Mahkamah
Konstitusi dalam Pusaran Korupsi
Oleh :
Fadil Abidin
Dimuat di OPINI Harian Analisa Medan, 4 Oktober 2013
Saatnya bangsa
ini menaikkan bendera setengah tiang, Mahkamah Konstitusi (MK) yang selama ini dianggap sebagai lembaga
negara yang bersih, kini pun terseret dalam pusaran korupsi. Ketua MK, Akil
Mochtar, terjerat operasi tangkap tangan oleh KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) ketika menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Akil
ditangkap di kediamannya di Perumahan Menteri Jalan Widya Chandra
sekitar pukul 22.00 WIB
(2/10/2013) bersama barang bukti uang suap sekitar Rp 2-3 miliar.
Isu suap di MK dalam sengketa
pemilihan kepala daerah (pilkada) bukanlah hal yang baru. Ketika MK masih
dipimpin oleh Mahfud MD, pengamat
dan praktisi Hukum Tata
Negara, Refly Harun, pernah melontarkan sinyalemen suap di MK. Lewat
tulisan di kolom Opini (Kompas, 25/10/2010), Refly Harun menulis artikel “MK
Masih Bersih?”
Rumor adanya mafia perkara dan dugaan praktek
suap di MK untuk memenangkan salah satu pihak dalam sengketa pilkada, ditulis
oleh Refly dengan gamblang. Bahkan Refly mengaku pernah melihat dengan mata kepala sendiri uang dollar AS senilai Rp 1
miliar, yang menurut pemiliknya akan diserahkan ke salah satu hakim MK.
Kini, setelah tiga tahun kemudian,
sinyalemen Refly Harun tersebut bukanlah isapan jempol belaka. Suap memang
telah menggerogoti lembaga agung seperti MK. Ironisnya, yang tertangkap tangan
menerima suap bukan anggota hakim MK, tapi malah ketua MK. Masihkah kita
mempercayai kredibilitas MK?
MK sebagai salah satu lembaga negara
mempunyai wewenang yang sangat besar sehingga sangat rentan terjerat korupsi
dan praktik suap-menyuap terutama yang menyangkut sengketa pilkada. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan UU No.24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), MK mempunyai lima kewenangan. Yakni,
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus
pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu (baik di tingkat
nasional maupun pemilihan umum kepala daerah) dan memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Salah satu wewenang MK yang
sangat mutlak adalah apa pun hasil keputusan MK tidak dapat dilakukan judicial review. Pasal 24C UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa MK berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
terhadap lima kewenangan itu. Artinya, putusan MK bersifat final dan mengikat
sehingga tak bisa diajukan upaya hukum lain, termasuk judicial review.
Rawan Suap
Aturan,
putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tak bisa diajukan upaya
hukum lain, termasuk judicial review, ibarat kata-kata sakti atau ayat-ayat suci, sehingga tidak bisa
dibatalkan atau digugat lebih lanjut. Tapi di sisi lain, aturan ini menjadi
godaan dan bumerang bagi MK sendiri.
Bagi
para pihak yang mempunyai kepentingan dengan MK, terutama dalam sengketa
pilkada, aturan ini menjadi patokan jaminan secara legalitas untuk meraih
kekuasaan sebagai kepala daerah. Akibatnya, para pihak yang terlibat sengketa
dalam pilkada akan berusaha dengan memakai segala cara agar MK memutus perkara sesuai
tuntutannya. Biaya
berpekara di MK konon sangat besar,
baik bagi penyelenggara (KPU Daerah), penggugat maupun tergugat. Biaya ini
habis untuk mengontrak penasehat hukum maupun saksi ahli. Setelah habis banyak dalam pilkada, nanti
habis juga untuk bersengketa di MK.
Bayangkan setelah ‘habis-habisan’
mengeluarkan biaya untuk pilkada yang bisa mencapai puluhan bahkan ratusan
miliar. Kemudian ada pihak lain (yang juga telah mengeluarkan biaya puluhan
bahkan ratusan miliar) menggugat kemenangan sang calon. Sang calon pemenang,
tentu akan berjuang agar kemenangannya (baik secara jujur atau secara culas)
tidak dibatalkan MK. Maka dikontraklah penasehat hukum yang mahal, bahkan isu
suap kepada hakim konstitusi pun merebak.
Masalah sengketa pemilu maupun
pilkada sangat rawan terjadinya praktik suap-menyuap karena masing-masing pihak
telah menghabiskan dana yang sangat banyak. Untuk itu diperlukan hakim-hakim
konstitusi yang jujur, independen, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Pembentukan MK dimaksudkan agar tersedia jalan hukum
untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara
dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal
tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola
penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara
objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum
pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara
Pengawal Konstitusi atau The Guardian and
The Interpreter of The Constitution.
Dalam
sengketa pemilu maupun pilkada, MK diperlukan untuk menghindari konflik
horizontal secara fisik antar pendukung calon maupun pendukung partai politik.
MK mempunyai peranan memberikan kepastian hukum, memberikan kesadaran
berkonstitusi kepada seluruh warga negara, dan memberikan pembelajaran bahwa
hukum di atas segalanya.
Kemudian,
apa yang terjadi jika para hakim konstitusi yang mempunyai tugas-tugas mulia
itu terindikasi korupsi atau menerima suap? Ketidakpastian hukum akan terjadi.
Masyarakat yang dulunya sangat percaya seratus persen akan integritas MK, kini
akan ragu-ragu bahkan ada gejala menolak segala keputusan MK.
Kredibilitas
Ketidakpercayaan ini akan berakibat
pada anarki massa yang masif pada pilkada atau pemilu. Konflik horizontal antar
pendukung calon kepala daerah atau parpol akan lebih sering terjadi. Keputusan
MK menjadi keputusan yang tidak bisa diterima, dan jika pun diterima akan ada
praduga praktik suap.
Penangkapan Akil Mochtar sebagai
Ketua MK, ibarat ‘nila setitik rusak susu sebelangga’. MK yang selama ini
dkenal sebagai satu-satunya lembaga negara yang bersih, transparan, independen,
dan dipercaya, kini menjadi lembaga negara yang diragukan integritasnya.
Tampaknya sia-sia sepak terjang para
pendahulu ketua MK seperti Jimly Asshidique dan Mahmud MD. Nama keduanya
menjadi termashur karena mampu menjadikan MK sebagai lembaga negara yang sangat
dipercaya publik dan bebas korupsi. Beberapa waktu lalu, kita melihat bagaimana
MK disanjung publik dalam kasus ‘cicak vs buaya’ yang melibatkan perseteruan
KPK dan Polri. Dan MK mampu menyelesaikan perseteruan ini dengan baik.
Akil Mochtar menggantikan
Mahmud MD sejak April 2013, dan diambil sumpah jabatan sebagai Ketua
Mahkamah Konstitusi periode 2013-2016 pada 20 Agustus 2013. "Saya memohon doa dan dukungan bapak ibu
dan semuanya yang hadir di sini. Mudah-mudahan Yang Maha Esa memberikan
perlindungan guna Indonesia menjadi negara hukum yang demokratis yang
berdasarkan hukum," kata Akil seusai pelantikan. Tidak sampai tiga bulan, kini justru Ketua MK yang
tersandung masalah suap. Ironis.
Di era reformasi ini, tampaknya tidak ada lagi lembaga negara maupun institusi
yang memiliki kredibilitas tinggi, semuanya nyaris terseret arus pusaran korupsi. Barangkali institusi yang masih memiliki kredibilitas tinggi
adalah KPK. Semoga KPK tidak terseret arus ini pula. ***