Akhir dari RSBI
Oleh : Fadil Abidin
Mahkamah
Konstitusi (MK) pada tanggal 8 Januari 2012 akhirnya mengabulkan
permohonan uji materi Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dengan dikabulkannya uji materi
tersebut, RSBI (Rintisan
Sekolah Berstandar Internasional) dinyatakan bubar oleh MK.
Ketua MK, Mahfud
MD mengatakan Pasal 50 ayat (3) UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Penggolongan kasta dalam sekolah
seperti SBI (Sekolah
Berstandar Internasional), RSBI dan Sekolah Reguler merupakan bentuk diskriminasi dan bertentangan dengan
konstitusi.
Setelah
putusan MK ini, maka RSBI yang sudah ada kembali menjadi sekolah negeri biasa. Pungutan karena
sistem RSBI, juga harus dibatalkan. Pasalnya, pungutan tersebut merupakan
bentuk ketidakadilan terhadap hak semua warga negara untuk memperoleh pendidikan dasar dan menengah yang setara. Apalagi pemerintah tengah
menjalankan program wajib belajar 12 tahun dan menganggarkan dana pendidikan
sebesar 20% dari APBN.
Hanya siswa dari keluarga kaya atau mampu yang mendapatkan
kesempatan sekolah di RSBI yang merupakan sekolah elit. Sedangkan siswa dari
keluarga sederhana atau tidak mampu hanya memiliki kesempatan diterima di
sekolah umum (sekolah dengan
kualitas seadanya).
Selain itu,
adanya aturan bahwa bahasa Indonesia hanya dipergunakan sebagai pengantar
untuk beberapa mata pelajaran seperti pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan
Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal. Maka sesungguhnya keberadaan RSBI
secara sengaja mengabaikan peranan bahasa Indonesia dan bertentangan dengan
Pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Penekanan bahasa Inggris juga dinilai sebagai bentuk
pengkhianatan terhadap Sumpah Pemuda tahun 1928.
Menyoal RSBI
Uji materi
terhadap Pasal 50 ayat (3) UU No.20 Tahun 2003 sebenarnya
telah berlangsung sejak Nopember 2011 oleh Koalisi
Anti Komersialisasi Pendidikan (KAKP) sebagai pemohon.
Pada sidang MK (15/5/2012) dua
saksi ahli dari pemohon yaitu mantan
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Daoed Joesoef, serta ahli filsafat dan manajemen pendidikan, Prof. HAR Tilaar memberi keterangan. Daoed
mengatakan, dia sangat menentang pengembangan sekolah RSBI/SBI. "Saya
menuntut pemerintah secepatnya membubarkan RSBI/SBI di Bumi Indonesia yang
merdeka dan berdaulat," kata Daoed.
Menurut Daoed, dia menentang cara dan standar yang dipilih
pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan sistem RSBI/SBI, yang
menciptakan pengkastaan dan melegalkan pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar dalam pendidikan. Sementara
Prof. HAR Tilaar
mengatakan, pendidikan RSBI/SBI Indonesia yang mengacu pada negara-negara
industri maju yang tergabung dalam OECD, menunjukkan Indonesia tidak memiliki
kemerdekaan budaya. "Indonesia
justru harus bisa menemukan kekuatan sendiri, dengan berlandaskan pada
kebudayaannya, termasuk dalam pelaksanaan pendidikan," kata Tilaar. Menurut Tilaar, pendidikan RSBI/SBI hanya menghasilkan
manusia yang pintar secara intelektual, bukan manusia yang berkarakter dan
berbudaya.
Eksistensi
RSBI memang patut dipersoalkan. Secara legalitas RSBI ‘lahir’ berdasarkan UU
No. 20/2003 Pasal 50 ayat (3), yang menyatakan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Keberadaan norma dalam pasal
tersebut tidak memiliki penjelasan dalam pasal-pasal sebelumny, namun tiba-tiba muncul pasal 50 ayat
(3) itu. Hal ini patut
dipersoalkan karena tidak ‘seirama’ dengan semangat UU Sisdiknas tersebut.
Pendanaan
RSBI berasal dari block grant yang
diambil dari APBN, dan untuk melengkapi sarana dan prasarana maka pihak sekolah
mempunyai wewenang untuk mengutip biaya dari orang tua siswa. Biaya ini bisa
mencapai jutaan bahkan puluhan juta rupiah yang hanya bisa dijangkau golongan
berpunya. Hal ini berarti pemerintah bertindak tidak adil karena mensubsidi
orang kaya.
RSBI adalah program
yang salah model, seharusnya untuk RSBI di bawah wewenang pemerintah daerah jika
berdasarkan UU Sisdiknas. Pemerintah daerah seharusnya
membuat RSBI berupa sekolah baru bekerjasama dengan pihak swasta, tanpa
menggunakan biaya APBD atau APBN. Dengan demikian RSBI berhak mengutip dana
dari masyarakat. Tetapi yang terjadi justru pemerintah melabelkan ‘RSBI’ pada sekolah-sekolah negeri yang telah ada.
RSBI telah berubah menjadi
proyek. Sejak tahun 2003 RSBI mulai diperkenalkan, dan hingga 2012 telah ada
1.300 RSBI yang tersebar di seluruh Indonesia. Sekolah-sekolah negeri berlomba
dengan segala macam cara agar mendapatkan label ‘RSBI’, dengan label ini maka
pihak sekolah akan mendapat dana block grant dan kewenangan mengutip biaya dari
oran tua siswa.
RSBI telah
berubah menjadi label semata. Banyak sekolah yang berlabel RSBI tapi kualitas
sekolah tersebut hanya sekolah standar nasional (SSN) biasa. Sarana, prasarana,
tenaga pendidik, dan metode pembelajaran tidak berbeda dengan sekolah regular.
Label ‘internasional’ hanya sekadar kedok untuk mengutip uang lebih. Pada Ujian
Nasional tidak sedikiti siswa yang berasal dari RSBI justru mendapat nilai
rendah, mereka lulus karena didongkrak nilainya.
Penggunaan bahasa
pengantar pendidikan yang salah konsep. Dengan label RSBI, materi pelajaran harus diajarkan
dalam bahasa Inggris, sementara di seluruh dunia seperti Jepang, China, India, dan Korea justru menggunakan bahasa nasionalnya, tetapi siswanya tetap
berkualitas dunia.
Istilah RSBI adalah sebuah pembohongan publik. RSBI telah memberikan persepsi yang keliru
kepada orang tua, siswa, dan masyarakat karena RSBI dianggap sebagai sekolah yang akan
menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dengan berbagai kelebihannya.
Padahal, kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai dan bahkan akan
menghancurkan kualitas sekolah yang ada.
Generasi Baru
RSBI lebih
banyak dimanfaatkan oleh siswa dari keluarga kaya yang ‘berani’ membayar dengan harga mahal sehingga telah
menciptakan kastanisasi pendidikan di Indonesia. Pembedaan
perlakuan demikian bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan
perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama
sekolah milik pemerintah yang
dibiayai oleh APBN.
Anak-anak
yang tidak mampu secara ekonomi, yang kurang cerdas karena latar belakang
lingkungannya yang sangat terbatas, tidak mungkin bersekolah di RSBI. Padahal pendidikan
berkualitas seharusnya bisa dinikmati oleh semua. Terlebih lagi terhadap
pendidikan dasar dan menengah,
sepenuhnya harus dibiayai oleh negara sebagaimana diamanatkan Pasal 31 ayat (2)
UUD 1945.
RSBI secara
konsep juga salah karena mengadopsi badan hukum pendidikan seperti PTN-PTN di
Indonesia yang memang diberi kewenangan untuk membuka kesempatan kepada
mahasiswa dari keluarga kaya untuk membayar lebih banyak melalui ‘jalur khusus’.
Keberadaan RSBI
sebagai upaya pemerintah menghadirkan lembaga pendidikan yang bermutu dan
berstandar internasional, baik di tingkat sekolah dasar, menengah pertama,
maupun di tingkat sekolah menengah atas, sebenarnya perlu didukung. Tapi kecenderungan yang
terjadi adalah keberadaan RSBI justru tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu
pendidikan itu sendiri. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan adalah proses
komersialisasi pendidikan yang semakin massif.
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini, secara kultural, memang sangat gandrung dengan hal-hal berbau asing,
khususnya bahasa Inggris. Apa saja yang berlabel ‘internasional’ pasti akan disukai. Sehingga, hadirnya bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di RSBI dinilai
justru akan menghambat rasa cinta dan bangga generasi muda pada bahasanya
sendiri. Penggunaan bahasa Inggris di RSBI juga akan mempersulit penyampaian materi
pelajaran. Padahal, UNESCO saja mengakui keunikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
modern karena mampu membahas hal-hal yang bersifat abstrak, seharusnya rakyat
Indonesia lebih mengembangkan bahasanya sendiri.
Selain itu, hal yang juga paling dikhawatirkan dari RSBI adalah liberalisasi
dan komersialisasi pendidikan, yang bertentangan dengan hak warga negara.
Sekolah-sekolah yang menjadi RSBI memang sekolah unggulan yang biayanya relatif
mahal sehingga
disebut sekolah elit untuk kalangan orang berpunya. Pengkastaan di dunia pendidikan seperti ini jelas tidak akan menciptakan manusia yang egaliter. Inilah
akhir dari RSBI.
Semoga pendidikan yang ada di negari ini tidak dipandang hanya menghasilkan
generasi yang baru. Seperti kata bijak dari Kartono (2000), yaitu "Generasi yang besar
kepalanya, kerdil hatinya dan tertangkup tangan kepeduliannya". ***