Ketika Visi
dan Misi Hanya Ilusi
Oleh :
Fadil Abidin
Dimuat
dalam OPINI Harian Analisa Medan, 30 Mei 2014
Setelah
penetapan nomor urut calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres)
pada 1 Juni 2014, tahapan pemilu presiden (pilpres) berikutnya adalah masa
kampanye. Masa kampanye di dalamnya ada pemaparan visi, misi, dan program serta
debat terbuka antar pasangan capres-cawapres yang disiarkan langsung oleh stasiun
televisi secara nasional.
Salah
satu syarat dalam pendaftaran pasangan capres-cawapres adalah penyampaian
dokumen tertulis tentang visi, misi, dan program. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengunggah visi,
misi, dan program para capres-cawapres,
Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, di laman resmi KPU. Kini, saatnya bagi
publik untuk menilainya
secara kritis.
Visi, misi,
dan program aksi Jokowi-JK setebal 42 halaman diberi judul "Jalan Perubahan untuk Indonesia yang
Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian”. Visi misi Jokowi-JK dipaparkan
dalam 12 agenda strategis bidang politik, 16 agenda strategis bidang ekonomi, serta
3 agenda strategis bidang kepribadian dan budaya. Dari 31 agenda strategis itu
diperas menjadi 9 agenda prioritas yang disebut Nawa Cita.
Sedangkan Prabowo-Hatta
mengirimkan visi, misi,
dan program sebanyak 9 halaman
yang diberi judul “Delapan Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan
Indonesia”.
Secara ketatabahasaan, kata kunci
dari visi dan misi yang diusung oleh Jokowi-JK adalah “perubahan”, sedangkan
Prabowo-Hatta adalah “menyelamatkan”. Perubahan berarti membuat hal yang
sebelumnya sudah ada berubah menjadi lebih baik. Dari visi dan misi ini
Jokowi-JK hendak membuat perubahan dari kondisi yang sudah ada. Sedangkan kata
kunci “menyelamatkan” dalam visi dan
misi Prabowo-Hatta lebih menggambarkan keadaan Indonesia saat ini yang tengah
gawat darurat sehingga perlu diselamatkan.
Penulis menilai pemilihan kata untuk judul visi dan misi ini agak berbau
ilusi untuk kedua pasangan calon. Jokowi-JK seharusnya lebih memilih judul
“menciptakan”, karena unsur utama dari pengusung koalisi ini adalah partai
politik yang selama ini di luar pemerintahan, yaitu PDI Perjuangan dan Hanura,
serta Partai Nasional Demokrat yang baru ikut serta. Sedangkan PKB adalah
partai “pembelot” dari koalisi pemerintahan SBY. Sehingga, jika memakai kata
“perubahan” berarti ia masih menggunakan hal-hal yang lama untuk diubah menjadi
hal yang lebih baru.
Sedangkan kata kunci “menyelamatkan”
sangat berbau ilusi. Koalisi Prabowo-Hatta adalah koalisi yang dibangun oleh
partai-partai politik yang mayoritas sebelumnya ada di pemerintahan, seperti
Partai Golkar, PAN, PKS, PPP (kemungkinan Partai Demokrat juga akan bergabung).
Kata-kata “menyelamatkan” berarti mereka menihilkan hasil kerja pemerintahan
sebelumnya, yang tak lain adalah hasil kerja kolega koalisi mereka yang selama
ini di pemerintahan.
Persepsi dan Ilusi
Tapi
kebanyakan rakyat Indonesia sebenarnya tidak peduli dengan visi, misi, dan
program para capres-cawapres. Toh, selama ini visi dan misi presiden sebelumnya
hanya terlihat ideal di atas kertas, namun di alam nyata hanya sedikit yang
terwujud. Kebanyakan setelah memerintah, mereka malah sibuk bagi-bagi kue
kekuasaan dan ribut jika pembagian “kursi menteri” dianggap tidak adil.
Selama
sebulan ke depan kita akan disajikan acara perlombaan persepsi dan ilusi oleh
para kandidat beserta tim kampanye. Media televisi dan media cetak akan
menyiarkan kampanye para kandidat. Jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter
hiruk pikuk dengan dukungan-penolakan, pujian-caci maki, kampanye
putih-kampanye hitam, dan sebagainya. Jika kita mengikuti Facebook atau Twitter
dan mengikuti grup-grup yang pro-kontra terhadap kedua pasangan calon. Kita
akan mendapati kata-kata maupun gambar yang tak pantas, fitnah, penuh
penghinaan terhadap suku, agama, dan ras tertentu.
Selama masa kampanye inilah, persepsi
dan ilusi ini seolah-olah hendak dipromosikan telah menjadi sebuah realitas.
Persepsi tentang seorang kandidat yang dianggap tegas, merakyat, berani, jujur,
sederhana, berwibawa, dan sebagainya. Bahkan ada kriteria baru, musisi Ahmad
Dhani pernah menyatakan bahwa capres-cawapres yang ia dukung adalah “jantan”.
Tidak jelas tolok ukur dari ‘jantan’ ini, atau hanya sekadar ilusi?
Jika kita baca visi, misi, dan
program para kandidat memang terasa sekali ilusinya, begitu idealis,
muluk-muluk, dan sangat utopis. Visi dan misi jika belum dilaksanakan memang
masih bersifat ilusi atau mimpi. Visi dan misi sebagai
gambaran masa depan yang akan dijalankan dan diraih dalam membangun Indonesia.
Visi-misi ibaratnya janji dari para kandidat jika terpilih dalam pemilihan
presiden pada 9 Juli nanti. Pertanyaan mendasar adalah, apakah janji
tersebut bisa direalisasikan?
Realisasi Visi
Misi
Realisasi visi-misi presiden ditentukan oleh berbagai faktor.
Pertama, kualitas dari visi-misi tersebut terhadap realitas kekinian dari lingkungan kebijakan yang ada. Pada era globalisasi saat ini, melakukan nasionalisasi aset atau perusahaan asing di
Indonesia bukan saja tidak mungkin, tetapi justru akan menghancurkan ekonomi Indonesia. Jangankan untuk melakukan
nasionalisasi, selama 10 tahun pemerintahan SBY kerap gagal melakukan
renegosiasi kontrak-kontrak asing di Indonesia.
Kedua,
proporsionalitas visi-misi pasangan capres-cawapres. Program yang kelewat
populis bukan saja sulit dilaksanakan tetapi justru bisa menjadi bumerang
bagi pemerintah sendiri. Kendala utama kebijakan tersebut adalah keterbatasan
sumber dana dari APBN. Secara realitis APBN kita sangat tipis untuk kebijakan
populis seperti bagi-bagi uang ke desa-desa misalnya. APBN kita sudah terkunci
oleh beberapa beban berat, antara lain keharusan 20% harus dialokasikan untuk
pendidikan. 25% penerimaan dalam negeri untuk DAU (Dana Alokasi Umum), gaji pegawai hampir Rp 300 triliun, subsidi BBM dan
energi sekitar Rp 300 triliun, beban utang sekitar Rp 200 trilun. Artinya
tidak ada lagi ruang untuk program berpopulis-ria. Jika memaksakan
kehendak tersebut,
maka harus menggenjot dan menaikkan pajak atau menimbun utang. Pada
akhirnya masyarakat pula yang akan menanggung beban.
Ketiga, fokus dari kabinet pemerintahan. Koalisi yang begitu
tambun dan penuh kepentingan tidak mungkin dapat menjalankan program dengan
baik. Koalisi penuh janji justru akan membebani kabinet dengan tetek bengek bagi-bagi kursi atau jabatan. Syarat tercapainya visi misi
yang ideal adalah bila sebesar mungkin pos-pos penting diisi oleh para
profesional dan teknokrat yang tidak partisan. Jadi yang harus dibentuk adalah zaken cabinet atau cabinet para ahli.
Kabinet meritokrasi yang dibangun atas kapabilitas dan prestasi orang-orang
yang menjabat di dalamnya. Jika tidak, maka kejadian akan
terus berulang yaitu kementerian hanya menjadi ATM partai politik seperti pemerintahan sebelumnya.
Keempat, masalah birokrat.
Aparat birokrat-PNS di negara kita ini sangat tambun, overweight, tidak
efektif, tidak efisien, boros, lamban, dan cenderung korup. Tidak ada visi dan
misi dari para kandidat yang menawarkan cara untuk mengefisienkan aparat
birokrat ini. Padahal aparat birokrat adalah mesin utama dari sebuah
pemerintahan. Mungkin hanya Jokowi yang punya pengalaman dalam pembenahan
birokrat yaitu dengan terobosan ‘lelang jabatan’. Akankah Jokowi akan
mengadakan lelang jabatan untuk memilih menteri, dirjen, dan jabatan penting
lainnya? Seharusnya hal ini dicantumkan dalam visi dan misinya.
Ada satu hal penting yang
terlepas dari tinjauan visi dan misi para capres-cawapres, yaitu masalah
pemberantasan korupsi. Tidak ada program dari keduanya yang berniat akan
memperkuat kelembagaan KPK sebagai lembaga superbody
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Padahal korupsi
adalah mesin pembunuh utama perekonomian Indonesia. Jika korupsi dapat
dihilangkan minimal ditekan hingga separuhnya saja, maka kemakmuran Indonesia sangat
terbuka dapat diwujudkan. Apapun bagusnya sebuah visi, misi dan program para capres-cawapres, tetapi jika korupsi tetap merajalela maka semuanya hanya ilusi belaka.
Paparan visi-misi
cawapres dapat kita jadikan sebagai penilaian mana yang masuk akal dan
mana yang hanya ilusi belaka. Terlepas dari visi-misi, tentu yang tidak boleh diabaikan adalah rekam jejak capres-cawapres di masa lalu, kapabilitas,
integritas, moralitas, dan pencapaian prestasi yang pernah diraih.
Dengan niat yang baik, tidak perlu
memperhatikan kampanye hitam, SMS berantai, selebaran gelap, fitnah, dan isu negatif yang marak selama ini di dunia maya. Kita harus berpikir
jernih. Kita harus bisa membedakan calon pemimpin yang benar-benar bisa bekerja
untuk rakyat, dan calon pemimpin yang hanya bisa membangun persepsi dan
menawarkan ilusi belaka. ***