Mengenal Hoax dan Cerdas Bermedia Sosial

Mengenal Hoax dan Cerdas Bermedia Sosial
Oleh : Fadil Abidin

            Sejumlah masyarakat sipil dan pegiat media sosial mendeklarasikan Masyarakat Anti Hoax (08/01/2017) di Jakarta dan serentak di 6 kota lainnya. Kegiatan bertujuan untuk mengajak seluruh masyarakat Indonesia agar peduli dan bersama-sama memerangi persebaran informasi hoax yang kian marak di media sosial.

Menkominfo Rudiantara menyatakan ada 700 ribu hingga 800 ribu situs hoax yang teridentifikasi. Namun angka sebenarnya adalah semua situs negatif yang berhasil diblokir selama 2016. Situs yang diblokir adalah situs penyebar kebencian terhadap SARA, kebohongan, terorisme, judi, pornografi, radikalisme, dan pembajakan hak cipta (CNN Indonesia, 30/12/2016).
Banyak informasi hoax yang viral di media sosial kemudian memicu aksi keributan, perpecahan, kebencian, pertentangan, bahkan merembet menjadi kerusuhan massa. Hal ini bukan saja menghabiskan energi, namun juga berpotensi mengganggu keamanan nasional.
Perkembangan internet ternyata tidak dibarengi dengan kecerdasan intelektual, sosial, dan emosional. Masyarakat Indonesia termasuk gampang yang percaya begitu saja terhadap suatu pemberitaan sehingga generasi saat ini merupakan yang paling rentan terhadap bahaya hoax. Sangat disayangkan jika rakyat Indonesia yang harusnya bisa menikmati bonus demografi di 2030 nanti justru diisi oleh orang-orang yang tidak cerdas dalam bermedia sosial.
Definisi Hoax
            Hoax (baca: hoks) artinya berita bohong, informasi palsu, atau kabar dusta. Istilah ini populer seiring popularitas media online, terutama media sosial. Menurut kamus bahasa Inggris, hoax artinya olok-olok(an), cerita bohong, dan memperdayakan alias menipu.
Arti hoax menurut para ahli adalah deliberately fabricated falsehood made to masquerade as truth (MacDougall, Curtis D, 1958). Hoax adalah sebuah kebohongan yang secara sengaja dibuat yang “menyamar” seolah berita itu adalah sebuah kebenaran.
Dalam literatur jurnalistik, istilah yang semakna dengan hoax adalah libel, yakni berita bohong, tidak benar, sehingga menjurus pada kasus pencemaran nama baik. Bisa juga disamakan dengan berita buatan (fabricated news) atau berita palsu/bohong (fake news). Pemberitaan yang tidak berdasarkan kenyataan atau kebenaran untuk maksud tertentu.
Menurut Wikipedia, hoax adalah sebuah pemberitaan palsu adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu. Padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut palsu. Kata hoax berasal dari “hocus pocus” dalam bahasa Latin “hoc est corpus”, artinya “ini adalah tubuh”. Kata ini biasa digunakan penyihir untuk mengklaim bahwa sesuatu adalah benar, padahal dusta.
Kata hoax mulai populer pertama kali di kalangan netter (pengguna internet) Amerika, didasarkan pada sebuah judul film yang berjudul "The Hoax" tahun 2006. Film ini dibuat berdasarkan buku novel dengan judul yang sama oleh Clifford Irving dan berfokus pada biografi Irving sendiri. Banyak kejadian yang diuraikan Irving dalam bukunya yang diubah atau dihilangkan dari film sehingga tidak sesuai dengan novel aslinya. Hal ini membuat Irving marah.
Film The Hoax pun disebut sebagai film yang benar-benar hoax karena dianggap sebagai film yang banyak mengandung kebohongan. Sejak saat itu banyak kalangan terutama para netter yang menggunakan istilah hoax untuk menggambarkan suatu kebohongan, lambat laun penggunaan kata hoax di kalangan netter makin gencar.
Mengenal Hoax
Berita palsu atau hoax kerap beredar di dunia maya dan bukan hal baru di media sosial, menurut aktivis Southeast Asia Freedom of Expression (SAFEnet) Damar Juniarto dikutip dari Tempo.co (5/1/2017), disebutkan ada tiga ketegori fake news atau berita palsu, ada yang bertujuan untuk hiburan dan ada juga yang bertujuan politis.
Berita palsu ada yang dibuat untuk hiburan atau sekedar lucu-lucuan, bentuknya bisa berupa meme, pesan berantai atau infografis. Berita seperti itu biasanya dibuat sebagai candaan dan tidak perlu ada penindakan hukum.
Selanjutnya, ada juga berita palsu yang dibuat untuk meraup keuntungan dengan mengundang "clickbait". Informasi seperti ini dibuat dengan memelintir berita atau informasi sehingga seolah betul-betul terjadi. Informasi seperti itu harus dipilah lagi karena bermuatan merugikan orang lain.
Terakhir, ada hoax yang merupakan strategi politik untuk menjatuhkan lawan, disinformasi bahkan diarahkan ke segregasi sosial. Berita ini mayoritas berisi kebohongan, fitnah, dan bersifat membunuh karakter seseorang atau lawan-lawan politiknya di dunia maya. 

Sementara menurut Dewan Pers dalam rilisnya (3/11/2016), jenis-jenis media massa ada yang profesional, partisan, dan abal-abal. Saat ini jumlah media di Indonesia 43 ribu lebih, namun yang lolos verifisasi hanya 211 media, termasuk media online.

Media profesional yaitu media yang memiliki kantor redaksi, berbadan hukum, mempunyai karyawan pers yang telah lulus sertifikasi uji kompetensi dari Dewan Pers, dan memiliki kantor perwakilan (biro).

Media partisan yaitu media yang hanya hadir ketika ada momen-momen tertentu, seperti ajang pilkada atau pemilu untuk kepentingan partai. Media abal-abal merupakan media yang tidak jelas karena tidak memiliki kantor redaksi serta tidak memiliki karyawan pers, tugasnya hanya menyebarkan berita hoax, dan menakut-nakuti sumber berita.

Mayoritas media saat ini masuk kategori abal-abal.  Dewan Pers mencatat, sebanyak 75 persen dari 2.000-an media cetak di Indonesia belum berbadan hukum dan produk jurnalistiknya tak memenuhi prinsip jurnalistik. Hanya 567 media cetak yang dikategorikan media profesional.

Dari sebanyak 43.300 media online atau media siber, hanya 211 perusahaan yang dikategorikan perusahaan pers profesional. Dewan Pers meminta lembaga publik untuk berhati-hati terhadap munculnya media abal-abal. Pelaku seolah berpraktik sebagai jurnalis profesional tetapi melanggar kode etik jurnalis. Media manakah yang beritanya suka Anda baca dan share ke media sosial, termasuk media profesional, media partisan, atau media abal-abal?

Identifikasi
Ada beberapa hal yang perlu dicurigai pembaca bila mendapatkan informasi, yang berpotensi hoax. Berita hoax umumnya tidak mencantumkan sumber berita yang tidak valid atau tidak bisa diverifikasi. Berita juga cenderung tidak memuat dari sisi yang berlawanan atau cover both side dan ditulis dengan nada tendensius. Berita hoax kerap menampilkan narasumber anonim.
Diperlukan kecerdasan dan kebijakan untuk menyaring semua info yang kita baca, apakah berita tersebut asli atau palsu alias hoax? Jika berita yang kita bagikan secara retweet, forward,  share, atau broadcast terbukti berita palsu, kita akan dikenal sebagai orang yang “bodoh” dan bisa terancam pidana menurut UU ITE.
Sekilas maksudnya baik. Kita mencoba berbagi informasi agar masyarakat bisa lebih waspada, tetapi apa yang terjadi? Justru banyak orang akan makin kalut akibat pesan berantai yang tidak jelas kebenarannya. Jika memang berita tidak terklarifikasi dengan benar, alangkah baiknya jika pesan informasi tersebut berhenti di tangan kita dan tidak perlu disebarkan lagi. 
Lantas, bagaimana mengindikasi sebuah informasi adalah hoax? Cara yang paling mudah mengenali ciri-ciri berita hoax adalah dengan membaca secara cermat dan menyeluruh pada setiap bangunan kata dan kalimat yang disusun.  Jika isinya bertentangan dengan logika umum dan ilmu pengetahuan atau terdapat kontradiksi dengan fakta yang sudah umum diketahui, maka hal itu adalah hoax.
Berita hoax biasanya menggunakan judul-judul yang “alay”, bombastis, menggemparkan, kontroversial, bahkan terkadang tidak masuk akal. Tujuannya agar pembaca penasaran, lalu ikut terpengaruh. Tata bahasa, penggunaan artikel, dan pemilihan kata dalam berita hoax juga kerap kacau. Sorang jurnalis atau penulis yang baik, biasanya punya manner yang baik dalam menulis sebuah karya tulis. Tata EYD untuk penulisan judul biasanya akan selalu diikuti dan dipatuhi. Karena jurnalis yang baik percaya: kemajuan sebuah bangsa dapat dilihat dari kemajuan tata dan sistem bahasanya.
Berita-berita hoax biasanya bersumber dari situs, laman, atau blog yang tidak pernah dikenal sama sekali. Berita-berita ditulis di atas laman antah berantah yang namanya aneh-aneh. Entah itu blog, website atau bahkan akun Facebook yang namanya tidak jelas.
Banyak yang tidak sadar bahwa berita hoax semacam ini dibuat kadang-kadang bukan semata untuk kepentingan politik atau golongan belaka saja. Info hoax ini adalah ladang uang bagi para pencipta berita-berita hoax. Berita yang sensasional akan mendatangkan click yang banyak ke alamat laman mereka, click yang banyak akan meningkatkan traffic. Dari traffic yang tinggi ini, sang pembuat hoax bisa mengkomersialkan laman hoaxnya untuk mendatangkan iklan dan uang buat dirinya.
Lalu bagaimana agar kita cerdas dalam bermedia sosial? Informasi melalui apa pun, sebaiknya dikonfirmasikan kepada pihak yang mengetahui betul persoalannya. Cari informasi tentang akun Twitter, Facebook, blog atau situs  pihak terkait yang berhubungan dengan isi berita tersebut untuk mendapatkan konfirmasi.  
Bila tidak mempunyai akses komunikasi dengan pihak terkait, kita bisa langsung searching via google di internet. Bandingkan berbagai informasi yang sama terkait dengan berita yang diterima. Bisa jadi saat kita melakukan pencarian, ternyata sudah ada link informasi atas klarifikasi berita tersebut. Sebagai pertimbangan, pastikan berita yang kita investigasi tersebut telah dimuat pada kantor-kantor berita besar dan terpercaya.
Mari sama-sama menjadi orang yang tidak mudah tertipu oleh sebuah berita. Mari bersikap kritis dan skeptis terhadap seluruh informasi yang diterima, sekalipun informasi itu berasal dari sumber yang paling kredibel. Sikap kritis dan skeptis akan membawa kita untuk selalu ingin tahu. Sifat selalu ingin tahu akan membangkitkan semangat belajar sehingga pengetahuan juga semakin bertambah.

Bijak dan cerdaslah dalam bermedia sosial. Sekedar mengingatkan kembali, cek dan konfirmasi dulu sebelum Anda mentautkan, retweet, forward, shared atau broadcast. Jangan bangga menjadi terdepan mengabarkan berita sensasional yang isinya belum tentu benar. ***