Amuk Massa dan Depresi Kolektif Masyarakat Bermasalah


Amuk Massa dan Depresi Kolektif Masyarakat Bermasalah  
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 21 Oktober 2010

Dalam kamus bahasa Inggris “amok” berarti mengamuk, kata amok berasal dari kata amuk (bahasa Indonesia). Dalam dunia kejiwaan, amuk terjadi pada penderita Schizophrenia dan depresi yang akut. Orang yang menderita penyakit ini dalam masyarakat kita biasanya di pasung. Bila amuk ini dilakukan beramai-rakai maka akan diistilahkan dengan amuk massa, atau rusuh massa.

Amuk sungguh ’istimewa’, karena jarang sekali bahasa asli Indonesia menjadi kata serapan dalam bahasa Inggris, kecuali istilah amuk ini. Sejak jaman penjajahan memang bangsa penjajah yang bertugas ke Indonesia sudah terbiasa melihat orang-orang pribumi melakukan amuk massa. Tapi meskipun istilah amuk itu serapan dari bahasa Indonesia, namun itu bukan budaya orang Indonesia sendiri, terbukti prakteknya juga dilakukan oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
Tiada hari tanpa amuk massa, itulah yang kerap kita saksikan di televisi. Frekuensi amuk massa benar-benar meningkat di era reformasi. Amuk massa berkaitan erat dengan crowd (kerumunan). Kerumunan yang tampaknya insidental, tapi jika ada satu letupan, provokasi atau apa pun bentuknya yang sifatnya mengagetkan maka amuk massa menjadi kekuatan yang menakutkan. Singkat kata amuk massa merupakan perwujudan emosi dengan kesamaan orientasi yang destruktif.
Beberapa ahli psikologi massa, seperti Gray Ramod Louis (1965), menganalisis bahwa amuk massa adalah manifestasi dari kekecewaan yang mempunyai kesamaan denyut psikis, denyut mana lebih dititikberatkan kesamaan orientasi yang muncul sebagai hubungan kausalitas. Artinya, menurut psikolog berkebangsaan Prancis ini, amuk massa bisa terjadi karena imbal balik dari akibat (perasaan) yang sama atas perlakuan. Misalnya orang yang selama ini mengalami kesewenang-wenangan, maka ia merasa berhak melakukan hal serupa ketika marah.
Namun, dalam wacana sosial-politik, amuk massa lebih banyak diakibatkan proses sosial yang menekan masyarakat. Menurut Malcolm Weith (1972), masyarakat yang terus-menerus ditekan, akan melahirkan amuk massa secara evolutif yang terpendam dan akan mengganjal psikis komunitas tersebut. Dalam arti, tekanan yang dirasakan komunitas tertentu tidak langsung dimanifestasikan, tapi perlahan, namun pasti akan meledak suatu saat. Inilah amuk massa yang sulit dikendalikan dan cenderung anarkis.
Amuk massa di Tanjung Priok, Buol, Manokwari, Tarakan, Blowfish hingga di Jalan Ampera Jakarta yang memakan korban jiwa hanyalah sebagian kecil dari bentuk kebrutalan yang nyaris setiap hari terjadi di pelosok Tanah Air. Mulai pagi hingga tengah malam, menu berita di televisi didominasi seputar bentrokan berbuntut rusuh. Amuk massa dipicu oleh hal yang beragam, bisa diawali eksekusi rumah, penggusuran pedagang kaki lima, rebutan atas hak tanah, penyerobotan lahan, perang antar kampung, ricuh antar kelompok pemuda, hingga perselisihan pilkada. Ujung-ujungnya adalah saling serang, lempar batu, saling teriak memaki, adu pukul, bentrok dan akhirnya ada tubuh bersimbah darah meregang nyawa.
Dimensi Kekerasan
Jangan memakai kacamata kuda untuk bisa memaknai secara gamblang kejadian-kejadian di atas. Dengan menanggalkan kacamata kuda, berbagai dimensi bisa digunakan untuk mengupas bentrokan tersebut. Dimensi pertama adalah siklus kekerasan ala sosiolog Camara. Kekerasan di masyarakat bersifat akumulatif, ada kekerasan sebelumnya yang mendahului. Kekerasan melahirkan kekerasan. Inilah spiral kekerasan yang tersusun atas tiga lapis. Pertama, kekerasan ketidakadilan akibat egoisme penguasa dan kelompok tertentu. Kedua, perjuangan keadilan lewat kekerasan, dan ketiga, kekerasan dari tindakan represi pemerintah.
Dimensi kedua adalah komunikasi bisu sebagaimana ditegaskan filsuf Hannah Arendt. Dalam masyarakat mimesis (yang mudah meniru), kekerasan mudah membiak dan hal ini diperparah dengan pemberitaan lewat televisi. Kekerasan adalah komunikasi bisu dari sejumlah kaum marginal. Kekerasan itu sesungguhnya bermaksud menunjukkan identitas diri. Mereka butuh pengakuan atas kehadirannya. Mereka meneriakkan diskriminasi yang berlangsung selama ini. Diskriminasi itu melahirkan pengangguran, kemiskinan, dan kriminalitas di kawasan pinggiran. Setiap tindakan yang bakal bersentuhan dengan kalangan pinggir (kaum marginal) itu sebaiknya dikomunikasikan secara jelas. Jika bermaksud menata sebuah tempat berdagang, rakyat mesti tahu persis apa yang dimaksud ’menata’ lewat komunikasi dua arah. Pemerintah menyosialisasikan, rakyat menanggapinya lewat komunikasi. Jangan dibiarkan rakyat terus membisu, atau malah ada unsur kesengajaan untuk membungkam.
Dimensi ketiga adalah bentrok sesungguhnya mengandung pertanda akan sebuah krisis legitimasi. Bentrokan demi bentrokan itu tak bisa dianggap remeh. Jangan pula menyalahkan rakyat yang kian hari makin diselimuti budaya anarki. Ini menjadi instrospeksi pemerintah, mengapa ada kekerasan. Inilah puncak dari krisis legitimasi. Pertanda krisis legitimasi itu menguat, mengingat teori dari Jurgen Habermas mengemukakan jika persoalan-persoalan dalam kehidupan bermasyarakat tidak bisa (atau lamban) diatasi, hal itu sangat mungkin memunculkan krisis legitimasi, yakni sebuah situasi ketika rakyat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga publik. Lihatlah masyarakat kita sangat tidak percaya pada aparat  pemerintah, birokrat, polisi, lembaga pengadilan, partai politik bahkan kepada wakil rakyatnya sendiri yang duduk di DPR.
Tiga dimensi yang dipaparkan di atas pada hakikatnya dimulai dari depresi. Hal itu persis dengan kekhawatiran kalangan psikolog, yakni pada mulanya bentrokan yang diwarnai amuk massa adalah depresi kolektif masyarakat. Karut-marut kehidupan bernegara menjadi penyebab utama depresi itu. Bayangkan, saat rakyat kecil bersusah payah demi sesuap nasi, uang rakyat digerogoti oleh para koruptor tanpa ada sanksi setimpal dari aparat hukum. Malah terkesan ada permainan hukum (dikenal sebagai mafia hukum) yang membuat sang koruptor bebas dengan nyaman.
Depresi Reaktif
Rakyat lelah dengan kemiskinan, para elit penguasa dengan tenangnya meraup sejumlah akses dengan serakahnya. Di mana saja, apakah di lembaga pemerintahan, lembaga wakil rakyat, serta lembaga publik lain, perilaku aparatnya membuat kondisi kejiwaan rakyat terganggu. Belum lagi jika diperhitungkan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang menjadikan orang depresi dan kehilangan harapan hidup. Kondisi yang mengecewakan itu memancing reaksi, dan ini acap dikategorikan sebagai depresi reaktif. Tentu saja depresi reaktif akan terus berlanjut di tengah-tengah masyarakat ketika kekecewaan massa terus bertumpuk. Bahkan akan semakin parah jika bentuk kekecewaan itu lahir dari pihak pemerintah. Depresi personal bisa berubah menjadi depresi sosial (Archibald Hart, 2008).
Inilah koreksi terpenting bagi aparat negara, bahwa kepercayaan rakyat telah menurun. Para pemimpin tidak lagi sekadar menyatakan prihatin atas bentrokan-bentrokan yang terjadi, tetapi mesti mencari solusi untuk membangun kembali kepercayaan rakyat. Patut diingat bahwa krisis legitimasi muncul jika harapan-harapan tidak bisa dipenuhi. Oleh karena itu, krisis legitimasi bisa diatasi bila negara sungguh-sungguh serius mewujudkan harapan rakyat. Mudah saja, para pemimpin hendaknya kembali ke janji-janji semasa kampanye, dan sekarang saatnya mewujudkan janji itu, niscaya legitimasi terbangun kembali.
Rakyat sudah telanjur menyandarkan harapan pada para pemimpin, dan kepercayaan akan hancur jika harapan atas pendidikan murah, dunia kerja bertambah, kesehatan tidak mahal, dan aspek kehidupan lain tidak berhasil direalisasikan oleh pemimpin. Jika harapan terus digantung di awang-awang, bentrokan dan amuk massa akan terus bermunculan di seantero Indonesia dan akan menjadi santapan media.
Amuk massa sebenarnya banyak disebabkan karena ketidaktegasan pemerintah dalam mengatasi permasalahan rakyat. Hal tersebut dikarenakan adanya pola berpikir kolektif dari sikap frustasi dan depresi massa. Budaya amuk massa diakibatkan daya tampung stress atau frustasi di tiap individu yang sudah tidak dapat lagi dikendalikan.
Pemerintah biasanya untuk meredam amuk massa melakukan tindakan represif yang biasanya reaktif, misalnya dengan razia preman. Padahal hal-hal seperti ini tidak pernah efektif menuntaskan masalah. Sebaiknya memang masyarakat sudah tidak usah lagi mengandalkan pemerintah untuk menahan frustasi massa. Oleh karena itu diperlukan komponen masyarakat seperti kades, RT, RW, karang taruna, PKK, rumah ibadah, tokoh agama dan masyarakat untuk menjadi katalisator atau penawar kondisi agar kondusif.
Hemat penulis, amuk massa bisa saja merupakan bagian integral dari kondisi dinamis yang ada dalam masyarakat. Orang tidak akan mengamuk jika perutnya kenyang, orang tidak akan sempat marah jika ia sibuk bekerja, orang tidak akan frustrasi jika kebutuhan anak-isteri tercukupi, dan orang tidak akan depresi jika hidupnya penuh arti.
Amuk massa bisa dijadikan indikator bahwa masih ada masalah dan ketidakberesan kebijakan dalam pengelolaan negara oleh pemerintah. Amuk massa juga merupakan unsur penting sebagai kontrol sosial bagi pemerintah bahwa ada sekelompok masyarakat yang termarjinalkan dan terlupakan dalam proses pembangunan. ***