Mengamputasi Kewenangan MK dalam Sengketa Pilkada



Mengamputasi Kewenangan MK dalam Sengketa Pilkada
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di OPINI Harian Analisa Medan, 16 Oktober 2013

Negara Indonesia tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi  (Constitutional Court). Pasal 24C UUD 1945menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY). 

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. MK mempunyai empat kewenangan yang diatur dalam UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (1) Menguji UU terhadap UUD 1945, (2) Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, (3) Memutus pembubaran partai politik, dan (4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Secara legalitas formal, tidak ada satu ayat pun dalam UUD 1945 maupun UU No.34/2003 yang menyatakan MK mempunyai kewenangan dalam memutus sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada). Tapi ketika pilkada ditempatkan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum (pemilu) yang diselenggarakan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum), maka sebutan pilkada secara legalistik menjadi pemilukada (pemilihan umum kepala daerah). Implikasinya adalah sengketa pilkada (seharusnya disebut pemilukada) menjadi bagian perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang menjadi kewenangan MK. Maka tafsir ayat (4) di atas menjadi: memutus perselisihan hasil pemilu (baik di tingkat nasional maupun pemilihan umum kepala daerah).
Terbongkarnya praktik suap di MK memunculkan wacana agar penanganan sengketa pilkada diserahkan kembali ke Mahkamah Agung (MA). Langkah ini dinilai positif karena akan mengurangi beban kerja hakim MK. "MK cukup mengadili sengketa pemilu yg bersifat nasional, yakni Pemilu DPR, DPD dan Pemilu Presiden," ujar pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra melalui akun twitter (6/10/2013).
Menurut Yusril, pemeriksaan perkara pilkada harus dikembalikan lagi ke pengadilan tinggi sesuai yurisdiksinya, tapi ada kasasi ke MA. Namun harus diberi batas maksimum ke PT dan MA agar perkara tak diselesaikan berlarut-larut. Dengan demikian MK tidak sibuk mengadili perkara pilkada yang tidak perlu dan buang-buang waktu dan memakan biaya besar bagi pencari keadilan.
Mencabut Kewenangan
Wakil Ketua DPR Pramono Anung menilai, upaya perbaikan MK perlu dilakukan dengan mencabut kewenangan lembaga itu dalam mengadili sengketa pilkada. Menurutnya, kasus-kasus pilkada membuat para hakim konstitusi rentan terjerat praktik korupsi. Ia mengatakan, dalam kasus-kasus sengketa pilkada, banyak pihak yang ingin menang dan menghalalkan segala cara. Mereka mau mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk memenangi perkara di MK yang keputusannya bersifat final dan mengikat. Kalau hanya bersumber pada UUD 45 Pasal 24C mengenai kewengan sengketa antar lembaga negara, atau uji materi terhadap UU, saya yakin dan pasti terlindung dari jeratan politik uang. Tapi begitu diberi kewenangan memutus sengketa pilkada bersifat final dan tidak dapat dilaukan banding, di situlah asal muasalnya dan tergoda penyuapan,” kata Pramono (kompas.com, 8/10/2013).
Sementara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), mengusulkan penanganan PHPU Pilkada ke depan, tidak lagi ditangani oleh MK, namun cukup di pengadilan tinggi. Menurut Gamawan Fauzi, usulan tersebut hadir setelah pemerintah melihat banyaknya persoalan terkait pelaksanaan pilkada selama ini. “Dalam RUU Pilkada kita minta agar sengketa pilkada ditangani di pengadilan tinggi hingga ke Mahkamah Agung (MA). Karena dari dulu kita sinyalir biayanya terlalu mahal. Anggaran yang dikeluarkan peserta semakin besar. Baik yang dikeluarkan pasangan calon yang kalah maupun yang menang,” ujar Gamawan (Antaranews,7/10/2013).
MK sebenarnya lembaga pengadilan yang memutus masalah administrasi dan kebijakan. Sehingga dalam praktik penyelesaian sengketa pilkada, banyak masalah yang berkaitan dengan hukum pidana justru diselesaikan secara administratif. Sebagai contoh, sengketa pilkada banyak berkenaan dengan masalah money politic, ancaman atau intimidasi dari kelompok tertentu untuk memilih calon tertentu, penyalahgunaan anggaran daerah, dan lain sebagainya yang termasuk dalam ranah hukum pidana pemilu.
Tapi ketika masuk ke MK, segala pelanggaran tersebut menjadi persoalan yang diselesaikan secara administratif berdasarkan bukti tertulis dan pengakuan para saksi. Tidak ada laporan tertulis dari kepolisian bahwa terjadi kecurangan, terkadang pengawas pemilu pun tidak tahu menahu soal laporan tersebut. Padahal dalam Pasal 106 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa yang menjadi objek sengketa di MK hanya menyangkut hasil penghitungan suara.
Jika kita saksikan sidang MK tentang sengketa pilkada, maka bukti atau saksi yang diajukan para pihak pun terkadang sangat remeh. Misalnya di TPS A terjadi kecurangan karena ada money politic, di TPS B ada pemilih yang memilih dua kali, dan sebagainya. Hal tersebut adalah pelanggaran pidana pemilu yang seharusnya ada bukti dari kepolisian dan laporan dari panwas pemilu, yang seharusnya pula ada hukuman kepada para pelakunya. MK seharusnya tidak perlu mengurusi hal-hal yang seperti ini.    

Tanpa Tafsir
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan tertinggi yang berperan sebagai  penjaga utama konstitusi (Guardian of The Constitution). Penanganan sengketa pilkada di MK justru merendahkan marwah dan martabat MK itu sendiri. Bukan hanya karena fakta bahwa kewenangan tersebut dapat disalahgunakan oleh hakim konstitusi untuk melakukan korupsi, tapi esensi bahwa kewenangan itu sendiri dapat merendahkan MK sebagai institusi.
Untuk itu kewenangan MK dalam memutus sengketa pilkada harus segera diamputasi dan dicabut. MK harus didudukkan kembali sebagai lembaga negara yang mengawal konstitusi sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Kewenangan MK seperti yang termaktub dalam Pasal 24C UUD 1945 ayat (4), yaitu memutus perselisihan hasil pemilu, harus diberi tanda titik, tanpa tafsiran lain dengan klausul tambahan ‘baik di tingkat nasional maupun pemilihan umum kepala daerah’.
Selanjutnya pilkada harus dikeluarkan dari rezim pemilu dan UU Pemerintahan Daerah, serta diletakkan dalam UU Pilkada tersendiri. Secara logika, pilkada adalah peristiwa politik lokal, bukan peristiwa politik nasional yang dapat dikategorikan sebagai peristiwa umum. Jadi tidak tepat menempatkan pilkada sebagai pemilu.    
Persoalan kasus dugaan suap yang melibatkan ketua MK dapat dikatakan sebagai puncak gunung es dari lemahnya lembaga demokrasi. Seluruh persoalan terkait sengketa pilkada selalu terindikasi politik uang. Hal ini terjadi karena lemahnya kelembagaan demokrasi kita, bersumber dari lemahnya KPUD, Bawaslu atau Panwaslu dan realita politik uang. Proses rekrutmen penyelenggara pemilu (KPUD, Bawaslu atau Panwaslu di daerah-daerah) yang tidak berkualitas, hanya menghasilkan pilkada yang tidak berkualitas pula. 
Sehingga yang patut dipersalahkan dalam kisruh ini seharusnya bukan hanya MK semata, tapi juga penyelenggara pemilu di daerah. Ajang pemilukada selalu mempertaruhkan banyak uang, ditambah oknum-oknum penyelenggara pemilu yang tidak kredibel, maka setiap pilkada selalu melahirkan sengketa. Untuk itu perlu segera dimulai proses untuk mengambil kewenangan penanganan pilkada dari MK dan diserahkan kepada lembaga peradilan di bawahnya. Pasalnya, bisa jadi hakim-hakim MK tidak mengerti dan tidak menguasai di sebuah daerah yang terjadi sengketa pilkada, apalagi terjadi di daerah-daerah yang jauh dari pantauan dan sorotan media.
Lembaga Agung
Posisi MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bersifat agung. Kewenangan menangani sengketa pilkada yang selama ini ditangani telah merendahkan keagungan institusi tersebut. MK sesuai dengan nama dan fungsi utamanya, seharusnya hanya menangani kasus yang berhubungan dengan interpretasi konstitusional, keselarasan produk undang-undang, dan sengketa kewenangan antarlembaga. Kalau pun MK menangani kasus-kasus pemilihan umum, seharusnya kasus yang bersifat nasional saja, seperti pemilihan legislatif (DPR dan DPD), dan pemilihan presiden.
Saat ini MK setiap waktu disibukkan memutus sengketa-sengketa pilkada yang sifatnya agak teknis dan terkadang masuk dalam ranah hukum pidana pemilu. Beban kerja MK yang dikerjakan secara maraton juga menjadi pertimbangan pengalihan tugas tadi. Bahkan tidak jarang MK memutuskan dengan ultra petita (memutuskan lebih di luar yang diminta oleh pemohon). Begitu besarnya kekuasaan MK, apalagi putusannya bersifat final, tentu godaannya sangat luar biasa dan bisa terjadi penyelewengan kekuasaan.
Ke depan, rekrutmen dalam proses penunjukan hakim MK harus dibenahi. Transparansi, akuntabilitas, kapabilitas, dan integritas harus menjadi hal yang utama. Sosok ideal hakim konstitusi yaitu orang-orang yang sudah selayaknya menjadi negarawan. Mereka tidak berpikir lagi masalah-masalah yang bisa menimbulkan 'conflic of interest'. Hakim MK adalah orang-orang yang mengerti secara komprehensif mengenai konstitusi, sebagai penjaga konstitusi, sebagai penafsir konstitusi yang tangguh, jitu, dan akurat. Tidak berpikir hal-hal teknis yang menyangkut kasus-kasus pilkada. ***