingin terus dipertahankan oleh beberapa pihak yang telah memperlakukan
pemilu atau pilkada sebagai proyek untuk memperoleh kekuasaan dan uang.
Seharusnya disadari, demokrasi tidak sebatas pemilu atau pilkada yang jujur, bebas
dan adil. Demokrasi bukanlah tujuan, ia hanya sarana untuk menciptakan kesejahteraan
bagi rakyat.
Sebagai bangsa dengan pendapatan per kapita termasuk sebagai
negara miskin, kita saat ini sedang tidak
sadar diri. Kita telah memilih sarana untuk
menciptakan kesejahteraan rakyat lewat pemilu atau pilkada yang kelewat mahal. Ibarat
menuju sebuah pulau, kita lebih baik kelaparan demi gengsi dengan memilih sebuah kapal pesiar yang mewah, ketimbang sebuah kapal yang sederhana
tapi kuat.
Negara-negara yang jauh lebih makmur dari Indonesia seperti Singapura,
Jepang, Korea Selatan, negara-negara di Eropa Barat, wilayah Skandinavia bahkan
Amerika Serikat sekalipun tidak memilih demokrasi yang mahal. Tidak pernah
terpikirkan oleh para wakil rakyat di Senayan untuk studi banding atau mempelajari
pemilu atau pilkada yang murah tapi efisien.
Kita telah salah memperlakukan demokrasi (juga politik)
sebagai panglima di negeri ini, sehingga apapun permintaannya pasti akan dituruti.
Akibatnya, kondisi ekonomi rakyat terus terpuruk karena banyak dana yang
terbuang untuk membiayai pemilu dan pilkada. Demokrasi saat ini hanya menjadi santapan
segelintir elit, sedangkan rakyat telah muak sehingga lebih memilih golput sebagai
bentuk perlawanan. Golput adalah sinyal kepada elit, bahwa pemilu atau pilkada itu
tidak ada artinya.
Tahun 2009 lalu kita telah melaksanakan pemilu legislatif
dan pemilu presiden
yang menelan biaya sekitar Rp 15 triliun. Ini merupakan pemilu termahal di dunia. Tapi mahalnya pemilu tidak sebanding dengan
tingkat partisipasi rakyat yang hanya sekitar 61%, sementara 39% adalah golput alias tidak memilih. Kini setelah
hampir 5 tahun, apa yang rakyat peroleh dari Rp 15 triliunitu?
Pilkada Menguras Anggaran Daerah
Pemilihan kepala daerah (pilkada)
selama ini memakai sumber dana dari APBD. Pelaksanaan pilkada akan memangkas anggaran
untuk pendidikan, kesehatan, pembangunan sarana dan prasarana di daerah. Pemangkasan
ini tidak cukup untuk satu tahun anggaran bahkan ada yang sampai 2-4 tahun anggaran.
Jatah rakyat untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, dan menikmati sarana pembangun
secara nyata dikurangi, baik kualitas maupun kuantitasnya. Tidak sedikit daerah
yang mengalami kebangkrutan karena pelaksanaannya
dua putaran atau terjadi pilkada ulang.
Berdasarkan hasil temuan Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), penyelenggaraan pilkada di
Indonesia sangat memboroskan anggaran daerah. Kalau dihitung-hitung, bisa menguras
triliunan rupiah. Dijelaskan, setiap kali pilkada di kabupaten/kota, maka negara sedikitnya akan mengeluarkan biaya sekitar Rp 25 miliar. Sedangkan, ongkos pilkada provinsi sedikitnya Rp 100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan sedikitnya Rp 17 triliun (KOMPAS.com, 10/9/2012).
Sebagai perbandingan, mari kita tinjau pelaksanaan pilkada di beberapa daerah yang paling banyak menghabiskan biaya. Di pengujung tahun 2012, ada Pilkada Kalimantan Barat (Kalbar) September 2012 lalu menghabiskan dana Rp 155 miliar. Beberapa hari kemudian Pilkada DKI Jakarta juga digelar dan menghabiskan dana Rp 258 miliar.
Tahun 2013 ini seluruh provinsi besar di Indonesia akan menggelar pilkada. Di mulai dari Pilkada Sumatera Utara (Pilgubsu) tanggal 7 Maret 2013. Anggaran Pilgubsu telah dipersiapkan Rp 459 miliar. Lalu disusul bergantian oleh Pilkada Jawa Barat yang menelan anggaran sebesar Rp 666 miliar. Anggaran ini katanya sudah dihemat dari perkiraan semula yaitu Rp 1 triliun.
Pilkada Sumatera Selatan yang dijadwalkan digelar pada 6 Juli 2013 akan menghabiskan anggaran sekitar Rp 424 miliar. Pemerintah Provinsi bersama DPRD Riau telah menetapkan alokasi anggaran Pilkada Riau tahun 2013 untuk dua putaran sebesar Rp283 miliar.
Sementara itu, Pemerintah Jawa Timur, memperkirakan bahwa anggaran untuk penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur 2013 mendatang mencapai Rp 943 miliar. Jumlah tersebut bahkan hanya untuk satu putaran. Jika terjadi dua putaran anggaran akan membengkak menjadi Rp1,2 triliun.
Pemerintah dan DPRD Provinsi Jateng juga telah menyetujui dana sebesar Rp 621 miliar untuk pelaksanaan Pilgub Jateng 2013 mendatang.
KPUD Jateng telah meluncurkan tokoh pewayangan Gatotkaca sebagai maskot Pilkada Jateng 2013.
Sementara provinsi terbesar di Pulau
Sulawesi yaitu Provinsi Sulawesi Selatan juga akan menggelar pilkada tahun 2013. Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Selatan memperkirakan biaya pemilihan gubernur pada tahun 2013 mencapai Rp 350 miliar. Pemekaran daerah dan meningkatnya honor pelaksana pilkada menyebabkan anggaran membengkak hingga 75 persen dari pemilihan gubernur sebelumnya.
Mengurangi Kesejahteraan Rakyat
Betapa fantastisnya anggaran pilkada di atas! Anggaran tersebut tentu diambil dari dana APBD masing-masing daerah. Sumber dana berasal dari PAD (pendapatan asli daerah), pajak, retribusi, laba BUMD, dana bantuan pusat, dan lain sebagainya. Pos anggaran berasal dari pos-pos anggaran lain yang dikurangi porsinya.
Logikanya, pelaksanaan pilkada tentu akan mengurangi kesejahteraan rakyat. Dana yang seharusnya untuk pendidikan dikurangi untuk pelaksanaan pilkada. Pembangunan atau perbaikan sekolah akan ditunda untuk 2-3 tahun kemudian. Di bidang kesehatan karena anggaran dikurangi, maka pembangunan rumah sakit atau puskesmas akan tertunda pula, demikian juga pengobatan untuk masyarakat miskin akan dikurangi.
Rakyat pun akan semakin sengsara, jalan-jalan rusak yang seharusnya diaspal juga akan ditunda beberapa tahun lagi. Ruas jalan yang seharusnya diaspal sepanjang 10 km, tapi dikurangi menjadi 5 km, sisanya cukup aspal tambal sulam saja. Demikian juga perbaikan jembatan harus ditangguhkan dahulu untuk kepenti ngan dana pilkada, semoga saja tidak ada jembatan yang runtuh.
Dana yang seharusnya untuk kepentingan rakyat, untuk meningkatkan perekonomian, pembangunan pasar, pemberian kredit usaha kecil menengah, kredit perumahan murah, penciptaan lapangan kerja baru, pemberian beasiswa, perbaikan atau peningkatan infrastruktur, dan lain sebagainya akan dikurangi alokasinya. Semuanya akan tunduk dan dikurangi akibat kepentingan anggaran pilkada yang konon harus tetap dilangsungkan. Biar pun pemerintah daerah tersebut bangkrut, rakyat sengsara, terjadi kelaparan, gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, bahkan jika langit runtuh sekalipun, pilkada harus tetap terlaksana kemudian.
Pemilu Serentak
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran mengusulkan agar pilkada dilaksanakan secara serentak di Indonesia karena bisa menghemat anggaran. Menurut perhitungan, kalau pilkada serentak, cuma diperlukan Rp 10 triliun. Ini lebih hemat Rp 7 triliun jika dibandingkan dengan pelaksanaan pilkada dengan jadwal yang
sporadis seperti selama ini (KOMPAS.com, 10/9/2012).
Kemudian juga diusulkan agar pilkada dibiayai APBN, bukan APBD. Pembiayaan pilkada melalui APBD memberi peluang besar bagi politisi di daerah untuk melakukan politik dan politisasi anggaran. Selama ini, calon yang sedang berkuasa atau incumbent dapat menggunakan instrumen anggaran untuk memperkuat posisi tawar politiknya. Caranya, incumbent menjanjikan kenaikan honor, bonus atau ‘success fee’ kepada penyelenggara pemilu. Ini tentu, berdampak pada tidak netralnya penyelenggara pilkada.
Politisasi anggaran sudah lama muncul saat tahap pilkada mulai. Di beberapa daerah, pemerintah daerah banyak belum mengalokasikan anggaran pilkada. Alasannya, daerah tidak memiliki anggaran tambahan untuk membiayai pilkada. Selain itu, banyak daerah belum menetapkan APBD untuk tahapan pilkada. Tapi, semua ini bagian dari politisasi anggaran, bergaining dari incumbent kepada penyelenggara pilkada. Mengulur-ulur anggaran pilkada agar bisa bargaining dengan KPUD, merupakan
praktik yang sering terjadi selama ini. Untuk itu perlu direkomendasikan agar pembiayaan pilkada diambil dari APBN, untuk menghindari tumpang-tindih pembiayaan dan politisasi anggaran.
Sebenarnya wacana agar pemilu atau pilkada dilaksanakan secara serentak telah lama diusulkan, atau wacana agar gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi. Tapi sampai saat ini pembahasannya masih terhenti di DPR. Sepertinya tidak ada niat politik dari DPR untuk menuntaskan masalah ini secepatnya. Maklum saja, bagi anggota dewan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga KPU, pemilu atau pilkada adalah sebuah proyek yang menguntungkan. Ada banyak pihak yang takut ‘job’-nya tereliminasi jika aturan tersebut dijalankan. Mereka tidak perduli mahalnya demokrasi seperti ini, the show must go
on. Pilkada harus tetap terlaksana, merekalah yang membajak makna dan proses demokrasi demi uang dan kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat. Demokrasi semacam ini akan sulit mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat. ***