Praktik
Suap dalam PPDB
Oleh : Fadil Abidin
Pendaftaran
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SLTP sederajat dilaksanakan
tanggal 27 Juni sampai dengan 2 Juli 2016. Ujian masuk (testing) dilaksanakan
11 Juli 2015. Pada 8 Juli, seseorang oknum guru SMP Negeri (SMPN) tempat
sekolah saya mendaftarkan anak menelepon. Intinya ia menawarkan “bantuan” agar
anak saya bisa diterima di SMPN tersebut.
Ia
menyebutkan angka sekitar Rp 2 juta, uang tersebut harus dimasukkan ke dalam
amplop dan ditulis nomor peserta ujian, dan diserahkan selambatnya 9 Juli. Lalu
saya jawab, bahwa saya sedang pulang mudik Lebaran di kampung sehingga tidak
bisa “menyetorkan” uang tersebut. Oknum guru yang mengaku panitia PPDB itu pun
menjawab, selepas ujian tanggal 11 Juli pun boleh, asal ada kemauan untuk
membayar.
Ketika
11 Juli dilaksanakan testing masuk, para orang tua calon siswa pun ternyata
banyak yang mengalami hal yang sama. Mereka ditelepon dan diminta uang jutaan
rupiah agar anaknya “lulus ujian” dan bisa diterima di SMPN tersebut.
Perlu
diketahui, SMPN tersebut terletak di pinggiran kota Medan, dan bukan SMPN
favorit. Tapi minat masuk ke SMPN sangat tinggi karena hanya ada dua SLTP
negeri di kecamatan tersebut, yaitu SMPN dan Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN).
Sementara jumlah SD (swasta maupun negeri) di kecamatan tersebut sekitar 20 SD.
Baik SMPN maupun MTsN tersebut menerima 300 siswa, sementara jumlah pendaftaran
masing-masing sekolah mencapai hampir 500 orang.
Maka
yang terjadi kemudian adalah “hukum ekonomi”. Supply dalam hal ini “persediaan” (sekolah negeri) yang sedikit
dengan (demand) peminat yang tinggi
menyebabkan ada “harga” yang harus dibayar.
Para orang tua murid
bersedia saja membayar “uang suap” tersebut karena beberapa pertimbangan.
Pertama, sekolah tersebut berstatus negeri, dan dianggap mempunyai standar yang
baik. Kedua, bebas biaya SPP sehingga tak perlu membayar uang bulanan, uang buku,
uang ujian dsb. karena ada dana BOS. Ketiga, ada perasaan malu jika anaknya
tidak lulus ujian dan tidak berhasil masuk SMP Negeri.
Praktik suap dalam PPDB
ini konon telah berlangsung lama sejak ada ujian masuk ke SMPN. Praktik ini
terus berlangsung karena sangat “menguntungkan”, sekolah memegang hak mutlak
untuk meluluskan atau tidak meluluskan seorang calon siswa. Coba bayangkan dari
300 peserta didik baru yang diterima jika separuhnya harus menyuap antara Rp
2-3 juta, jika sekolah favorit bahkan bisa mencapai puluhan juta. Berapa banyak
yang diterima oleh panitia PPDB?
Praktik suap dalam PPDB
sebenarnya telah menjadi rahasia umum. Jual beli kursi di sekolah-sekolah
negeri, baik yang favorit maupun tidak favorit sudah lama terjadi. Dan
tampaknya ada pembiaran. Selama ini saya hanya mendengar, tapi tahun ini saya
yang langsung mengalaminya.
Membayar
atau Tidak?
Saya seperti
“ditodong”, jika saya tidak membayar ada kesan seolah-olah anak saya tidak akan
diluluskan dan namanya akan “ditimpa” oleh orang lain yang bersedia membayar
uang tersebut. Tapi jika saya membayar, ini bertentangan dengan hati nurani.
Akhirnya, saya
memutuskan untuk tidak membayar uang suap PPDB tersebut. Saya hanya memberi
semangat agar anak saya menjawab soal ujian dengan sebaik-baiknya. Jika
akhirnya tidak lulus masuk SMPN, saya memintanya untuk tidak kecewa dan
bersedia masuk SMP swasta. Toh, tak selamanya SMPN lebih baik dari SMP swasta,
dan nyatanya banyak SMP swasta yang lebih baik kualitasnya ketimbang SMPN,
walaupun uang sekolahnya lebih mahal.
Praktik suap dalam PPDB
yang telah berlangsung selama bertahun-tahun ini jelas membunuh masa depan
generasi muda anak-anak bangsa. Coba bayangkan, jika ada puluhan bahkan ratusan
anak-anak dari keluarga yang kurang mampu, dan mereka sangat berharap
anak-anaknya masuk SMPN karena tidak adanya uang SPP bulanan.
Tapi, karena adanya
suap dalam PPDB, keinginan mereka untuk masuk sekolah negeri tersingkir oleh
mereka yang mampu membayar. Masuk ke SMP swasta mereka tak mampu, dan akhirnya
mereka putus sekolah dan hanya sampai tamat SD saja. Ini menjadi tanggung jawab
siapa?
Tidak adakah hati
nurani para pembina pendidikan dan pemimpin di negeri ini untuk tidak terus
melaksanakan “pembunuhan” masa depan generasi muda ini?
Sekolah negeri yang
dibiayai negara seharusnya lebih diperuntukkan kepada kaum ekonomi lemah dan
orang-orang yang kurang mampu, terlepas mereka pintar atau tidak pintar.
Pendidikan adalah kunci bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan. Jika akses
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi ini dihambat dengan sejumlah hal,
seperti adanya uang suap atau dianggap “kurang pintar” karena tidak lulus
testing masuk. Maka bangsa ini tidak akan pernah menjadi bangsa yang maju.
Ratusan triliunan
rupiah digelontorkan pemerintah untuk memajukan pendidikan di tanah air, tapi
jika watak-watak korup masih bercokol di kepala para pendidik kita. Maka
semuanya akan sia-sia, semua hanya omong kosong belaka.
Di negara-negara maju,
sekolah negeri (public school) memang diperuntukkan kepada warga kurang mampu
secara ekonomi karena dibiayai oleh negara. Orang-orang yang mampu
dipersilahkan mendaftar di sekolah swasta (private school).
Tapi di negeri ini
semuanya terbalik, sekolah negeri menjadi ajang pungli, suap-menyuap, korupsi,
dan nepotisme dalam PPDB. Sehingga yang bersekolah negeri (apalagi yang terbaik
dan favorit) justru orang-orang kaya. Orang-orang kaya ini bersekolah yang
dibiayai oleh negara. Sementara si miskin akan bersekolah di sekolah swasta
berkualitas rendah karena biaya SPP nya juga rendah, atau bahkan tidak melanjut
sekolah lagi.
Bukankah ini sebuah
ironi, orang mampu dibiayai oleh negara, sementara yang tak berpunya harus
membiayai sendiri pendidikannya?
Sekolah
Peradaban
Sekolah-sekolah
kita memang saya katakan tidak beradab. Dengan adanya testing masuk SMPN,
jelas-jelas menunjukkan bahwa yang diterima adalah orang-orang pintar.
Orang-orang yang tidak pintar harus menyingkir, cukup sampai di sini, tamat SD
saja. Vonis pun sudah ditimpakan, kalian hanya pantas menjadi kuli atau buruh
kasar saja.
Praktik
suap-menyuap dalam PPDB yang terus terjadi, juga mengindikasikan watak bangsa
ini yang korup kronis. Orang-orang yang tak mampu membayar suap masuk SMP
Negeri, silakan menyingkir, cukup sampai di sini, tamat SD saja.
Praktik
suap-menyuap atau jual beli kursi di sekolah negeri juga mengindikasikan
matinya hati nurani. Beranikah kita menolah tawaran menyuap tersebut dengan
risiko anak-anak kita disingkirkan? Ataukah
kita turut hanyut dalam budaya kotor tersebut?
Sekolah yang sejatinya
sebagai pemulia peradaban, justru menjadi sumber kebobrokan peradaban. Ah,
rasanya kita tak usah terlalu pusing bagaimana memberantas korupsi yang telah
berurat berakar dan membudaya di bangsa ini. Bukankah kita sudah dididik menjadi
koruptor di sekolah?