Balada
Abdillah, Syamsul, dan Rahudman
Oleh :
Fadil Abidin
Dua
tahun enam bulan sudah kasus dugaan korupsi dana Tunjangan Penghasilan
Aparatur Pemerintah Daerah (TPAPD) Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) Tahun Anggaran 2004-2005 sebesar
Rp 1,5 miliar yang dilakukan Rahudman
Harahap saat menjabat
sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Pemkab Tapsel, kini Walikota Medan, mengendap di pengadilan.
Publik kota
Medan kembali terhenyak, kasus ini kembali di buka, dan pada tanggal 3 Mei 2013
lalu Rahudman dijadikan tersangka di Pengadilan Tinggi Sumut. Spekulasi pun
berkembang, akankah Rahudman akan bernasib sama seperti Abdillah dan Syamsul
Arifin?
Sesungguhnya
ini semua adalah kesalahan kita bersama, kita sering salah dalam memilih
pemimpin. Kita sering memakai ‘kaca mata kuda’ dalam memilih pemimpin. Tolok
ukur kita terlalu sempit dan picik dalam memilih kriteria seorang pemimpin, dan
cenderung bersifat primordialisme. Akibatnya, seorang koruptor pun kita
sanjung-sanjung dan dipilih sebagai pemimpin.
Dulu kita
tahu misalnya, sebelum Pilkada Kota Medan digelar 27 Juni 2005, incumbent
atau petahana Walikota Medan, Abdillah, begitu ramai diberitakan tersangkut
masalah dugaan korupsi. Abdillah diduga bertanggung jawab atas mark
up pembelian mobil pemadam kebakaran senilai Rp 3,8 miliar dan
penyelewengan APBD Kota Medan tahun
2002-2006 sebesar Rp 26 miliar.
Tapi toh, kita tetap memilihnya
sebagai walikota.
Walaupun
kasus dugaan korupsi itu telah berhembus kencang sebelum pemilihan walikota,
tapi kebanyakan warga Medan tetap menganggap Abdillah sebagai sosok kepala
daerah yang berhasil membawa Kota Medan ke arah pembangunan yang lebih baik. Sehingga
tidak heran jika Abdillah pun terpilih kembali menjadi Walikota Medan periode
2005-2010.
Belum genap
tiga tahun menduduki jabatan walikota periode keduanya, pada akhir Mei
2007, Abdillah resmi dinyatakan sebagai tersangka dan diberhentikan dari jabatannya
sebagai walikota Medan. Pada 22 September
2008, ia dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran
dan penyalahgunaan dana APBD dan
divonis 5 tahun penjara di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta.
Balada Syamsul
Demikian juga Syamsul Arifin. Sebelum Pilgubsu 16 April 2008, mayoritas
masyarakat Sumut sebenarnya sudah tahu jika ia diduga terlibat dalam kasus korupsi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Langkat tahun 2000-2007 yang
merugikan negara senilai Rp 98,7 miliar sewaktu menjabat sebagai Bupati Langkat. Tapi toh, kita tetap memilihnya sebagai gubernur.
Kelihaian
dalam menggelapkan uang APBD Kabupaten Langkat ditutupi dengan sifat dermawan. Syamsul
Arifin pernah disebut-sebut sebagai Robinhood Indonesia dan si Pitung dari Langkat, karena suka membagi-bagikan uang
kepada siapa saja. Dia mau menerima lapisan masyarakat yang setiap minggu datang ke rumahnya.
Beliau dianggap pemimpin yang merakyat dengan membagi-bagikan uang kepada
masyarakat. Tapi yang
dibagi-bagikan itu bukan uang pribadi, tapi hasil dari korupsi.
Sama halnya
Abdillah, Syamsul Arifin pun ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
ketika masih menjabat sebagai kepala daerah. Belum genap dua tahun menikmati
kursi empuk Gubernur Sumut, Syamsul Arifin diciduk KPK pada 22 Oktober 2010. Pada 15 Agustus 2011 Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan vonis 2,5
tahun penjara. Penasehat hukum Syamsul Arifin pun mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi. Tapi Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tipikor DKI
Jakarta dalam sidangnya pada 24 November 2011 justru memperberat hukuman vonis menjadi
4 tahun.
Penasehat hukum Syamsul Arifin pun mengajukan banding ke Mahkamah Agung
(MA). Bukan malah mengurangi hukuman, MA pada sidang tanggal 3 Mei 2012 justru
memperberat kembali hukuman, dari empat tahun menjadi enam tahun penjara. Selain pidana
penjara, majelis kasasi memerintahkan Syamsul Arifin membayar denda 500 juta
rupiah subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp 88 miliar rupiah setara dengan
kerugian negara.
Balada Syamsul
sebagai Gubernur Sumut pun berakhir dalam Keputusan Presiden (Keppres)
No 95 /P tahun 2012 tanggal 12 Oktober 2012 tentang Pemberhentian H Syamsul
Arifin SE sebagai Gubernur Sumatera Utara masa jabatan tahun 2008-2013.
Sedangkan pertimbangan hukum yang dijadikan landasan, yakni tindak lanjut
Putusan Mahkamah Agung No 472 /K/Pid.Sus/2012 tanggal 3 Mei 2012 yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap atas tindak pidana korupsi.
Balada Walikota
Sejak Mei
2007 hingga pelantikan Rahudman Harahap-Dzulmi Eldin pada 26 Juli 2010 sebagai Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010-2015, Medan
nyaris menjadi kota ‘yatim
piatu’, karena Walikota Medan
Abdillah dan wakilnya, Ramli, mendekam di penjara. Pembangunan kota Medan pada
periode tersebut mengalami stagnansi, saat ini kota Medan tertinggal jauh
dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Medan saat ini misalnya telah
‘kalah’ dari Palembang.
Kasus yang
menimpa Walikota Medan yang dulu masuk bui tampaknya akan terulang kembali
seperti dahulu. Sama halnya Abdillah pada masa jayanya, Rahudman Harahap
yang saat ini menjabat sebagai Walikota Medan dinilai sebagai pejabat paling kebal hukum di Sumatera Utara. Pasalnya, meskipun Rahudman
Harahap banyak diterpa sejumlah kasus, namun tetap saja bisa bebas dan aktif
menjalankan roda-roda pemerintahan di Medan. Ketika kasus korupsi yang melibatkan dirinya itu mencuat, walaupun statusnya sebagai
tersangka, tapi ia tidak pernah ditahan pihak kepolisian maupun kejaksaan. Bahkan karirnya terus meningkat,
dari Sekda Kabupaten Tapsel menjadi Walikota Medan.
Rahudman
terus di atas angin, ketika terbit SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dari Kejaksaan Tinggi Sumut (Kejatisu). SP3 ini mengejutkan semua pihak, tak
terkecuali Ketua KPK Abraham Samad. "KPK akan ambil alih kasus
korupsi Rahudman Harahap (Walikota Medan) bila Kejaksaan tidak melanjutkannya,"
kata Ketua KPK, Abraham Samad
ketika datang ke Medan bersama Kapolri Jenderal Timor Pradopo, Wakil
Jaksa Agung, Darmono dan rombongan dalam rangka pembukaan pelatihan bersama
peningkatan kapasitas penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
hasil kerjasama KPK, Poldasu, Kejatisu, di Grand Angkasa Hotel (5/2/2013).
Berkaca dari
kasus korupsi yang dilakukan Abdillah dan Syamsul Arifin yang mengendap di
kejaksaan negeri dan kejaksaan tinggi sehingga mereka lolos untuk sementara
dari jeratan hukum. Tapi ketika diciduk KPK, mereka yang saat itu tengah
berkuasa, toh akhirnya menjadi
terpidana.
Hal ini
seharusnya menjadi pembelajaran bagi semua pejabat, terutama kejaksaan dan
pengadilan. Jangan mereka main-main dengan hukum, karena masih ada hukum di
atas mereka. Hari ini mereka bisa meloloskan pejabat yang menjadi tersangka,
dan pejabat yang bersangkutan jangan merasa terbebas dari hukuman. Masih ada
pengadilan Tipikor di Jakarta yang akan mengadili. Jika KPK sudah bertindak,
maka tipislah harapan untuk bebas, sebab dalam sejarahnya KPK tidak pernah
membebaskan tersangka korupsi yang ditanganinya.
Kini
Rahudman tengah mengikuti proses sidang sebagai tersangka di Pengadilan Tinggi Sumut.
Menyimak cerita para kepala daerah memang mirip sebuah balada, selalu diakhiri
dengan duka. Setelah Abdillah dan Syamsul siapa yang akan menyusul? ***