Kembalinya
Ujian Nasional
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan, 25
Januari 2017
Bagaimana jadinya bersekolah tanpa ujian? Ujian merupakan
salah satu indikator evaluasi apakah suatu pengajaran telah berhasil atau
tidak. Ujian memang menakutkan, menegangkan, melelahkan, menghabiskan dana, dan
sebagainya. Tapi ujian dapat membuat orang lebih bersemangat, lebih mempunyai
tujuan, dan terpacu jiwa kompetisi.
Ibaratnya, orang awam melakukan olahraga hanya untuk
menjaga kebugaran tubuh atau sekadar rekreasi. Tiada tujuan lain yang ingin
dicapai. Tapi bagi seorang atlet, jika kesehariannya hanya berlatih dan berlatih,
kemudian ketika akan menghadapi “ujian” semisal PON, SEA games, Asian Games,
bahkan Olimpiade, mereka akan berlatih lebih keras untuk meraih prestasi.
Ketika
masuk pelatda atau pelatnas, mereka akan berkonsentrasi penuh. Pola makan, pola
tidur, semua telah diatur. Ketika orang lain bisa berjalan-jalan, nongkrong
santai, dan bergadang. Mereka mengorbankan waktu untuk berlatih. Dan ketika
“ujian” itu tiba, para atlet akan berusaha sekeras mungkin untuk membuktikan
hasil “belajar” (baca: latihan) nya selama ini. Mereka akan bersimbah keringat,
terkadang cedera, bahkan jika perlu bersimbah darah, untuk membuktikan diri dan
demi kejayaan negeri.
Para siswa seharusnya mempunyai jiwa semangat
berkompetisi seperti para atlet. Anggap saja UN itu seperti even PON (Pekan
Olahraga Nasional). Ketika masa ujian tiba, jangan berleha-leha dan banyak
bermain lagi. Konsentrasi penuh dengan belajar keras, atur pola makan, tidur,
olahraga, dan rekreasi agar kesehatan terjaga.
Ketika ujian itu tiba, siswa sudah siap secara fisik,
mental, dan intelektual. Mereka akan menghadapi ujian dengan sungguh-sungguh,
siap lelah, siap pusing, siap bersimbah keringat, siap bangun lebih pagi agar
tidak terlambat, dsb. Ujian akan dihadapi secara serius dengan segenap jiwa,
karena hal ini mempertaruhkan masa depan mereka sendiri.
Itulah filosofi dari ujian. Hasil ujian adalah indikator
tingkat keberhsilan kita dalam menghadapi suatu masalah. Hasil ujian menentukan
layak atau tidak layaknya kita untuk menuju tingkat yang lebih tinggi lagi.
Semua masalah dalam hidup ini sebenarnya juga adalah ujian. Jadi mengapa harus
takut menghadapi ujian?
Ketakutan, kecemasan, beban psikologis, dan sebagainya
terjadi karena ketidaksiapan atau ketidaktahuan siswa dalam menghadapi ujian.
Suatu hal yang sangat wajar. Tapi ketakutan dan kecemasan ini terus-menerus
dikedepankan, sehingga tahun demi tahun wacana penghapusan UN terus digaungkan
dengan segala argumentasinya.
Pertanyaannya, mengapa perasaan pesimis itu yang terus
diperbesar? Seharusnya perasaan optimis, semangat, jiwa kompetisi, pantang
menyerah, bertanggung jawab, jujur, ulet, giat, bermental tangguh, dan tidak
takut menghadapi masalah, itulah yang harus diperbesar.
Moratorium
Wacana
moratorium Ujian Nasional (UN) ditolak pemerintah, dan UN akan kembali digelar seperti
biasa tahun 2017 nanti. Usulan untuk melakukan moratorium atau menghentikan
sementara UN sebelumnya diajukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Muhadjir Effendy. Namun, usulan itu ditolak dalam rapat terbatas di Kantor
Presiden (20/12/2016).
Banyak yang pro dan kontra terhadap keputusan pemerintah
ini. Beberapa organisasi guru yang sejak semula memang menginginkan moratorium
UN merasa kecewa. Tapi di pihak lain, banyak juga yang mendukung keputusan
pemerintah.
UN saat ini memang tidak lagi menjadi alat ukur untuk
menentukan kelulusan siswa.
UN kemudian dijadikan sebagai tolak ukur pemetaan pendidikan,
memetakan persoalan pendidikan, dan menjadi alat ukur berbagai indikator, mulai
dari kualitas guru, siswa, sekolah, indeks kejujuran sekolah, hingga digunakan
untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi.
Pemerintah memiliki pertimbangan mengapa
akhirnya tetap memberlakukan UN. Pemerintah melalui Sekretaris
Kabinet Pramono Anung mengatakan, keputusan itu didasarkan atas
survei yang dilaksanakan oleh PISA, sebuah lembaga studi internasional tentang
kondisi pendidikan di Indonesia.
Survei itu menyatakan bahwa sebenarnya
pendidikan Indonesia sudah “on the right track". Kualitas pendidikan di
Indonesia setiap tahun meningkat tajam. Peningkatan kualitas ini terlihat dari
tahun 2003 hingga 2016. Bahkan, PISA memprediksi bahwa pada 2030, Indonesia
akan menjadi bagian dari negara-negara yang memiliki pendidikan terbaik di
dunia. PISA melihat pendidikan Indonesia butuh penyempurnaan.
Pemerintah pun kemudian meneruskan
pemberlakuan UN dengan sejumlah perbaikan. Salah satunya, pemerintah terus
mendorong perbaikan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, kurikulum, dan
memperluas akses pendidikan ke seluruh pelosok nusantara.
UN masih dibutuhkan dalam sistem pendidikan di
Tanah Air. Melalui UN dapat diketahui sejauh apa kualitas pendidikan yang telah
dicapai para murid selama belajar mengenyam ilmu di sekolah. UN dilaksanakan supaya
ada standar. Kalau masing-masing seenaknya saja, apa standarnya tamat SMA? Apa
standarnya tamat SMP? Kemudian jika anak-anak kita mau daftar SMP ke SMA pakai
nilai apa? Kepala Sekolah mau menyeleksi anak pakai apa? Karena tidak ada nilai
UN lagi.
Kembali UN
Melakukan wacana moratorium UN di tengah
tahun pelajaran bukanlah langkah yang tepat.
Menghentikan kebijakan berskala nasional yang tengah berjalan bukanlah
persoalan mudah. Siswa dan guru saat ini sudah dalam tahap persiapan menghadapi
UN.
Terhadap wacana moratorium atau penghapusan sementara UN,
penulis memberi beberapa catatan kritis. Sejak awal persoalan UN menjadi isu
politik para pejabat, dari pemilu ke pemilu. Baik Jokowi maupun Prabowo
berjanji menghapuskan UN. Polemik mengenai penyelenggaraan UN juga tidak
berujung. Ada kesan Mendikbud suka melempar wacana terkait pendidikan ke
publik, kemudian menariknya kembali ketika di publik terjadi pro dan kontra.
Belajar dari lontaran sebelumnya mengenai sekolah sehari
penuh (full day school) yang ternyata tidak ada juntrungnya, kali ini pun
penulis menduga Mendikbud hanya mengetes reaksi publik andaikata UN dihapuskan
sementara. Pesan yang hendak disampaikan kepada publik ialah Mendikbud ingin memiliki
“prestasi” sebagai menteri yang berhasil menghapus UN, yang telah menjadi
polemik bertahun-tahun dan sumber kebingungan dari menteri satu ke menteri
berikutnya.
Banyak kalangan yang memang menghendaki agar UN dihapuskan.
Argumentasi untuk itu sudah banyak diulas di media massa. Dari argumentasi satu
ke yang lain sampailah pada kesimpulan UN berskala nasional memang tidak tepat
diselenggarakan karena merampas hak guru menyelenggarakan ujian.
Di sisi lain, UN memang berhasil memaksa siswa bekerja keras
namun bukan untuk menguasai seluruh mata pelajaran tetapi semata-mata agar
lulus dalam UN. Mereka memang stres tetapi tidak memikirkan materi soal
melainkan agar lulus. UN juga tidak cukup punya legitimasi untuk dijadikan
tolok ukur mutu pendidikan secara nasional karena disparitas pendidikan yang
masih menganga di banyak daerah.
Yang muncul ke permukaan, UN terus digelar namun
kecurangan-kecurangan yang terjadi di masyarakat juga terus terjadi. Pelakunya
juga terdidik karena ada guru, birokrasi dinas pendidikan, kepala sekolah, dan siswa
secara sistematis. Penghapusan total merupakan langkah yang ditunggu-tunggu
masyarakat.
Di samping itu, moratorium dipermasalahkan karena waktunya
demikian mepet untuk sampai pada UN 2017. Ini sudah separuh jalan. Segala
persiapan menuju UN 2017 juga sudah dilaksanakan baik oleh birokrasi
pendidikan, siswa dan guru.
Selama belum tersedia pilihan atau alat evaluasi akhir
pembelajaran yang menggantikan UN, wacana itu hanya akan membingungkan. Apalagi
UN sudah terlanjur menjadi bagian integral dari sistem pembelajaran di Tanah
Air. Oleh karena itu, kita mendorong janganlah perubahan di bidang pendidikan
dilakukan secara mendadak. Tidak ada waktu untuk meributkan kebijakan yang
tiba-tiba diubah di tengah jalan.
Masalah pendidikan mestinya jangan dipermainkan dengan
melempar wacana. Apalagi Kemendikbud
belum siap jika UN benar-benar ditunda atau dihapuskan, termasuk bentuk baru
ujian akhir yang tepat. Dari awal, Wakil Presiden Jusuf Kalla merupakan pembela
UN dengan alas an mampu memicu siswa belajar keras. Jusuf Kalla juga
berkali-kali mengatakan biarlah siswa stres yang penting mau bekerja dan
belajar keras.
Jadi, selamat datang Ujian Nasional. Kami
siswa-siswi Indonesia bersemangat menghadapimu! ***