Anak Indonesia Terancam ‘Lemot’
Oleh
: Fadil Abidin
Dimuat
dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 13 Maret 2013
Indonesia terancam tak memiliki generasi
emas di masa mendatang. Masalah yang
tak kunjung teratasi, seperti
kekurangan gizi dan nutrisi pada anak-anak adalah menjadi
pemicunya. Anak-anak Indonesia terancam
‘lemot’ alias lemah otak. Akibat kekurangan gizi dan nutrisi ini diperkirakan seperempat otak
anak Indonesia hanya mempunyai kapasitas memori seperti komputer dengan prosesor Pentium 3.
Pentium 3 adalah prosesor yang dirilis Intel tahun 1999, kemudian
diikuti kelas yang lebih tinggi seperti Pentium 4, Dual Core, Core 2 Duo, Core
2 Quad,Core i3, Core i5, dan Core i7. Semakin tinggi kelas prosesornya, maka
komputer akan semakin cepat memproses data. Coba bayangkan sudah berapa tingkat
kita ketinggalan jika kita masih memakai prosesor Pentium 3, sementara yang
lain sudah memakai Core i7.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2011 sekitar 17,9
persen anak Indonesia mengalami kurang gizi, 5,4 persen gizi buruk dan 36
persen mengalami stunting (pengecilan
dan penurunan tinggi
badan). Jika
dihitung-hitung dari total jumlah anak Indonesia, sekitar seperempat anak
balita Indonesia tidak akan memiliki otak di level Pentium 4
(Ghiboo.com
/21/2/2013).
Asupan nutrisi memang
harus diperhatikan sejak bayi masih di kandungan, karena
pertumbuhan pesat otak
anak terjadi pada usia 0-6
tahun. Masalah makanan
atau gizi mempengaruhi sekitar 13 persen dari faktor genetik, perilaku dan
lingkungan. Untuk mengatasi
hal ini, orangtua harus dibekali edukasi tentang pentingnya nutrisi. Tapi kenyataannya, orangtua justru
menjadi penyebab anaknya kekurangan gizi. Di rumah tangga, terkadang orangtua
(ayah) lebih mementingkan membeli rokok ketimbang membeli makanan bergizi untuk
anak-anaknya.
Menurut Deputi Menteri Negara Bidang
Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS),
Nina Sarjunani, kekurangan gizi merupakan sebuah masalah multifaktor yang
terkait dengan pola makan buruk, praktik kebersihan makanan, infeksi pada
anak-anak, dan perawatan yang tidak memadai (20/11/2012).
Sementara dari laporan UNICEF (2011) mengenai perkembangan
asupan gizi ibu dan anak menyatakan bahwa Indonesia memiliki jumlah anak dengan
keterlambatan pertumbuhan terbanyak kelima di dunia. Diperkirakan sekitar 7,8
juta anak usia di bawah lima tahun di Indonesia terhambat pertumbuhannya.
Memberikan asupan gizi yang benar pada waktu 1000 hari pertama
dalam kehidupan seorang anak merupakan hal yang penting, sehingga anak-anak
dapat belajar dengan optimal dan memiliki kondisi kesehatan yang baik saat
dewasa. Anak-anak yang pada masa
itu tidak mendapat gizi yang memadai dapat mengalami masalah dalam pertumbuhan, baik pertumbuhan otot maupun otak.
Asupan Gizi
Tingkat asupan gizi masyarakat saat ini terutama anak-anak,
dinilai masih rendah. Kondisi itu salah satunya terlihat dari tingkat konsumsi
makanan berprotein tinggi, seperti telur, susu, ikan, daging, dan daging ayam. Protein merupakan zat terpenting dalam
membangun tubuh, terutama untuk pertumbuhan tulang, otot, dan otak.
Tingkat konsumsi daging ayam masyarakat Indonesia, saat ini
rata-rata hanya 7-8 kg per tahun. Sementara Malaysia, mencapai 37 kg per tahun.
Begitu pula tingkat konsumsi telur ayam. Di Indonesia, tingkat konsumsi telur
ayam hanya rata-rata 108 butir per tahun. Sedangkan Malaysia mencapai 387 butir
per tahun.
Tahun
2011 Indonesia menempati urutan ke-124 dari 187 negara dalam hal tingkat
konsumsi daging ayam berdasarkan data UNDP. Harga daging ayam di Indonesia relatif lebih mahal karena peternakan
Indonesia belum mampu swasembada sehingga kebutuhan daging ayam masih diimpor. Negara
dengan produksi ayam terbesar dikuasai Amerika, China, dan Brasil yang sudah
ekspor 13 miliar ekor/tahun, sementara produksi ayam Indonesia hanya 2,5 juta
ekor/tahun. Bandingkan dengan
penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa.
Saat ini, tingkat konsumsi ikan Indonesia 31
kilogram/kapita/tahun, sedangkan tingkat konsumsi ikan di Malaysia sudah mencapai hampir 60 kilogram/kapita/tahun. Hal ini sangat ironis, Indonesia
merupakan negara maritim dengan bentang laut terluas di dunia justru belum
mampu mencapai ketersediaan ikan bagi seluruh rakyatnya.
Sementara orang
Indonesia rata-rata hanya makan daging 7 kg/tahun, rakyat Malaysia
makan telah daging sebanyak 47
kg/tahun. Tingkat konsumsi daging masyarakat Indonesia terbilang sangat rendah di dunia, jika dirata-ratakan,
rakyat Indonesia hanya mengonsumsi daging 0,19 ons per hari atau hanya sebesar
ujung pentol korek api. Kebutuhan sapi impor
tahun 2010 mencapai 630 ribu ekor yang seluruhnya didatangkan dari Australia
karena peternak sapi potong lokal hanya mampu mencukupi kebutuhan sekitar 70-75
persen.
Demikian
juga dengan konsumsi susu, walaupun konsumsi susu di Indonesia terus
meningkat dalam lima tahun terakhir. Namun, konsumsi susu di Indonesia tersebut
masih lebih rendah bila dibanding negara di kawasan Asia. Pada tahun 2011, konsumsi susu di
Indonesia hanya sebesar 12,85 liter susu per kapita per tahun. Jumlah konsumsi
susu Indonesia masih kalah dibanding dengan Malaysia (50,9 liter), India (47,1
liter), Singapura (44,5 liter), Thailand (33,7 liter), Vietnam (14,3 liter) dan
Filipina (13,7 liter).
Pentingnya Protein
Pemberian nutrisi yang tepat
sangat penting untuk tumbuh kembang otak anak. Salah satunya pemberian berupa kalori protein yang mampu
meningkatkan kinerja kognitif anak.
Fungsi kognitif yang optimal sangatlah penting bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Kemampuan ini memungkinkan anak untuk berpikir lebih kompleks serta kemampuan melakukan penalaran dan pemecahan masalah.
Fungsi kognitif yang optimal sangatlah penting bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Kemampuan ini memungkinkan anak untuk berpikir lebih kompleks serta kemampuan melakukan penalaran dan pemecahan masalah.
Dengan berkembangnya kemampuan kognitif, anak akan mudah
menguasai pengetahuan umum yang lebih luas. Dengan begitu, mampu melanjutkan
fungsinya dengan wajar dalam interaksinya dengan masyarakat dan lingkungan.
Kemampuan untuk melakukan tugas kognitif yang kompleks sehari-hari tersebut
sangatlah bergantung pada fungsi otak.
Oleh karena itu, asupan energi yang bertahan lama (terutama protein) dibutuhkan
untuk mendukung perkembangan otak dan pertumbuhan fisik yang sempurna. Apalagi
untuk bisa menjalankan tugasnya, otak memiliki tingkat kebutuhan energi yang
berbeda dengan tubuh.
Pada anak usia 1-6 tahun, rata-rata berat otaknya kurang dari
10% berat tubuh, tetapi kebutuhan energinya lebih dari 40% energi tubuh. Protein berfungsi sebagai zat
pembangun dalam tubuh, meregenerasi sel-sel tubuh, dan sebagai bahan utama
pembentukan otot, tulang, gigi, dan sel-sel otak.
Permasalahannya
adalah bahan makanan yang menjadi sumber protein, terutama protein hewani,
harganya relatif mahal ketimbang bahan makanan lain. Sumber-sumber protein
hewani seperti ikan, daging, dan susu merupakan makanan mewah bagi sebagian
besar masyarakat Indonesia. Sementara sumber protein nabati yang berasal dari
kacang-kacangan belum mampu diusahakan secara maksimal oleh pemerintah. Kedelai
sebagai bahan baku tahu dan tempe masih tergantung impor dari Amerika.
Perlunya Edukasi
Selain itu,
perlu edukasi kepada
para orangtua mengenai pentingnya nutrisi bagi anak-anaknya. Selama ini ada anggapan yang sangat keliru
dalam masyarakat tempo dulu. Misalnya, mitos jika anak-anak mengonsumsi ikan
bisa menyebabkan cacingan. Makan telur akan menyebabkan bisulan, makan daging
bisa membuat mata cepat rabun, minum susu menyebabkan mencret, dan lain
sebagainya. Ada juga anggapan orangtua tempo dulu, bahwa anak-anak tidak baik
makan daging ayam. Anak-anak malah dianjurkan cuma makan cakar ayam, agar konon
nanti pandai ‘nyeker’ alias mencari makan.
Mitos-mitos
ini didasarkan pada keterbatasan ekonomi agar anak-anak tidak meminta bahan
pangan tersebut karena harganya mahal. Tapi mitos ini justru ‘membodohi’
anak-anaknya sendiri.
Sementara
pihak orangtua (terutama ayah) kebanyakan tidak mau mengalah, terutama
mengurangi rokok agar kebutuhan gizi anaknya tercukupi. Menurut YLKI, 70%
perokok di Indonesia berasal dari keluarga miskin. Para perokok tersebut
menghabiskan 12,4% dari pendapatan mereka untuk membeli rokok. Sedangkan
konsumsi beras mereka menghabiskan 19% dari penghasilan mereka. Hal ini
menjadikan kebutuhan merokok prioritas kedua setelah kebutuhan akan mengonsumsi
beras. Sementara kebutuhan
untuk membeli bahan makanan berprotein hanya 5%.
Banyak orang yang mengeluh tidak memiliki cukup uang untuk
memenuhi kebutuhan gizi anaknya. Tetapi mereka masih bisa membeli rokok.
Berarti, ada dana yang sebenarnya dapat dialokasikan untuk pemenuhan gizi anak
agar lebih baik. Bahkan
pada saat pendapatan turun dan harga-harga barang lain meningkat tajam, konsumsi
rokok masih meningkat. Sangat
ironis, jika seorang ayah mampu membeli 1-2 bungkus rokok per hari, tapi tidak
mau membelikan sebutir telur atau sepotong ikan dan segelas susu untuk
anak-anaknya.
Kekurangan
gizi bisa menyebabkan anak kehilangan tingkat kecerdasan intelligence
quotient (IQ) sebesar 13 persen. Selain itu, kekurangan gizi akan berdampak
pada perkembangan tubuh menjadi kurus dan pendek atau disebut stunting. Penderita stunting terjadi,
karena kurangnya anak-anak mengkonsumsi makanan yang bergizi yang mengandung
protein, kalori dan vitamin. Anak-anak
yang mengalami stunting rentan menderita penyakit degeneratif lebih
besar, sehingga akan menjadi beban keluarga dan negara.
Berdasarkan Riskesdas
2011, sekitar 36 persen anak-anak Indonesia menderita stunting. Anak-anak Indonesia di masa akan datang terancam ‘lemot’,
tidak hanya lemah otot yang menyebabkan secara fisik kalah tinggi dan besar.
Tapi juga lemah otak yang menyebabkan kita selalu kalah dalam persaingan apapun
dengan bangsa lain di dunia.***