Jokowi Menuju Pilpres 2014?
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam OPINI Harian Analisa Medan, 13 April 2013
Popularitas
Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi terus meningkat. Berdasarkan beberapa
survei, daya keterpilihan (elektabilitas) Jokowi selalu di peringkat atas untuk
calon presiden maupun wakil presiden untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden (Pilpres) 2014. Mengapa Jokowi selalu unggul dalam survei-survei
tersebut?
Masuknya nama Jokowi dalam urutan teratas bebagai lembaga survei
memang tidak mengagetkan. Cara pendekatan yang intens dengan masyarakat melalui
blusukan-nya dalam membenahi Jakarta selama ini mampu menyedot animo
masyarakat. Pendekatan Jokowi yang mempresentasikan pemimpin dari kasta masyarakat
bawah ini, seperti dalam membenahi persoalan transportasi, kemacetan, masalah banjir, penataan
birokrasi, pelayanan kesehatan, hingga penataan
warga miskin di Rusun Marunda, mendapat simpati masyarakat luas.
Jokowi
dianggap sebagai tokoh pemimpin alternatif dari tokoh yang sudah ada. Gaya
Jokowi memang sangat otentik, apa adanya dan tidak dibuat-buat. Jokowi
berbicara tidak lebih tinggi ketimbang masyarakat, dengan bahasa sederhana,
gestur tubuh yang spontan, dan mimik wajah apa adanya. Bahkan kalau tertawa, ia
ngakak juga. Cara berpakaiannya juga
bersahaja, lebih sering memakai kemeja putih sederhana, dan segala macam
atribut kepangkatan ia tanggalkan ketika blusukan.
Pose tubuh dan wajahnya lebih mirip duafa (rakyat jelata) ketimbang kepala
daerah, tidak ada usaha pencitraan. Inilah Jokowi.
Sementara itu,
banyak para pemimpin kita yang palsu, serba artifisal (dibuat-buat), dan tidak
otentik. Ketika berbicara terlebih jika berpidato tampak dibuat-buat agar
supaya tampak lebih berwibawa. Intonasi suara. gestur tubuh, roman muka, bahkan
gaya pakaian sebagai pejabat telah ada yang mengaturnya. Hal ini dilakukan
untuk menaikkan citra. Maka yang terjadi adalah kita menyaksikan wajah-wajah
pemimpin kita yang tegang tanpa ekspresi, sedikit senyum tapi lebih banyak mengeluh.
Walaupun
usaha-usaha pembangunan kota Jakarta oleh Jokowi-Ahok belum terealisasi secara
nyata, tapi arah ke sana sudah terlihat. Gebrakan-gebrakan Jokowi-Ahok sebagai
dwitunggal pemimpin Jakarta banyak mendapat simpati publik. Sebagai pemimpin, Jokowi
sangat dekat dengan pers dan media, sehingga setiap gebrakan atau aktivitasnya
selalu diberitakan. Secara tidak langsung ini merupakan humas yang
efektif. Sehingga tidaklah heran jika
banyak kalangan (juga partai politik) yang mulai ‘menggoda’ agar Jokowi ikut
dalam Pilpres 2014, baik sebagai presiden maupun wakil presiden.
Dasar mereka
untuk menggoda Jokowi bukanlah tanpa alasan. Beberapa survei memberikan hasil
yang menyebutkan Jokowi sebagai tokoh yang paling potensial untuk Pilpres 2014.
Jokowi sebagai media
darling atau tokoh yang disukai media, berhasil menjawab keinginan
masyarakat dan menjadi suatu fenomena.
Hasil Survei
Indonesia Network Election
Survei (INES) melakukan survei terkait tokoh Jawa dan non Jawa yang dipandang
layak maju Pilpres 2014. Survei dilakukan 5 Oktober-21 Oktober 2012 (Jokowi-Ahok baru dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta
pada 15 Oktober).
Survei menggunakan 6.000 orang responden yang sudah punya hak pilih pada Pemilu
2014 dengan metode tatap muka, dengan margin error sekitar 2,5 persen. Jokowi berhasil duduk di peringkat ke-8.
Kemudian hasil
survei Pusat Data Bersatu (PDB), nama Joko Widodo menduduki peringkat satu bursa
kandidat yang layak jadi calon presiden mendatang. Lembaga survei yang dipimpin Didik
J Rachbini ini menggelar survei pada 3-18
Januari 2013 dengan 1.200 responden yang berasal dari 30 provinsi. Jokowi
mendapatkan dukungan 21 persen suara, disusul Prabowo dengan 17 persen, dan
Megawati 11,5 persen. Suara yang didapatkan Jokowi dalam survei ini tak hanya
datang dari responden di Pulau Jawa tapi juga luar Pulau Jawa.
Sementara survei yang dirilis Lembaga Survei Jakarta (LSJ), menunjukkan elektabilitas Jokowi mencapai 18,1 persen, Prabowo Subianto (10,9 persen),
Wiranto (9,8), Jusuf Kalla (8,9), Aburizal Bakrie (8,7), dan Megawati (7,2). Survei dilakukan pada 9-15 Februari 2013
dengan 1.225 responden di 33 provinsi. Responden adalah mereka yang sudah
memiliki hak pilih. Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan teknik wawancara berpedoman pada kuesioner. Margin of error survei
itu sekitar 2,8 persen.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI)
memperkirakan Aburizal Bakrie dan Joko Widodo akan menjadi pasangan calon
presiden dan wakil presiden terkuat di posisi atas dengan elektabilitas 36 persen. Posisi kedua disusul
Megawati-Jusuf Kalla sebanyak 22,9 persen, kemudian Prabowo-Hatta 10,1 persen.
Survei dilaksanakan pada 1-8 Maret 2013 dengan metode multistage random
sampling dengan margin
of error sekitar 2,9
persen. Jumlah responden 1.200 orang yang tersebar di 33 provinsi.
Koalisi
Tapi survei yang dilaksanakan oleh
LSI ini banyak mendapat kritik. Misalnya, mengapa Aburizal Bakrie dipasangkan
dengan Jokowi? Bukankah seharusnya dibalik, Jokowi-Aburizal Bakrie? Sebab elektabilitas
Jokowi lebih tinggi. Seharusnya Jokowi lebih pas dipasangkan dengan Megawati
Soekarnoputri sesama kader PDI-P.
Peneliti LSI Adjie Alfaraby
mengatakan, komposisi pasangan calon presiden dan wakil presiden itu dibuat
dengan merujuk pada dua indikator. "Pertama, aturan dalam undang-undang
pemilu dengan syarat
minimal dukungan partai atau koalisi partai dalam mengajukan capres dan
cawapres. Kedua, realitas perolehan suara partai itu sendiri dalam Pileg,"
ujar Adjie (Tempo.co, 17/3/2013).
Dalam UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilu,
syarat pencapresan yakni partai atau gabungan partai harus memenuhi minimal 25 persen suara
sah pemilu atau 20 persen kursi parlemen. Jika syarat tersebut tidak
berubah, maka hanya ada tiga skenario koalisi pencapresan yang akan terjadi
pada Pemilu 2014 nanti.
Diduga ada
tiga koalisi setelah Pemilu Legislatif 2014 untuk Pilpres 2014,
karena parpol harus melakukan koalisi untuk memenuhi syarat minimal 25 persen
suara sah atau 20 kursi di parlemen. Koalisi tersebut yakni poros Golkar dan koalisinya, poros PDI-P dengan
koalisinya, dan Partai Demokrat-Gerindra-PAN dengan koalisinya.
Partai Golkar, sudah menetapkan
Aburizal Bakrie sebagai capres. Sedangkan untuk cawapres beberapa tokoh internal
Golkar mencalonkan Jokowi atau Mahfud MD. Jika
dua nama tersebut bersedia, maka Golkar akan lebih memilih Jokowi daripada Mahfud
MD. Jokowi lebih dipilih
karena popularitasnya.
Sedangkan untuk poros PDI-P dan
koalisinya, hanya Megawati yang berpeluang besar dicalonkan. Sementara
untuk cawapres bagi Megawati, Jusuf Kall
masuk sebagai salah satu nama yang dipertimbangkan PDI-P. Selain memiliki kedekatan antara
dua tokoh itu, Jusuf Kalla juga bisa melengkapi syarat minimal dukunhan
pencapresan yang dibutuhkan PDI-P karena JK dikabarkan mulai digadang-gadang
PPP sebagai capres.
Untuk poros Partai Demokrat - Gerindra- PAN,
saat ini belum ada kader internal yang menonjol yang bisa diusung Partai
Demokrat sebagai calon presiden. Bisa
saja Partai Demokrat akan mendukung capres dari partai lain dan hanya mengincar posisi
cawapres. Partai Demokrat cenderung mengusung Prabowo. Kemungkinan
SBY berkeinginan
tetap menjaga trah militer dalam kepemimpinan nasional, maka Prabowo adalah
kandidat kuatnya. Apalagi keduanya telah bertemu dan melakukan
komunikasi politik beberapa waktu lalu di Istana Negara, Jakarta.
Untuk cawapres bagi Prabowo,
mantan Pangkostrad itu mulai membangun komunikasi politik dengan Hatta Rajasa
yang diusung PAN. Prabowo-Hatta adalah pasangan yang mungkin
muncul di luar kekuatan poros Golkar dan PDI-P. Kedua pasangan ini juga mungkin
direstui SBY. Lalu PKS akan mengajukan siapa? Saat ini PKS tengah menunggu
peluang koalisi mana yang dianggap potensial untuk memenangkan Pilpres 2014.
Pilpres 2019
Banyak kalangan berharap agar Jokowi
tidak tergoda untuk terjun dalam Pilpres 2014. Memang pendekatan yang dilakukan parpol sangat menarik, namun Jokowi janganlah terganggu walaupun godaannya seenak apa pun. Adanya hasil positif lembaga-lembaga survei itu, justru harus dijadikan pelecut Jokowi untuk membenahi Jakarta.
Jika kelak hasilnya teruji, bakal mendapatkan pengaruh memimpin bangsa ini. Memimpin Jakarta itu sama seperti memimpin Indonesia dalam lingkup kecil.
Jokowi sendiri
sebenarnya tidak mau
memikirkan
hasil berbagai survei tersebut.“Saya enggak mau mikir ke
situ," kata Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo
(Kompas.com, 17/3/2013). Jokowi
mengungkapkan, dirinya hanya ingin mengurus macet, banjir, rusun kampung deret,
dan super kampung. Selain itu, Jokowi juga masih ingin mengurus Marunda,
Sunter, Muara Baru, Pluit, Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan, dan Sungai
Angke yang masih menjadi masalah Jakarta.
Selain itu, Jokowi juga masih
ingin memikirkan antusias pemuda yang ingin membangun usaha, memberikan
peluang kepada mereka untuk bisa membangun usaha entah melalui klinik usaha
maupun pendidikan berbasis usaha. Untuk
itu, dirinya meminta supaya jangan menanyakan mengenai pencapres-cawapresan
terlebih dahulu.
Jadi kecil kemungkinan Jokowi akan
maju dalam Pilpres 2014. Menurut analisis penulis, ada siklus 7 tahunan yang
berlaku bagi Jokowi. Pada tahun 2005 dilantik menjadi Walikota Solo, tahun 2012
dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan 2019 dilantik menjadi Presiden RI?
Jadi kita tunggu Jokowi di Pilpres 2019. ***