Menghitung Angka Golput Pilgubsu 2013
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam OPINI Harian Analisa Medan, 18 Januari 2013
Pemilihan Gubernur Sumatera Utara
(Pilgubsu) akan berlangsung 7 Maret 2013 nanti. Tapi KPU Sumut tampaknya mulai pesimis terhadap tingkat
partisipasi pemilih. Anggota Komisioner KPU Sumut Turunan Gulo, Surya Perdana,
Nurlela Johan dan Rajin Sitepu, saat konperensi pers di gedung KPU (26/11/2012)
mengungkapkan, prediksi golongan putih (golput) alias tidak memberikan hak suara
dalam Pilgubsu7 Maret 2013 nanti diperkirakan mencapai 1.183.346 orang. Angka tersebut
diambil berdasarkan jumlah penduduk Sumut 15.977.383 jiwa, kemudian diikuti Daftar
Penduduk Potensial Pemilih Pilkada (DP4) sebanyak 11.300.526 yang diserahkan Pemprovsu
ke KPU Sumut dan selanjutnya menghasilkan Data Pemilih Sementara (DPS)
10.117.187 orang. Jadi ada selisih 1.183.346 warga Sumut yang diduga bakal kehilangan
suara.
Berdasarkan angka tersebut yang sudah hampir pasti golput adalah sekitar 11,7%. Golput jenis ini adalah golput administratif atau digolputkan oleh sistem administrasi kependudukan yang dari dulu memang tidak pernah valid. KPU memang tidak bisa disalahkan dalam hal ini karena sumber kekacauannya adalah sistem administrasi kependudukan yang berada di bawah wewenang Kementerian DalamNegeri, pemerintah daerah dan Dinas Kependudukan.
Memang aneh, jika ada nama yang
tercantum dalam daftar pemilih, tapi oknum yang punya nama itu tidak diketahui keberadaannya.
Atau, orangnya ada dan memenuhi syarat untuk memilih tapi namanya tidak tercantum
dalam daftar pemilih. Bisa juga,
orangnya ada dan namanya juga tercantum dalam daftar pemilih, tapi ia memilih
di TPS di tempatnya yang lama (walaupun ia sudah pindah alamat 5 tahun lalu).
Kasus yang sering terjadi adalah penduduk
yang berdomisili di daerah perbatasan kota/kabupaten, mereka biasanya mempunyai
data kependudukan ganda. Misalnya, ia sebenarnya warga Kabupaten Deli Serdang
(punya KTP Deli Serdang), tapi karena bekerja di Kota Medan, dia pun mengurus
KTP ‘tembak’ di Medan. Alasan lain agar
supaya mendapat kredit (bank, perumahan atau kendaraan) atau mendapat kemudahan
dalam berobat (mendapat Askes, Jamkesmas atau JPKMS). Banyak juga orang Medan
yang pindah ke daerah lain yang tidak mau melepas “kewargaan” Kota Medan.
Hal-hal seperti inilah yang akan menambah angka golput berkisar 6-8%.
Daftar Pemilih
Persoalan di atas berimbas pada Daftar Pemilih Tetap (DPT), biasanya dari maksimal 600
orang tiap TPS (Tempat Pemungutan Suara), maka yang mencoblos rata-rata paling
banyak 400 orang. Petugas TPS kesulitan menyebar undangan memilih yang
berdasarkan DPT karena nama-nama yang tercantum di dalamnya tidak dikenal,
tidak diketahui atau tidak ada orangnya. Sebagai bukti, kakak penulis yang
sudah pindah 10 tahun ke Jakarta, tapi hari ini masih tercantum di Daftar Pemilih
Sementara (DPS). Kepala Lingkungan sudah berkali-kali mencoba melaporkan setiap
ada pemilu/pilkada, tapi namanya tetap muncul di DPT. Inilah yang kerap terjadi
di lapangan.
Selain itu DPT di TPS yang tidak berbasis
wilayah Lingkungan (terdekat) juga menjadi penyebab tingginya angka golput. Siapa
yang mau mencoblos, jika jarak rumah dengan TPS sangat jauh? Petugas TPS pun
tidak kenal atau enggan jika harus mengantar undangan memilih yang jauh seperti ini, sehingga pemilih tidak
mendapat undangan untuk memilih. Persoalan
teknis ini tampaknya sepele, tapi penulis perkirakan menyumbang 10-12% angka golput.
Penyebab lain mengapa masyarakat tidak
menggunakan hak pilihnya karena masyarakat malas datang ke TPS, apatis, tidak punya pilihan,
atau karena tidak percaya pada semua calon pasangan. Ini masalah yang berasal dari
diri pribadi tiap orang.Tiap orang punya motif untuk memilih atau tidak memilih.
Golput jenis ini diperkirakan akan menyumbang 8-10%.
Masyarakat sebenarnya bukanlah tidak tahu soal Pilgubsu ini. Informasi
yang ada, baik cetak, elektronik, terutama lewat baliho dan sosialisasi dari tim
pendukung para calon yang telah menyebar ke pelosok desa, mereka tahu akan ada pilkada.Tapi
masyarakat telah berubah seiring perkembangan zaman.
Orang mencoblos atau memilih calon dalam pilkada sama halnya ketika
membeli suatu produk di swalayan. Proses ini dimulai saat pembeli mengidentifikasi
apa saja yang menjadi kebutuhannya. Setelah itu, ia mencari
informasi tentang produk yang dibutuhkannya, itu pun tidak serta merta mereka
membeli produk itu. Biasanya, mereka akan melakukan evaluasi, dan membandingkan
berbagai produk sejenis. Proses tersebut juga berlaku saat masyarakat memilih calon
kepala daerah. Saat menjelang Pilkada, warga akan mencari informasi sosok calon yang akan dipilih. Seharusnya,
pada masa kampanye inilah para kandidat dan partai politik harus mampu meyakinkan
pemilih.
Para Calon
Persoalan golput sedikit banyak juga dipengaruhi oleh para calon.
Jika ada calon yang dianggap favorit, terkenal, atau fenomenal maka kemungkinan
partisipasi pemilih juga akan meningkat. Tapi jika tida kada, maka adagium lama
pun berlaku, “siapapun yang menang tidak ada bedanya”. Faktor calon ini diperkirakan
menyumbang 10-12% angka golput.
Pada Pilgubsu 2013, ada lima pasangan calon yang akan dipilih,
yaitu Gatot Pujo Nugroho - Tengku Erry Nuradi, Chairuman Harahap -
FadlyNurzal, Effendi Muara Sakti Simbolon - Djumiran Abdi,
Gus Irawan Pasaribu -
Soekirman dan Amri Tambunan - RE Nainggolan.
Gatot Pujonugroho yang merupakan Plt (Pelaksana tugas) Gubernur Sumut. Selama menjabat
4 tahun lebih, belum ada prestasi atau
terobosan yang berarti. Sementara Tengku Erry Nuradi adalah Bupati Serdang Bedagai (Sergai) untuk dua periode. Sosok ini dianggap
cukup sukses membangun Sergai sebagai kabupaten baru pemekaran dari Kabupaten
Deli Serdang.
Chairuman Harahap mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumut yang kini menjadi
anggota DPR RI dari Golkar. Ketika menjabat Kajati Sumut tidak banyak prestasi
yang ditorehkannya, bahkan ada isu-isu, konon Chairuman tidak menindak seorang kepala
daerah yang dianggap melakukan korupsi. Sementara Fadly Nurzal, tidak banyak terdengar kiprahnya secara luas, kecuali khusus kegiatan di
internal Partai Persatuan Pembangunan.
Effendi Muara Sakti Simbolon, orang Sumut banyak yang tidak mengenalnya.
Ia tidak menetap di Sumut. Ia terpilih jadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan
Jakarta. Walaupun menyandang marga Simbolon, ia dianggap calon ‘impor’ dari Jakarta. Pernyataannya bahwa Bagan Siapi-api adalah wilayah Sumut dan akan
dijadikan sentra perikanan nasional, menunjukkan ia tidak mengenal daerah ini dengan
baik. Sementara Djumiran Abdi adalah sosok yang nyaris tidak dikenal secara luas
di Sumut.
Gus Irawan Pasaribu merupakan mantan Dirut Bank Sumut, di
bawah kepemimpinannya Bank Sumut yang pada mulanya buruk kinerjanya perlahan diperbaiki
menjadi salah satu bank daerah terbaik
di Indonesia. Selama menjadi dirut, Gus Irawan kerap menyalurkan kredit kepada
pemilik usaha kecil dan menengah, inilah basis dukungan Gus Irawan. Tapi pengalamannya
di dunia politik sangat minim. Sementara Soekirman adalah Wakil Bupati Sergai dua
periode, kiprahnya di bawah bayang-bayang Tengku Erry Nuradi yang menjabat Bupati
Sergai.
Amri Tambunan adalah Bupati Deli Serdang selama dua periode. Selama dua periode
menjadi Bupati Deli Serdang, tidak ada pembangunan yang membuat orang berdecak kagum.
Di bidang pertanian, Amri dianggap berhasil
menjadikan Deli Serdang lumbung beras Sumut. Tapi soal pembangunan sarana dan prasarana
jalan sangat mengecewakan. RE Nainggolan dikenal sebagai birokrat, punya banyak
pengalaman dalam birokrasi selama menjadi Sekretaris Daerah Sumut. Tapi mustahil menarik gerbong
birokrat untuk menjadi pemilihnya.
Jadi, nyaris tidak ada calon yang dianggap berprestasi
luar biasa, fenomenal atau pencipta terobosan baru. Semua calon masih dianggap ‘biasa-biasa
saja’. Pilgubsu 2013 dianggap kurang greget, baik dari segi isu, calon, maupun janji
kampanye. Secara total kisaran golput diperkirakan akan mencapai 40-42%. Hal
ini berarti hanya 58-60% warga Sumut yang akan menggunakan hak pilihnya di
Pilgubsu 2013.***