Televisi
dan Distorsi Informasi
Oleh : Fadil Abidin
Sejak kampanye Pemilihan Presiden
(Pilpres) tahun lalu dunia televisi di tanah air seolah-olah terpolarisasi
menjadi tiga kutub. Satu kutub terafiliasi memihak kepada capres dan cawapres
Prabowo-Hatta, satu kutub yang memihak capres dan cawapres Jokowi-Jusuf Kalla,
dan satu kutub yang ‘netral’, dalam arti tidak terlalu perduli dengan kegaduhan
politik yang ada.
Pada awalnya banyak pihak yang
berharap polarisasi ini akan berakhir ketika Pilpres usai, tapi polarisasi ternyata
terus berlanjut mulai dari perbedaan rekapitulasi perolehan suara melalui quick
count (hitung cepat), gugatan ke Mahkamah Konsitusi, pembentukan Koalisi Merah
Putih (KMP) versus Koalisi Indonesia Hebat (KIH), kenaikan harga BBM, konflik
KPK-Polri hingga isu-isu lainnya.
Polarisasi ini terbentuk terkait
afiliasi politik, stasiun-stasiun televisi tersebut merupakan stasiun televisi
yang memfokuskan diri menyiarkan berita. Tapi kemudian mereka lebih tepat
disebut televisi berita politik, yang isinya didominasi berita gontok-gontokan
politik, manuver-manuver politik, acara talkshow politik, kekurangan/kelebihan kebijakan
publik maupun politik, baik dari ‘musuh’ maupun dari pihaknya sendiri.
Tak jarang, stasiun televisi
tertentu hanya mau menampilkan para narasumber tertentu pula. Narasumber
dipilih dan ditampilkan di satu stasiun televisi hanya karena narasumber
tersebut dianggap sejalan, seide, dan sama pandangan dengan pemilik stasiun televisi.
Maka kita akan melihat bahwa para narasumber yang notabene juga para ahli dan
akademisi juga terpolarisasi dengan pendapat yang berbeda-beda.
Media yang berpihak, terkooptasi dan
terafiliasi ini menimbulkan distorsi informasi ke publik. Publik kerap menjadi
bingung terhadap simpang siur berita yang disiarkan televisi. Apalagi televisi
tersebut terlampau sering menyiarkan berita yang sama, yang itu-itu juga, tapi
keberpihakan terhadap suatu pihak sangat kentara sekali.
Mengutip Asro Kamal Rokan yang dimuat Antara News (6/2/2015), wajah Indonesia seperti kolam kecil berair keruh. Rakyat
dijejali berita-berita konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri
yang tiada ujungnya, seakan kehidupan jutaan rakyat berporos pada kekeruhan
konflik tersebut. Kemiskinan,
harga-harga kebutuhan rakyat yang naik, rupiah yang terus anjlok terhadap
dolar, bencana alam, kejahatan yang kian masif, penyalahgunaan narkoba,
demoralisasi generasi muda, dan korupsi yang kian merajalela, tergusur menjadi
isu-isu tidak penting.
Asro
Kamal Rokan melanjutkan, seharusnya stasiun-stasiun televisi tersebut
menampilkan bahwa Indonesia bukanlah kolam kecil berair keruh. Ia adalah
samudera besar yang mengalir jauh, nelayan dan kapal-kapal besar berayun-ayun
di atasnya. Berita-berita suram, termasuk dari sosial media, telah mengubah
wajah Indonesia menjadi lebih sempit dan melelahkan. Informasi yang masuk ke
ruang-ruang publik, seakan hitam-putih. Televisi yang seharusnya menjadi media
untuk membangkitkan optimisme publik, telah berubah menjadi media yang membuat
publik bertambah bingung, muak, dan pesimistis.
Kalah Menang
Adalah Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan. Pada
1970-an, Galtung mengkritisi pemberitaan pers yang mendasarkan kerja
jurnalistik secara hitam putih. Pola kerja seperti itu, menurut sosiolog
Norwegia tersebut, merupakan pola kerja jurnalisme perang, jurnalisme
kalah-menang. Jurnalisme model ini lebih tertarik pada konflik, kekerasan,
korban yang tewas, dan kerusakan material.
Penganut
jurnalisme perang enggan menggali asal-usul konflik, mencari alternatif
penyelesaian, berempati pada korban, dan akibat-akibat kemanusiaan yang
ditimbulkannya. Jurnalisme perang lebih suka memperjauh jarak pihak berkonflik
dalam kerangka kalah-menang, bukan mendekatkan keduanya untuk berdamai.
Pers dalam
hal ini televisi haruslah mengambil peran mendorong pihak-pihak bertikai untuk
menemukan jalan keluar. Pers harus melakukan pendekatan menang-menang dan
memperbanyak alternatif penyelesaian konflik. Konflik KPK dengan Polri
memperlihatkan jurnalisme perang itu terjadi. Pernyataan komisioner KPK dan
pejabat Polri saling berhadapan dan bahkan saling kecam mengancam langsung
dipublikasikan. Publik seperti penonton yang berada di sisi ring tinju. Poros
kehidupan bangsa pun seakan berputar-putar di sini. Stasiun-stasiun televisi yang ada berlomba
untuk memanaskan suasana.
Televisi menjadi media provokasi
dan agitasi untuk memanaskan suasana yang sangat efektif, seperti bensin yang
disiram ke api. Dalam kondisi Indonesia saat
ini, stasiun televisi sebaiknya memberi jalan bagi penyelesaian konflik, bukan
justru menyiram bensin dalam kobaran api. Televisi dapat mendorong bangsa ini
untuk tetap berpikir positif, mendorong rakyat untuk bangkit menemukan masa
depannya, bukan mendorong rakyat menjadi pesimistis seperti tengah berdiri di
tepi jurang kehancuran.
Menurut Mc
Quail, secara umum media massa memiliki berbagai fungsi bagi khalayaknya yaitu
pertama, sebagai pemberi informasi; kedua, pemberian komentar atau interpretasi
yang membantu pemahaman makna informasi; ketiga, pembentukan kesepakatan;
keempat, korelasi bagian-bagian masyarakat dalam pemberian respon terhadap
lingkungan; kelima, transmisi warisan budaya; dan keenam, ekspresi nilai-nilai
dan simbol budaya yang diperlukan untuk melestarikan identitas dan
kesinambungan masyarakat.
Oleh karena
itu media massa seharusnya menjadi sarana pencerahan dan transformasi
nilai-nilai kebenaran agar masyarakat dapat melihat secara apa adanya. Media
sebaiknya tidak memunculkan kesan menilai atau keberpihakan kepada pihak-pihak
yang tengah berkompetisi khususnya dalam pertarungan politik yang selalu
abu-abu.
Media hanya
perlu menyampaikan informasi yang sebenarnya, jelas hitam putihnya. Sehingga
masyarakat tidak terjebak pada distorsi informasi yang bisa menjebak pilihan
mereka. Media harus mampu bersikap objektif dalam penayangan berita bukan hanya
di televisi (media massa elektronik) tetapi juga surat kabar (media massa
cetak), dan media lainnya.
Distorsi
Televisi melakukan distorsi informasi dari Pilpres hingga kini karena para pengelola
atau pemiliknya terlibat langsung dalam partarungan politik yang keras.
Televisi tidak ubahnya menjadi media propaganda untuk menyuarakan pro atau
kontra terhadap tokoh, kebijakan publik, dan pertarungan jabatan publik yang
ada.
Distorsi informasi terjadi karena adanya ketidaksesuaian
antara informasi yang tersebar dan informasi yang seharusnya disediakan. Distorsi
informasi terjadi karena adanya campur tangan pihak tertentu untuk
menyembunyikan fakta-fakta tertentu, dengan menyajikan informasi yang tidak
proporsional, tidak objektif dan komprehensif.
Di Indonesia telah terjadi pergeseran paradigma, politik
seakan telah menjadi panglima yang berkuasa untuk menentukan semua masalah.
Politik telah menjadi kartus as untuk menggapai kepentingan-kepentingan lain,
baik jabatan politik, jabatan publik, kekuasaan ekonomi, finansial, dan sosial.
Maka politik pun menjadi berhala baru yang banyak disembah
para pemburu kekuasaan. Tidak hanya para aktivis politik, artis, selebritis,
akademisi, pengusaha, pengacara, pewarta, dan orang biasa semuanya berlomba
terjun ke dunia politik. Tak terkecuali para pengelola media sudah tergoda oleh
politik, baik demi kepentingan ekonomi (iklan), ideologis (pejabat politik),
maupun karena faktor pragmatis. Maka yang terjadi adalah sebuah berita dibuat
seolah-olah konstruksi realitas. Padahal di dalamnya banyak distorsi untuk
mengaburkan makna yang sebenarnya untuk sebuah tujuan tersembunyi para
pengelola berita.
Stasiun
televisi di tanah air harus melupakan cara kerja jurnalisme perang. Alihkan
perhatian, ada puluhan juta rakyat yang tidak jelas masa depannya. Jangan
biarkan mereka memejamkan mata karena takut pada kegelapan yang terlihat di
tayangan televisi, takut pada masa depan yang terlihat seperti kolam kecil
berair keruh. Tayangan informasi di televisi harus menjadi media penyejuk dan
pembangkit optimisme publik, bukan malah menjadi agitator yang menyiram api
dengan bensin. ***