Selebrasi
Eksekusi Hukuman Mati
Oleh : Fadil Abidin
Selebrasi berarti merayakan. Pada Piala Eropa 2016 lalu, ketika seorang
pemain mencetak gol, pasti akan melakukan selebrasi. Bahkan banyak pemain
sepakbola yang mempunyai gaya dan ciri khas dalam merayakan golnya. Lalu
selebrasi eksekusi hukuman mati, berarti merayakan pelaksanaan hukuman mati?
Pemerintah Indonesia kembali akan melaksanakan hukuman mati gelombang
ke-3 terhadap para narapidana kasus narkoba. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo dalam
siaran pressnya di Kejaksaan Agung
Jakarta (30/4/2016) mengaku telah ada persiapan dan koordinasi antar lembaga
untuk pelaksanaan eksekusi terpidana hukuman mati.
Selama
pemerintahan Joko Widodo, pemerintah sudah menjalankan eksekusi terpidana mati kasus narkoba dalam
dua gelombang. Enam terpidana mati dieksekusi pada 18 Januari 2015. Pada
gelombang kedua, 29 April 2015, delapan terpidana mati juga dieksekusi.
Mencermati
pelaksanaan eksekusi hukuman mati gelombang sebelumnya, seperti ada kehebohan
bahkan selebrasi di media massa. Stasiun televisi, media cetak dan media online
berlomba memburu berita eksklusif. Ada liputan tentang tempat pelaksaannan
eksekusi, penampilan profil para terpidana, wawancara khusus dengan terpidana
atau keluarga, berbagai acara debat dan talkshow.
Berbagai masalah kemudian diperdebatkan, apakah hukuman
mati perlu atau tidak perlu, sebuah perdebatan yang berlarut-larut dan
menghabiskan waktu. Adanya silang pendapat antara penegak hukum, kejaksaan,
lembaga pemasyarakatan dan kepolisian, soal kesiapan pelaksanaan hukuman mati.
Soal teknis pelaksanaan hukuman mati, tempat dan waktu pelaksanaan, penjagaan
dan keamanan, urusan petugas yang akan melakukan eksekusi, senjata, masalah
rohaniwan, tenaga medis, ambulan, biaya pelaksanaan, masalah pasca pelaksanaan
tentang ke mana jenazah akan dikebumikan, bahkan penggalian kuburan juga
diberitakan. Persiapan yang seharusnya simpel, dibuat rumit, bertele-tele dan
dramatis.
Pemberitaan semakin heboh, ketika media massa terutama
stasiun televisi dan media cetak ikutan pula nimbrung. Semua ingin
menampilkan berita eksklusif, bahkan masalah pribadi mereka yang akan
dieksekusi juga dimunculkan. Jika selama ini selebriti hanya mereka yang
bergerak di dunia hiburan (entertainment). Maka fenomena baru muncul, selebriti
dari gembong narkotiba. Misalnya, siapa tak kenal Freddy Budiman dengan segala
sepak terjangnya di lapas dari mulai otak peredaran narkotika di lapas (lembaga
pemasyarakatan), gaya hidup, tentang petualangan syahwatnya, hingga konon
mempunyai sel khusus di dalam lapas.
Sebenarnya, apa manfaat dengan pemberitaan yang intensif dan
terkesan didramatisasi tentang pelaksanaan hukuman mati ini? Toh, yang akan
dieksekusi adalah terpidana kasus extra
ordinary crime, para bandar narkoba yang secara tak langsung telah banyak membunuh.
Jangan jadikan peristiwa ini, membuat terpidana mati sebagai selebriti dadakan.
Mencari Panggung
Menjelang pelaksanaan eksekusi
hukuman mati, biasanya banyak pihak yang akan “mencari panggung”, dan menjadi
acara selebrasi baik yang pro maupun kontra hukuman mati. Mereka akan
mengadakan konferensi press, debat publik, diskusi dan talkshow.
Bagi yang pro, hukuman mati kepada
para gembong narkoba adalah hal yang pantas karena narkoba dianggap sebagai
kejahatan luar biasa. Setiap tahun diperkirakan ada 18.000 orang yang tewas
akibat narkoba, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sementara bagi yang kontra, mereka
selalu berteriak tentang perlindungan hak asasi manusia (HAM). Mereka selalu
meragukan hasil dari proses penegakkan hukum dan proses
pengadilan karena adanya praktik mafia peradilan dan peradilan yang sesat.
Selain itu juga ada kecenderungan sejumlah negara yang telah menghapus praktik
hukuman mati. Dari 198 negara di Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebanyak 98 negara
telah menghapus hukuman mati di dalam sistem peradilan mereka.
Bagi yang kontra, eksekusi mati
terhadap sejumlah terpidana narkoba merupakan cara pragmatis pemerintah dalam
mengatasi kejahatan narkoba di Indonesia yang dianggap tidak akan menimbulkan efek
jera. Pemerintah tidak boleh mengorbankan nyawa orang lain untuk mengharapkan
efek jera yang belum tentu timbul atau dapat mencegah orang lain dari perbuatan
jahat. Terlebih nyawa yang menjadi korban tersebut belum tentu bersalah atau
dihasilkan dari proses hukum yang tidak adil. Itulah argumentasi para penentang
hukuman mati.
Ada hal yang perlu diperhatikan
dalam eksekusi hukuman mati: efek jera. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia
dengan ditembak mati sebenarnya “tidak menyeramkan” dan tidak menimbulkan efek
jera bagi yang masih hidup. Bahkan terkesan “mengistimewakan” para terpidana
dengan berbagai hal yang serba formal.
Pelaksanaan hukuman mati tercantum
dalam UU No.2 PNPS Tahun 1964 tentang Cara Pelaksanaan Pidana Mati. UU ini
sudah terlalu lama, dan seharusnya sudah direvisi menurut kondisi sekarang. UU
ini begitu sangat bertele-tele, menggunakan banyak sumber daya manusia, dan
memakan biaya yang sangat besar hanya untuk eksekusi hukuman mati.
Pasal 10 menyatakan, regu penembak mati dari kepolisian Brigade Mobil yang terdiri
dari seorang bintara, 12 orang tamtama, di bawah pimpinan seorang perwira. Hal
ini tentu suatu “kemewahan” yang menggunakan banyak sumber daya manusia dan
biaya.
Di banyak negara, regu penembak mati biasanya 5-6 orang. Hukuman
gantung di Malaysia atau hukuman suntik mati di Amerika, hanya menggunakan satu
orang eksekutor saja. Dasar pemikirannya, yang mereka eksekusi adalah kriminal,
bukan seorang pahlawan. Tidak pantas menggunakan sumber daya manusia dan biaya
yang besar dari uang pajak rakyat hanya untuk mengeksekusi seorang kriminal.
Bahkan konon di RRC, keluarga terpidanalah yang harus “membeli” peluru untuk
eksekusi tersebut.
Efek Jera
Di Indonesia hukuman mati
dilaksanakan di tempat tertutup atau tempat sunyi yang tidak boleh disaksikan
orang yang tidak berhak. Hukuman seharusnya membuat publik takut atau jera,
tapi dalam kasus di Indonesia hukuman tersebut seakan tidak mempunyai efek penjeraan
sama sekali. Setiap hari lapas over kapasitas karena kebanjiran narapidana
baru. Pengedar narkoba semakin banyak berkeliaran. Mengapa? Karena tidak adanya
efek penjeraan.
Penundaan
eksekusi terpidana mati dengan berbagai alasan, selain hanya akan menambah
jumlah penghuni lapas juga tidak akan menimbulkan jera. Yang dieksekusi mati
adalah yang divonis 5 atau 12 tahun yang lalu. Seharusnya dibuat aturan bahwa
mereka yang telah dijatuhi hukuman mati, pelaksanaan eksekusi harus
dilaksanakan selambat-lambatnya satu tahun setelah vonis dijatuhkan.
Kemudian, jangan dibuat tempat
tertentu untuk melakukan eksekusi mati, jangan terpusat di Nusakambangan atau
dibawa ke tempat sunyi di dalam hutan. Cukup dilakukan di lapas di mana
terpidana ditahan. Untuk lebih menimbulkan efek jera, lakukan keterlibatan napi
lain dalam persiapan pelaksanaan eksekusi, misalnya menyiapkan lapangan tempat
eksekusi. Para napi juga dipersilahkan (tanpa paksaan) melihat proses hukuman
mati dalam jarak (pagar) tertentu.
Tidak perlu melibatkan pers apalagi membesar-besarkan
berita tersebut. Cukup pemberitahuan kepada keluarga atau pengacaranya. Pihak
kejaksaan, kepolisian atau lapas harus tetap menjaga informasi tersebut,
undangan acara talkshow atau wawancara harus ditolak. Laksanakan saja eksekusi,
secara otomatis setiap tahun. Setelah pelaksanaan eksekusi dilakukan, barulah
diadakan konferensi pers, yang isinya, berapa jumlah terpidana dieksekusi, di mana
dilakukan, siapa saja nama-namanuya, jenis atau penyebab apa mereka dieksekusi,
serta jam berapa dilakukan.
Liputan-liputan oleh media justru menimbulkan selebrasi yang beragam yang
membuat popularitas para terpidana terus mencuat. Eksekusi hukuman mati juga
menjadi suatu hal yang tidak mengerikan bahkan tidak menimbulkan efek jera sama
sekali.
Bahkan ada celotehan (mungkin) seorang mantan narapidana di dunia maya,
bahwa eksekusi mati di Indonesia adalah hal yang “membanggakan” bagi terpidana.
Mereka akan dieksekusi oleh seorang bintara,
12 orang tamtama, di bawah pimpinan seorang perwira. Didampingi tenaga medis,
pihak kejaksaan, kepolisian, rohaniwan, dll. Diliput oleh media massa, surat
kabar, televisi, hingga media online. Kematian yang menjadi perhatian banyak
orang. Bandingkan dengan kematian seorang pencopet, yang “dieksekusi” secara
sadis oleh massa, mati tanpa pendampingan dan peliputan dari media massa. ***