Menyoal
Daftar Calon Anggota Legislatif Sementara
Oleh : Fadil Abidin
KPU
telah mempublikasikan
6.576 caleg DPR RI yang masuk Daftar Calon Anggota Legislatif Sementara
(DCS) yang diserahkan oleh 12 partai politik melalui website resmi KPU
(24/03/2013). Dari total jumlah tersebut caleg perempuan
sebanyak 2.434 orang (37%)
dan laki-laki sebanyak 4.142 orang (63%). Selanjutnya KPU akan
melakukan verifikasi terhadap syarat pengajuan pencalonan dan syarat bakal
calon dari tanggal 23 April sampai 6 Mei 2013. Hasil verifikasi akan
disampaikan kepada partai politik tanggal 7-8 Mei 2013.
Langkah KPU tersebut seharusnya juga
diikuti oleh KPU Daerah untuk segera mempublikasikan DCS untuk pemilihan DPRD
Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Publikasi ini sangat penting agar publik
dapat menguji, menilai, menyelidiki, mengkritik, mengajukan keberatan, dan
sebagainya atas DCS tersebut.
Publik di sini meliputi anggota
masyarakat, ormas, LSM, lembaga akademik, dan pers. DCS merupakan titik krusial
pertama dari tahapan pemilu yang berkualitas. Untuk itu publik wajib berperan
aktif sejak dini untuk mendeteksi caleg-caleg yang bermasalah. Caleg-caleg yang
bermasalah biasanya adalah caleg yang terdaftar di DCS pada dua partai atau
lebih, terdaftar di dua daerah pemilihan (dapil) atau lebih, keabsahan ijazah
yang diragukan, tersangkut masalah hukum, status sebagai tersangka/terpidana,
bekas narapidana yang belum memenuhi syarat untuk dipilih, dan sebagainya.
Selain itu, walaupun bukan dianggap
sebagai caleg bermasalah, perlu juga kita menyoal dan mengkritisi, yaitu caleg
‘kutu loncat’, caleg yang mengundurkan diri dari satu parpol kemudian ‘loncat’
ke parpol lain menjelang penyusunan DCS. Caleg yang beraroma nepotisme karena
ada satu keluarga ikut nyaleg, mulai dari
ayah, ibu, suami, isteri, mertua, menantu, anak, hingga cucu. Caleg-caleg yang
tidak mempunyai rekam jejak di dunia politik seperti caleg dari kalangan artis atau
selebritis juga patut dikritik. Caleg yang tercela seperti melakukan poligami,
menikah dengan perempuan di bawah umur atau perbuatan asusila lainnya, juga
harus ditolak. Selain itu menteri-menteri yang ikut nyaleg juga harus dipertanyakan. Tugas-tugas mereka sebagai
pembantu presiden untuk melayani rakyat pasti akan terganggu jika ikut berkampanye
nanti.
Caleg
Bermasalah
Banyaknya temuan caleg ganda, satu caleg terdaftar di dua parpol atau dua dapil dalam DCS membuktikan buruknya sistem administrasi parpol. Sistem administrasi partai
masih amburadul, sehingga sulit memenuhi berbagai persyaratan administrasi
kepemiluan. Akibatnya partai tidak mampu mendeteksi caleg ganda di internal
maupun antar partai. KPU harus berani menggugurkan caleg
yang terdaftar di dua partai. Namun untuk caleg yang terdaftar di dua dapil,
partai yang harus memperbaikinya. Jika parpol tidak memperbaikinya, maka KPU harus berani mencoretnya.
Caleg yang terdaftar di dua
parpol atau di dua daerah pemilihan mengindikasikan bahwa caleg tersebut sangat
serakah. DCS saat ini masih dijejali oleh caleg-caleg seperti ini, walaupun
cuma 18 kasus untuk DPR, tapi di DPRD provinsi dan kabupaten/kota niscaya
kasusnya lebih banyak lagi.
Caleg yang bermasalah dengan
keabsahan ijazah patut juga disidik. KPU dan KPUD jangan berpatokan pada ijazah
terakhir yang dimiliki para caleg. Soalnya, banyak orang dengan mudahnya
mendapatkan ijazah S1 (dari universitas swasta tertentu), tapi yang
bersangkutan tidak mempunyai ijazah SLTA atau sederajat. Surat Keterangan
Pengganti Ijazah juga harus diusut keabsahannya.
DCS ternyata masih juga memuat
nama-nama yang tersangkut masalah hukum, baik karena masalah korupsi, narkoba,
tindak asusila, kekerasan/penganiayaan, KDRT, dan sebagainya. Tidak sedikit
yang berstatus tersangka bahkan sudah divonis penjara dan berstatus buronan
yang masuk dalam DCS. Alasannya, karena yang bersangkutan masih mengajukan
kasasi atau peninjauan kembali sehingga belum dieksekusi sehingga masih berhak
mencalonkan diri. Jangan jadikan DCS menjadi daftar calon tersangka atau
terpidana.
Selain itu ada juga caleg-caleg mantan
narapidana yang tercantum dalam DCS. Mahkamah Konstitusi memang telah
menyatakan bahwa mantan narapidana berhak menjadi caleg dengan aturan bahwa
yang bersangkutan telah bebas setidaknya lima tahun ketika mendaftar, dan harus
menyatakan dirinya pernah dihukum lewat publikasi. Untuk mendeteksi mantan
narapidana ini, KPU dan KPUD perlu berkoordinasi dengan pihak kepolisian,
kejaksaan dan Depkumham. Jangan sampai yang tidak memenuhi syarat lolos
verifikasi.
Rekam Jejak
Selain caleg-caleg bermasalah yang patut disingkirkan dalam
DCS, publik juga harus tahu bahwa ada juga caleg yang mempunyai perilaku yang
tidak terpuji. Fenomena caleg ‘kutu loncat’ merupakan hal yang biasa, tapi
sebenarnya patut disorot juga. Caleg seperti ini biasanya hanya mengincar jabatan
di partai baru karena tersingkir, dipecat atau tidak punya prospek di partai
yang lama. Sifat ‘kutu loncat’ mereka tampak sekali karena berpindah parpol
menjelang penyusunan DCS. DCS kali ini juga masih dipenuhi para ‘kutu loncat’.
Caleg yang beraroma nepotisme atau
dinasti politik juga mewarnai DCS, karena ada satu keluarga ikut nyaleg, mulai dari ayah, ibu, suami,
isteri, mertua, menantu, anak, hingga cucu. Untuk DCS DPR saja tercatat puluhan
caleg yang mempunyai ikatan keluarga, sementara untuk DPRD pasti akan lebih
banyak lagi. Politik telah beralih menjadi ‘bisnis keluarga’ yang sangat
menguntungkan sehingga perlu diperkuat dan diwariskan oleh anggota keluarga
lainnya.
Caleg-caleg yang tidak mempunyai
rekam jejak di dunia politik seperti caleg dari kalangan artis atau selebritis
juga patut diperhatikan. Saat ini ada sekitar 40 orang dari kalangan selebritis
(bintang film, sinetron, penyanyi, dll) yang masuk dalam DCS DPR. Tidak jelas
apakah mereka tahu betul tentang dunia legislasi, atau mereka hanya
dimanfaatkan sebagai vote getter
(pengumpul suara) oleh parpol. Peluang mereka menjadi anggota dewan sangat
besar, karena mereka telah memiliki modal popularitas dan uang.
Caleg yang melakukan poligami,
menikah dengan perempuan di bawah umur,
melakukan perbuatan asusila lainnya, juga harus disorot. Beberapa waktu
lalu ada seorang anggota dewan yang terlibat skandal video atau foto porno,
ironisnya nama tersebut masuk kembali dalam DCS. Tapi untung saja, Aceng Fikri
mantan Bupati Garut yang diberhentikan dari jabatannya karena melalukan
poligami dengan perempuan di bawah umur tidak masuk DCS.
Selain itu menteri-menteri yang ikut
nyaleg juga harus dikritik, keikutsertaan
menteri yang masih aktif dalam
pemilu legislatif dinilai tidak
etis. Karena dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan antara presiden dengan menteri atau menteri
dengan menteri yang berasal dari parpol yang berbeda. Dalam DCS terdapat
10 menteri aktif yang ikut nyaleg.
Hal ini dinilai tidak layak, dan akan mengganggu kinerja sang menteri di sisa
waktu jabatan. Dikhawatirkan apabila menteri turut
serta dalam pencalegan, dapat memanfaatkan fasilitas negara demi memenangkan
pemilu mendatang. Menteri juga
bisa mengalokasikan berbagai program kementeriannya di daerah pemilihan, atau
ke daerah yang merupakan basis dukungan partai. Dengan begitu, pelayanan publik dapat
terabaikan karena para menteri lebih mementingkan kepentingan partainya, ketimbang
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara.
Kegagalan
Banyak kalangan menilai partai
politik
telah gagal dalam
menyusun DCS yang
terdiri dari orang-orang yang berkualitas. Padahal DCS merupakan kesempatan
partai untuk menyuguhkan daftar caleg agar masyarakat bisa mengetahuinya.
Dengan demikian, ada transparansi informasi dan masyarakat bisa mengetahui
siapa calon perwakilan mereka.
Tapi ini tidak terjadi. Kecurigaan bahwa ada yang
disembunyikan dari DCS ternyata benar adanya.
Partai
politik bukan lagi lembaga yang institusionalisasi demokrasi. Partai politik telah menjadi agen pembusukan
politik. Banyaknya
nama-nama bermasalah yang dimasukan oleh parpol ke dalam
DCS, menunjukkan bahwa parpol tersebut telah
melakukan kebohongan dan
pembodohan kepada publik.
DCS saat ini komposisinya terdiri
dari 90 persen anggota lama. Kita tahu bahwa anggota dewan periode 2009-2014 penuh
dengan masalah. Tingkat kehadiran yang minim, banyaknya anggota dewan yang
tersangkut masalah hukum, korupsi, skandal, makelar anggaran, permintaan
fasilitas yang berlebihan, target legislasi yang tidak tercapai, dan
sebagainya. Gaji dan tunjangan yang besar serta fasilitas yang lengkap, tidak
didukung oleh kinerja yang maksimal.
Pencantuman kembali nama-nama mereka
dalam DCS bisa menimbulkan preseden buruk dimana
rakyat bisa balas dendam. Rakyat sudah muak dengan mereka, sehingga bisa saja mereka memilih
untuk golput
atau tidak menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2014. Hal yang parah adalah pemboikotan
massal terhadap pemilu 2014. Seharusnya parpol memasukkan caleg-caleg
yang sudah dijamin kualitas, kapabilitas,
integritas, dan komitmennya. Sehingga, siapapun yang dipilih rakyat, dipastikan orang-orang yang
berkualitas.
Pemilu 2014 seharusnya diselenggarakan untuk
membangkitkan harapan publik agar negara ini lebih baik ke depannya. Pemilu
adalah solusi demokrasi terhadap aneka persoalan bangsa. Tapi yang terjadi
adalah, pemilu justru memperpanjang dan memperparah masalah yang ada, dengan
munculnya para caleg yang bermasalah. Kita patut pesimis bahwa Pemilu 2014 hanya menghasilkan anggota
DPR/DPRD yang tidak
punya arti bagi masyarakat.***