Cuci Rapor, Cuci ‘Otak Kotor’ Pendidikan Kita



Cuci Rapor, Cuci ‘Otak Kotor’ Pendidikan Kita
Oleh : Fadil Abidin

            Pendidikan kita tampaknya tidak pernah lepas dari masalah ‘otak kotor’ para pelakunya. Sertifikasi guru misalnya, dulu sertifikasi guru ada yang melalui penilaian portofolio. Namun karena banyak oknum guru yang memalsukan ijazah, sertifikat, piagam, karya tulis, dan sebagainya. Maka penilaian portofolio pun dihapus. Kini seluruhnya wajib ikut ujian kompetensi awal (UKA) dan berlanjut mengikuti PLPG. Kabar tak sedap berhembus, konon untuk lulus UKA dan PLPG ini juga ada ‘permainan’ uang.

            Masalah pendidikan kita dari dulu juga tidak pernah lepas dari Ujian Nasional (UN). UN ibarat ‘hantu’, baik oleh siswa, orang tua, guru, sekolah, hingga dinas pendidikan. ‘Otak kotor’ kembali bermain, untuk mendongkrak nilai UN ada bermacam-macam cara. Ada praktik contek massal, guru memberikan jawaban, hingga guru yang menulis lembar jawaban. Praktik agar lembar jawaban UN dikosongkan oleh siswa agar gurunya sendiri yang mengisi, sudah menjadi rahasia umum.
            Motif guru, kepala sekolah, atau kepala dinas pendidikan menginstruksikan cara-cara ini tidak terlepas agar tercapai target tingkat kelulusan 100%. Guru, kepala sekolah, hingga dinas pendidikan akan merasa malu jika tingkat kelulusan dan perolehan nilai UN di wilayahnya rendah. Selain itu ada motif-motif ekonomi, biasanya ada saja orang tua yang ‘menyuap’ guru atau kepala sekolah agar anaknya mendapat nilai tinggi agar diterima di sekolah favorit.
            Praktik ‘cuci rapor’ bukanlah hal yang baru. Harap diperhatikan, praktik cuci rapor saat ini bukan hanya terjadi di jenjang pendidikan tingkat SLTA, bahkan sudah terjadi di tingkat SD. Di tingkat SD misalnya, nilai kelulusan siswa yang tercantum di ijazah merupakan kombinasi antara nilai rapor, nilai Ujian Sekolah (US) dan UN.
Nilai rapor yang diinput dalam aplikasi dan dikirimkan ke dinas pendidikan (seperti PDSS di tingkat SLTA) adalah nilai rapor semester VII sampai dengan XII. Nilai rapor yang diinput biasanya juga sudah ‘dicuci’ atau didongkrak terlebih dahulu. Konon ada instruksi tak tertulis dari kepala dinas pendidikan setempat, agar nilai tersebut didongkrak minimal nilai 7,00 untuk semua mata pelajaran. Praktik di tingkat SLTP konon juga nyaris sama.
Formulasi UN yang baru justru semakin menyuburkan tingkat kecurangan dalam pelaksanaannya. Kelulusan hasil UN disinergikan dengan hasil nilai rapor dan ujian sekolah. Sehingga untuk membantu kelulusan peserta didiknya, pi­hak sekolah diduga “mencuci” rapor untuk mendongkrak nilai. Per­men­diknas No. 45 dan 46 Tahun 2010 bahwa ketentuan bobot nilai kelulusan ditentukan sebesar 60 persen dari UN dan 40 per­sen dari nilai sekolah (NS). Nilai NS di dapat dari akumulasi nilai rapor (40%) dan US (60%).
Maka, praktik cuci rapor di tingkat SLTA menjadi suatu keniscayaan juga. SNMPTN 2013 berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, 90 % dari kuota penerimaan akan diperoleh melaui jalur undangan dengan melihat kepada kinerja sekolah, nilai rapor, UN serta prestasi akademik. Kepala sekolah punya andil yang besar dalam seleksi ini. Pertama ia harus mengirimkan PDSS (Pangkalan data Sekolah dan Siswa) yang berisi data sekolah dan nilai rapor siwa, kemudian akan mendapat password yang akan diberikan untuk siswa saat pendaftaran SNMPTN dan melakukan verifikasi ulang.
Masalah Jalur Undangan
Pada awalnya, jalur undangan dimaksudkan agar siswa-siswa yang cerdas di sekolah, baik di kota maupun di daerah dapat masuk perguruan tinggi negeri (PTN) dengan penuh kemudahan. Jadi tidak perlu mengikuti tes atau ujian yang menghabiskan dana. Jalur undangan ini juga untuk menjaga keadilan di tiap SLTA, sehingga setiap sekolah dapat mengirimkan siswa terbaiknya untuk masuk PTN. Tiap sekolah mendapat kuota berbeda-beda tergantung kepada penilaian, kualitas,  dan kinerja sekolah. Semakin baik kualitas sekolah, maka kuotanya akan semakin besar.
Niat pemerintah, kementerian pendidikan, dan pihak PTN untuk menyediakan jalur undangan ini sebenarnya sangat baik. Pada masa lalu, ketika masuk PTN masih melalui jalur ujian tertulis, maka yang kebanyakan lulus adalah siswa-siswa dari sekolah yang baik kualitasnya yang berada di kota. Jalur undangan ini memungkinkan siswa-siswa yang dianggap terbaik di sekolah-sekolah di daerah bisa masuk PTN.          
            Tapi, sekali lagi peluang ini tertangkap ‘otak kotor’ pelaku pendidikan di sekolah. Dalam benak mereka, jika ada yang mau membayar untuk mendapatkan tiket ke PTN melalui jalur undangan, mengapa pula harus digratiskan? Maka tiket jalur undangan ini pun ‘diperjualbelikan’ melalui praktik cuci rapor. Dengan uang yang konon mencapai Rp 10 juta per siswa, rapor dapat ‘dicuci’ bahkan kalau perlu diganti agar nilai-nilai di dalamnya dapat didongkrak secara ajaib. Berhubung masuk PTN sangat sulit, maka praktik cuci rapor ini sangat diminati, bahkan ada semacam ‘tender’. Pihak yang mau membayar lebih tinggi, maka dialah yang mendapat.    
Jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2013 akan menimbulkan konsekuensi baru. Sebab, proses penilaian terhadap kemampuan calon mahasiswa hanya mengacu pada nilai rapor dan hasil UN siswa saja, sedangkan ujian tertulis akan dihapuskan. Nilai UN dan rapor dianggap sebagai tolok ukur dan kunci utama diterimanya mahasiswa masuk PTN. Sistem yang dioperasikan pada SNMPTN 2013 ini hampir sama dengan jalur undangan pada tahun sebelumya. Bedanya, pihak sekolah yang akan merekomendasikan anak didiknya dan database laporan sekolah akan tersimpan di Pangkalan Data Siswa Sekolah (PDSS).
SNMPTN bertujuan untuk mengembangkan cita-cita luhur pendidikan dengan membangun kepercayaan, lebih selektif, serta melibatkan sekolah dalam kegiatan penyeleksiannya. Selain itu, untuk membangun budaya kejujuran dalam bidang akademik, menciptakan kepedulian PTN terhadap mahasiswa yang berekonomi lemah namun mempunyai prestasi yang baik. Ketetapan ini diberlakukan dengan alasan meningkatkan peran UN dan Nilai rapor yang telah diperoleh siswa selama 3 tahun.
Tapi sekali, ada tangan-tangan kotor yang menodainya, Sistem ini sangat rawan dicurangi, dimanipulasi, dan rawan konflik. Kebijakan itu tentu menuntut pelaksanaan UN dengan kredibilitas tinggi dan menuntut kejujuran pihak sekolah dalam merekomendasikan nilai-nilai anak didiknya. Cuci rapor akan dijadikan salah satu solusi yang harus ditempuh untuk memuluskan siswa yang akan melalui jalur undangan
Kebocoran soal dan kunci jawaban saat penyelenggaraan UN kerap masih terjadi. Saat UN, anak didik yang tidak belajar atau kurang pintar sekalipun berkesempatan mendapatkan nilai yang bagus dikarenakan mereka telah mendapat ‘bisikan’ yang mereka perlukan saat UN dari oknum-oknum yang berlaku curang.
Merugikan Semua Pihak
Jikalau sistem mengandalkan nilai rapor dan nilai UN ini benar-benar harus dilakukan maka rasanya harapan untuk meningkatkan mutu pendidikan sangatlah tidak mungkin. Sebab angka-angka yang tinggi dalam rapor dan nilai UN tidak dapat menjamin kemurnian hasil belajar anak didik, serta kemampuan anak didik belum tentu sama besarnya dengan nilai rapor dan nilai UN yang mereka peroleh. Selain itu, ini akan membuat mutu PTN sendiri menjadi bobrok karena diisi calon-calon mahasiswa yang nilai tingginya hanyalah sebuah kepalsuan atau rekayasa belaka.
Hemat saya, untuk menjadikan nilai rapor dan nilai UN sebagai patokan pada SNMPTN berarti sama saja meningkatkan kecurangan atau sama saja seperti menggali lubang kubur sendiri bagi dunia pendidikan di Indonesia. Sebab SNMPTN dengan sistem tes tulis merupakan jalur yang paling objektif dan seadil-adilnya untuk masuk di perguruan tinggi yang kita inginkan. 
            Praktik cuci rapor untuk mendapatkan jalur undangan masuk PTN sebenarnya akan merugikan siswa itu sendiri, merugikan nama baik sekolah, dan kampus. Sebut saja fakultas di  sebuah PTN, setiap tahunnya menerima calon mahasiswa dari jalur undangan dengan kuota 50 % untuk sekolah di ibukota provinsi dan 50 % lagi buat sekolah daerah. Ada satu SMA ‘ternama’ yang menjadi langganan jalur undangan. Biasanya sekolah ini mendapat jatah lebih sehingga bisa mengirim 5-10 siswa untuk jurusan favorit di PTN tersebut.
Dari jalur undangan ini, ada yang murni memang berprestasi di sekolah, tapi ada juga yang melalui faktor x (sebut saja karena anak pejabat, anak guru, anak dosen di PTN dan fakultas yang dilamar, atau karena membayar). Seiring waktu, maka akan ketahuan, banyak dari mereka yang sangat jauh dari kriteria mahasiswa undangan yang seharusnya mempunyai prestasi akademik di sekolah. Imbasnya saat kuliah terlihat jelas perbedaan antara mahasiswa undangan yang betul-betul berprestasi dengan yang melakukan ‘cuci rapor’. Bayangkan, satu sekolah atau SMA asal, satu jalur undangan, namun memiliki kepandaian ibarat langit dengan bumi. Yang satu hampir ‘cum laude’ sedangkan yang satu harus mengikuti banyak ujian perbaikan (remedial) agar bisa lulus.
Ada ungkapan di kampus seperti,“Wajar dia pandai, dia mahasiswa undangan. Tapi ada juga yang ironisnya kalau dibilang begini ”Wajar bodoh, dia  mahasiswa undangan, pasti dulu cuci rapor! Atau ungkapan sinis seperti, “Wajar saja dia bodoh, dia kan berasal dari SMA XYZ, yang suka mencuci rapor siswanya.” Mahasiswa-mahasiswa seperti ini juga akan menjadi beban bagi fakultas atau universitas untuk selanjutnya.
Sudah menjadi rahasia umum dan praktik yang lazim jika sekolah membantu siswanya dengan kecurangan saat UN, sudah bukan menjadi aib lagi jika sekolah melakukan cuci rapor. Inikah wajah pendidikan kita? Saatnya kita mencuci ‘otak-otak kotor’ para pelaku pendidikan kita!***