Rutinitas Bencana Alam di Indonesia

Rutinitas Bencana Alam di Indonesia
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 26 Desember 2010

Bencana alam adalah suatu kejadian alam yang tak bisa diprediksi yang menimbulkan kerusakan, kerugian, penderitaan, bahkan kematian bagi manusia, yang disebabkan oleh aktivitas alam bahkan oleh manusia itu sendiri. Dampak dari bencana sangat bergantung pada sumber atau jenis bencana, mulai dari banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi atau akibat aktivitas manusia seperti bencara lumpur di Sidoarjo.
Penanggulangan untuk mendeteksi, mencegah, menghindari dan meminimalisir dampak bencana adalah manajemen bencana yang baik, termasuk melokalisir pengungsi.   Setiap bencana baik alam maupun karena human error, meninggalkan duka, trauma, kesan, dan sejarah yang tak terlupakan, baik oleh korban dan keluarganya maupun masyarakat pada umumnya.
Wilayah Indonesia adalah termasuk dalam wilayah rawan bencana. BMKG mencatat selama kurun waktu 13 tahun terakhir kurang lebih sebanyak 6.632 kali bencana terjadi, baik bencana karena faktor alam atau bencana yang berhubungan dengan tindakan manusia. Sebuah bencana tidak akan menjadi bencana yang mematikan/merusakkan bila sebelum bencana dilakukan tindakan-tindakan pencegahan atau antisipasi kemungkinan bencana. Mungkin sebagian orang masih berpendapat bahwa bencana alam tidak dapat diprediksi, karena hanya “Tuhan” yang tahu kapan suatu bencana alam akan terjadi. Tapi kita bisa langsung ‘menyalahkan’ Tuhan atas bencana yang terjadi, karena beberapa bencana justru karena ulah manusia, baik secara langsung mupun tidak langsung.
Kelalaian Ekologis
Beberapa tahun belakangan, Indonesia memang kerap diguncang berbagai bencana alam hampir di seantero negeri, mulai dari tsunami, banjir, tanah longsor, gempa, gunung meletus, dan masih banyak lagi. Beragam teori diajukan untuk dijadikan penyebab lahirnya bencana tersebut, mulai dari penggundulan hutan, penyalahgunaan lahan, pergerakan lempeng bumi, pelepasan energi pada magma di perut bumi sampai global warming.
Sebenarnya sebagian bencana bisa dideteksi secara dini, ada sebagian bencana di Indonesia terjadi dikarenakan aktivitas manusia yang kurang merawat lingkungan alam yang ada di sekitar mereka. Sebagai contoh, banjir dan tanah longsor. Saat ini di Indonesia mengalami cuaca yang ekstrim di mana curah hujan begitu tinggi, seharusnya sebagai langganan banjir dalam musim hujan masyarakat lebih peka terhadap antisipasi dini untuk menghadapi bencana banjir. Terakhir ini telah terjadi longsor dan banjir bandang yang dahsyat di Wasior, Papua. Jika beberapa LSM, ahli lingkungan dan media menyatakan bahwa bencana tersebut dipicu oleh aktivitas penebangan hutan, ironisnya pemerintah tidak mau mengakui hal tersebut. 
Bencana alam yang terjadi di Indonesia didominasi oleh bencana banjir dan tanah longsor, karena faktor ekologi di Indonesia rentan dengan tanah longsor dan banjir yang menduduki 60% dari keseluruhan bencana di Indonesia. Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya bencana banjir dan longsor selama musim hujan yaitu faktor peranan air dan kondisi tanah yang lemah. Pada musim hujan peranan air hujan memberikan energi kepada tanah sehingga kondisi tanah berada dalam keadaan yang sangat lemah dan membuat tanah tersebut akan mudah terbawa arus air hujan yang menyebabkan longsor.
Sebagian besar bencana banjir yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh kelalaian ekologis dan buruknya pengelolaan lingkungan hidup oleh pemerintah dan masyarakat. Bencana banjir dan longsor nyaris menjadi bencana yang kerap diberitakan menjelang akhir tahun karena intensitas hujan biasanya meningkat di bulan ini. Selama sepuluh tahun terakhir misalnya, banjir selalu menggenangi kota Jakarta dan beberapa daerah lain setiap mengawali pergantian tahun baru. Tapi tampaknya tidak ada kesadaran sama sekali untuk mencegahnya.
Posisi geografis kepulauan Indonesia yang sangat unik menyebabkan Indonesia termasuk daerah yang rawan terhadap bencana. Sebagai sebuah fenomena kerusakan lingkungan, bencana ekologis yang terjadi sudah luas sekali. Banyak sekali daerah yang dalam sejarah tidak pernah banjir atau mengalami tanah longsor sekarang sudah terkena. Alam Indonesia sekarang sudah sangat rapuh dan sensitif terhadap iklim ekstrim. Kalau kemarau akan ada kekeringan dan kelangkaan air yang luas. Kalau musim hujan maka akan terjadi banjir dan tanah longsor.
Jadi secara ekologis, alam di Indonesia sudah kehilangan keseimbangan dan daya tahannya. Sebagai masalah ekologis, solusi satu-satunya adalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas ekologi itu sendiri. Jadi jika dilakukan seperti sekarang yang hanya bersifat responsif dan reaktif, dan hanya menanggulangi bencana maka hal itu tidak akan pernah bisa mengatasi akar masalah. Padahal yang terpenting adalah mencegah dan mengantisipasi agar bencana tidak berdampak luas yang merugikan.
Membangun Kearifan Lokal
Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alamiah dan aktivitas manusia sendiri. Bencana alam yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini sudah sangat sering terjadi. Akibat bencana alam yang terjadi itu banyak korban yang meninggal dan banyak warga yang kehilangan tempat tinggal dan harta bendanya. Beberapa bencana alam memang tidak bisa diprediksi kapan datangnya, misalnya gempa bumi. Tapi beberapa bencana alam lain sebenarnya bisa diprediksi karena sebelum bencana terjadi sudah ada gejala-gejala yang memulainya.
Beberapa bencana alam yang bisa diprediksi dengan teknologi misalnya angin topan atau angin ribut. Dengan satelit pendeteksi cuaca, pergerakan angin bisa dipantau. Angin topan biasanya juga membawa efek curah hujan yang tinggi sehingga derah yang terkena harus waspada terhadap banjir. Gunung meletus juga bisa dideteksi dalam hitungan hari bahkan jam sebelum meletus sehingga bisa dilakukan evakuasi. Demikian juga dengan tsunami, di beberapa negara maju pendeteksi tsunami begitu canggih sehingga dapat meminimalisir dampak korban jiwa.
Tapi berhubung kita tinggal di negara yang belum punya alat-alat pendeteksi bencana yang canggih seperti itu, maka yang harus kita lakukan adalah memberi pendidikan dan pengetahuan secara dini untuk tanggap terhadap bencana. Di Jepang misalnya, anak-anak mulai dari TK dan SD sudah diajarkan bagaimana menghadapi gempa bumi dan melakukan evakuasi.
Kita sebenarnya punya kearifan lokal yang telah diturunkan oleh nenek moyang kita. Misalnya, ketika gempa bumi dan tsunami dahsyat melanda Aceh dan daerah sekitarnya beberapa tahun lalu. Pulau Simeuleu yang merupakan pulau yang berhadapan langsung dengan pusat gempa dan tsunami, walaupun pulau ini rusak parah tapi korban jiwa justru sedikit di pulau ini. Mengapa? Karena penduduk pulau ini punya kearifan lokal, jika ada gempa bumi dan air di pantai surut maka mereka langsung lari ke puncak gunung. Pengetahuan ini telah mereka wariskan secara turun-temurun. Selain itu penduduk pulau ini punya kearifan lokal dengan kebiasaan menanam bakau di pinggir pantai dan melarang menebanginya. Inilah yang membentengi mereka dari terjangan tsunami beberapa tahun lalu.
Kearifan lokal sangat diperlukan dalam mencegah dan meminimalisir dampak bencana. Di Bali misalnya, menebang pohon di hutan atau di lereng gunung dianggap sebagai melanggar adat. Di beberapa daerah di Jawa, ada beberapa hutan yang dianggap suci dan dikultuskan sebagai ’hutan larangan’ yang ada ’penunggunya’. Walaupun tidak rasional justru kearifan lokal tersebut mampu melestarikan hutan yang ada.
Tapi hutan-hutan tersebut kemudian juga turut rusak akibat generasi berikutnya sudah tidak menghargai kearifan lokal yang telah diwariskan para leluhurnya. Atau bisa juga karena kalah dengan bujukan uang dari para penebang liar yang berasal dari luar. Praktik ilegal logging biasanya terjadi karena warga sekitar hutan biasanya sudah tidak peduli atau telah terbujuk materi sehingga mereka membiarkan praktik tersebut terjadi. Padahal jika terjadi bencana banjir dan longsor, merekalah yang menjadi korbannya.
Bencana alam memang terkadang tidak bisa diprediksi kapan datangnya. Tapi tidak sedikit bencana itu justru karena aktivitas manusia, yaitu ulah manusia itu sendiri yang kurangnya melestarikan alam dan menjaga alam ini. Banyak manusia yang karena keserakahannya sering tidak mempedulikan alam seperti menebang pohon sembarangan, membakar hutan, membuang sampah sembarangan, dan masih banyak lagi.
Oleh karena itu kita harus mulai memperhatikan alam karena alam memiliki ketersediaan yang terbatas yang apabila tidak dilestarikan makin lama akan punah atau habis. Oleh karena itu kita sebagai manusia harus berhati-hati dengan alam khususnya yang tinggal di daerah rawan bencana alam. Sebagai sebuah masyarakat yang beradab dan berpengetahuan kita harus memiliki infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah dan menangani bencana yang akan datang. Jika pun kita tidak punya teknologi canggih, maka kita harus mengembangkan kearifan lokal yang hidup bersahabat dengan alam. ***