Merah Putih
di Dada Seragam Sekolah
Oleh :
Fadil Abidin
Dimuat
dalam OPINI Harian Analisa Medan, 18 Juni 2014
Sebelum
mengakhiri masa baktinya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad
Nuh mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Permendikbud)
Nomor 45 Tahun 2014, tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi
Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Permendikbud ini berlaku untuk
pengaturan seragam sekolah tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA
sederajat.
Seperti yang tercantum di laman setkab.go.id
(9/6/2014), Pemendikbud membagi jenis seragam sekolah untuk pendidikan dasar
dan menengah menjadi tiga, yaitu seragam nasional, seragam
sekolah, dan seragam kepramukaan. Seragam nasional untuk SD berwarna putih – merah, atau MI (Madrasah
Ibtidaiyah) berwarna putih – hijau. Seragam untuk SMP atau MTs (Madrasah
Tsanawiyah) berwarna putih – biru tua. Seragam untuk SMA/SMK/MA sederajat
adalah putih – abu-abu.
Adapun peraturan baru yang
menyangkut seragam nasioal adalah penambahan bendera merah putih di baju seragam yang diletakan di dada kiri atas kantong saku. Tujuan penambahan bendera merah
putih ini antara lain untuk menanamkan kecintaan terhadap bendera nasional dan kebangsaan
Indonesia yaitu merah putih. Sebagai identitas diri
bahwa kita ini adalah siswa dan siswi Indonesia.
Pada Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 ini menjelaskan
penetapan pakaian seragam sekolah memiliki 4 tujuan. yaitu pertama, untuk
menanamkan dan menumbuhkan rasa nasionalisme, kebersamaan, serta memperkuat
persaudaraan sehingga dapat menumbuhkan semangat kesatuan dan persatuan di
kalangan peserta didik.
Kedua, meningkatkan rasa kesetaraan tanpa memandang
kesenjangan sosial ekonomi orang tua atau wali peserta didik. Ketiga,
meningkatkan disiplin dan tanggung jawab peserta didik serta kepatuhan terhadap
peratuan yang berlaku. Serta keempat, menjadi acuan bagi sekolah dalam menyusun
tata tertib dan disiplin peserta didik, khususnya yang mengatur seragam
sekolah.
Pakaian seragam nasional dikenakan pada hari Senin, Selasa,
dan pada hari lain saat pelaksanaan upacara bendera. Selain hari-hari tersebut,
peserta didik dapat mengenakan pakaian seragam kepramukaan atau pakaian seragam
khas sekolah yang diatur oleh masing-masing sekolah. Pakaian seragam khas sekolah
biasanya baju batik atau motif lain dengan motif khas sekolah masing-masing
yang dipakai hari Rabu dan Kamis. Sedangkan seragam kepramukaan dipakai hari
Jumat dan Sabtu atau ketika ada kegiatan kepramukaan. Bagi sekolah yang melanggar ketentuan dalam Permendikbud ini
akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang
berlaku.
Tidak Perlu
Seragam Baru
Permendikbud
ini sengaja dikeluarkan menjelang tahun ajaran baru 2014/2015 bulan Juli nanti.
Alasannya, agar para siswa, orangtua, dan pihak sekolah dapat mematuhi
peraturan baru ini. Jadi sebenarnya tidak perlu beli seragam baru, karena yang
baru itu hanya peraturan penambahan atau pemasangan bendera merah putih di baju
seragam sekolah.
Jadi bendera merah putih (ukuran
mini) ini bisa dijahit atau ditempelkan pada seragam sekolah. Mengenai ukuran
bendera merah putih di atas saku ini belum ada penjelasan lebih lanjut. Apakah
bendera merah putih ini bisa berbentuk pin persegi yang terbuat dari bahan
selain kain, juga belum ada aturannya.
Secara ekonomi penulis yakin
pencantuman merah putih di seragam sekolah ini tidak memberatkan. Penulis telah
mencoba “menempa” ke tukang jahit, ongkosnya cuma Rp 7.000 per buah. Ukuran
benderanya 4 x 6 cm. Penjahit membuatnya dari potongan kain bekas warna merah
dan putih kemudian disatukan dan dijahit. Selesai tidak sampai 10 menit. Anak
saya yang kelas IV SD itu bangga dengan seragam ada bendera merah putih di
dadanya.
Bukan
tanpa alasan Kemendikbud mengeluarkan aturan ini. Pemerintah ingin menyelesaikan persoalan
mengenai penggunaan seragam di beberapa daerah. Kemendikbud telah memantau beberapa daerah atau
sekolah tidak lagi memakai seragam nasional pada hari Senin-Selasa. Daerah dan
sekolah-sekolah tertentu (terutama yang menganggap dirinya sekolah elit) tidak
lagi memakai seragam nasional. Tapi mereka memakai seragam sekolah dengan motif
tertentu agar terlihat lebih “wah”.
Tujuan
lain dari pemasangan atribut merah putih adalah untuk menanamkan jiwa persatuan
dan cinta tanah air. Kecemburuan sosial, rivalitas antar sekolah, dan
sebagainya yang bisa menyulut tawuran antar pelajar hendak diselesaikan dengan
cara ini. Memang terlalu naif jika Permendikbud No.45/2014 dianggap menjadi solusi
dari masalah tawuran pelajar yang marak akhir-akhir ini (terutama di Jakarta).
Tapi, Permendikbud mencoba dengan cara yang sederhana ini, “siapa tahu” bisa
berhasil.
Seragam Sekolah
Sinetron
Barangkali
kelemahan Permendikbud ini adalah tidak adanya standarisasi ukuran pakaian
seragam sekolah. Jika kita lihat sinetron di stasiun-stasiun televisi kita yang
bertema anak-anak SMA, seragam mereka sangat minim terutama untuk yang
perempuan. Para produser sinetron seakan hendak mengobral atau lebih tepatnya
mengeksploitasi sensualitas para wanita muda itu (sebutan kerennya ABG) agar
menaikkan rating.
Akhirnya
yang kita lihat baju seragam sekolah siswi perempuan yang super ketat, tampak
kesempitan, menonjolkan bagian tubuh tertentu, dan terlihat karena sempitnya
seakan-akan kancing baju tertarik hendak mau lepas. Kondisi ini ditambah dengan
pemakaian rok seragam sekolah yang kelewat mini melewati dengkul kaki.
Sudah
sangat jelas sinetron-sinetron tersebut mencontek habis seragam sekolah seperti
yang ada di sinema-sinema Korea Selatan atau Jepang. Di sana memang rok-rok
anak sekolah menengah panjangnya sekitar 30-40 cm sehingga menggantung di atas
lutut. Kondisi ini sebenarnya tidak membuat para guru (terutama guru pria)
merasa nyaman. Maka seperti yang dikutip www.bbc.co.uk (11/05/2011), rok
seragam sekolah di Korea Selatan dianggap kian meresahkan karena semakin
pendek.
Melarang
pemakaian rok pendek sekolah dianggap melanggar HAM, maka para guru di Korea
Selatan meminta kepada pemerintah agar meja-meja di sekolah pada bagian depannya
ditutup papan. Tujuannya agar para guru yang sedang mengajar di depan kelas
“tidak terlihat” bagian-bagian bawah tubuh siswi perempuannya yang sedang
duduk.
Tapi
ironisnya, usulan pemasangan papan di meja sekolah ini justru ditentang oleh
sebagaian guru-guru yang lain. Pemasangan papan penghalang “pemandangan bawah”
tersebut justru dianggap sebagai penghamburan uang negara. Pemasangan papan depan sebanyak 50.000 meja akan menelan biaya sekitar
Rp 6,3 miliar.
Pemakaian
seragam sekolah di sinetron-sinetron kita yang serba ketat dan serba mini
memang mencontek habis sinema dari Jepang atau Korea Selatan. Maka Remy Silado
pernah menulis dalam sebuah makalah,”Sekarang keadaan sinema Indonesia yang
paling rusak, butut, tidak mengindahkan tatakrama, dan akhirnya tidak bermoral.
Sinetron-sinetron sampah itu banyak yang diproduksi dengan menyolong tema-tema
dari film seri Korea, Hongkong, dan Amerika Latin. Tak sedikit sedikit kita
menonton anak-anak sekolah berseragam rok mini, rias wajah yang tebal, gincu
merah lombok, pipi lembayung, kelopak mata biru hijau, alis dan garis mata yang
hitam jelaga, pendek kata model rias yang mirip sundal-sundal pinggir jalan
dekat Stasiun Jatinegara…”
Jadi,
Permendikbud tersebut seharusnya tidak hanya mengatur pencantuman bendera merah
putih di seragam sekolah. Tapi juga harus mengatur ukuran pakaian seragamnya,
baik seragam atasan atau bawahannya. Dan jangan sampai seragam para siswa
sekolah menengah meniru seperti di sinetron, yang sekali lagi meminjam istilah
Remy Silado “mirip sundal-sundal pinggir jalan dekat Stasiun Jatinegara!” ***