Globalisasi dan Kemiskinan
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 7 November 2008
Krisis finasial yang melanda Amerika dan berimbas kepada seluruh negara di dunia me-rupakan salah satu efek dari globalisasi.Pasar saham di Indonesia anjlok,nilai rupiah terus turun terhadap dolar.Petani kelapa sawit menjerit karena harga kelapa sawit turun drastis.Globalisasi ibarat pedang bermata dua terutama buat negara-negara berkembang seperti Indonesia.Ke-kuatannya tidak bisa ditandingi oleh sistem regulasi yang tertutup,globalisasi bisa membuat su-atu negara menjadi cepat maju dan globalisasi juga bisa membuat suatu negara menjadi lebih miskin.
Logical framework of globalization adalah bagaimana menciptakan dunia ini tanpa batas, dan globalisasi juga menciptakan keterbukaan terutama dalam perdagangan internasional,se-hingga globalisasi diklaim oleh pendukung globalisasi sebagai formula untuk bisa memajukan negara yang miskin menjadi negara berkembang dan negara berkembang menjadi negara maju.
Mengutip ungkapan Stiglitz,bahwa globalisasi telah menciptakan pertumbuhan bagi negara-negara di Asia dengan ditunjukan oleh banyaknya orang yang menjadi lebih kaya karena ekspor industrialisasi,tetapi banyak juga anggapan bahwa globalisasi menyebabkan orang ter-eksploitasi oleh prosesnya.Oleh karena itu globalisasi bagi negara berkembang dalam hal ini Indonesia merupakan suatu potret suram akibat keganasan globalisasi,hal yang kasat mata adalah semakin miskinnya orang Indonesia.Gap atau jurang pendapatan antara orang miskin dengan orang kaya semakin lebar.
Globalisasi sangat dipengaruhi oleh pemikiran kapitalisme yang berpedoman pada pan-dangan filsafat ekonomi klasik.Tokoh yang sangat berpengaruh dalam pandangan ini adalah Adam Smith dan dua pemikir yang tidak kalah pentingnya dalam pembentukan pandangan ini, yaitu David Ricardo dan Thomas Robert Maltus yang sangat di elu-elukan oleh dua pemikir pada jaman sekarang,yaitu Francis Fukuyama dan Thomas L. Friedman yang memberikan tesisnya tentang globalisasi,liberalisme,privatisasi dan kapitalisme sebagai pemecah masalah dan ideologi ekonomi yang final.Benarkah?
Realitas yang terjadi adalah Indonesia merupakan dari negara dunia ketiga yang belum mampu membendung pasar bebas dan hal tersebut merupakan suatu keniscayaan serta sewaktu-waktu akan siap membinasakannya.Dalam hal pertanian pun negara kita belum bisa mampu membendung produk-produk dari luar yang mempunyai nilai kompetitif lebih dibandingkan de-ngan produk pertanian dalam negeri.Maka kita sering menjumpai buah-buahan impor,padi impor,kedelai impor,jagung impor dan produk pertanian impor lainnya di sekitar kita sampai-sampai di pasar tradisional pun ada.Sehingga pertanyaan kita,apakah pemerintah telah siap menghadapi globalisasi dengan memperkuat pembangunan yang berbasiskan pada kerakyatan ?
Masalah pengangguran dan kemiskinan merupakan masalah klasik yang selalu melekat dan menjadi ciri khas negara Indonesia.Masalah ini juga merupakan masalah yang paling krusial dihadapi oleh negara ini,sebab proses penyelenggaraan negara yang tidak efisien.Konsep yang amat dekat dengan konsep kemiskinan adalah impoverishment (hal-hal menyebabkan seseorang atau sesuatu menjadi lebih miskin).Proses impoverisment adalah sebuah proses aktif menghi-langkan akses dan hak-hak dasar yang secara sistematik direproduksi dan diciptakan oleh sejumlah mekanisme global seperti kerusakan lingkungan hidup,kehancuran sumberdaya rakyat, inflasi,pengangguran dan politik utang luar negeri.Proses inilah yang dikenal sebagai proses pelemahan (disempowerment) ekonomi,ekologi,sosial,politik dan kebudayaan khususnya bagi kelompok-kelompok masyarakat minoritas dan terpinggirkan.
Menurut data BPS,jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah garis ke-miskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen).Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen),berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta.Data kemiskinan yang paling fenomenal dan diperkirakan oleh Bank Dunia,yaitu sebanyak 3,1 juta orang jatuh ke dalam jurang kemis-kinan akibat kenaikan harga beras 33 persen selama periode Februari 2005 sampai Maret 2006.
Dasar perhitungannya,tiga perempat dari kaum miskin adalah konsumen bersih (net consumer) beras.Berdasarkan data Bank Dunia,jumlah orang miskin, yang hidup dengan 1 dollar AS per hari pada tahun 2006 diperkirakan 19,5 juta orang, akan turun menjadi 17,5 juta orang pada 2007.Adapun orang miskin yang hidup dengan 2 dollar AS per hari juga diprediksi berku-rang,dari 113,8 juta orang pada tahun 2006 menjadi 108,2 juta orang pada 2007.Asumsinya, ekonomi Indonesia bisa tumbuh dari 5,5 persen pada 2006 menjadi 6,2 persen pada 2007 dan jumlah penduduk bertambah dari 229,5 juta di 2006 menjadi 232,9 juta pada 2007.
Dengan data-data di atas maka globalisasi yang terjadi di Indonesia malah menyeng-sarakan rakyat.Misalnya kemiskinan semakin bertambah,hal yang perlu digaris bawahi adalah analisa pendapatan perkapita secara kuantitatif tidak bisa dijadikan barometer tingkat kemiskinan di Indonesia sebab data pendapatan perkapita yang dijadikan landasan untuk mengukur sejauh mana tingkat pertumbuhan di Indonesia tidak sesuai dengan realitas.Karena pendapatan per-kapita Indonesia tidak bisa di wakili hanya dengan 10% dari penduduk negara ini yang katanya hidup lebih sejahtera.Karena globalisasi akan menciptakan marginalisasi antara yang si kaya dengan si miskin dan faktannya benar,bangsa ini mengalami kemiskinan yang sangat parah secara kasat mata.
Fakta yang kasat mata kita ketahui tentang kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah kemiskinan yang sangat parah.Misalnya di beberapa daerah masih banyak masyarakat yang me-makan roti basi yang celakanya makanan itu sebagai makanan pengganti nasi aking yang sema-kin merangkak naik akibat kenaikan harga beras yang membumbung tinggi.Perlu diketahui bah-wa nasi aking adalah nasi bekas yang dikeringkan,dimasak serta dikonsumsi oleh masyarakat miskin.Apakah hal tersebut dinamakan keberhasilan pembangunan? Lalu apa yang harus dilaku-kan supaya bangsa ini bisa terangkat dari jurang kemiskinan yang sudah terlalu dalam? Perta-nyaan tersebut harus bisa dijawab oleh bangsa ini melalui pemberdayaan masyarakat dengan dukungan kebijakan pemerintah dan swasta yang pro terhadap pengentasan kemiskinan.
Upaya pengentasan kemiskinan melalui proses pemberdayaan ekonomi mikro
Defenisi usaha mikro menurut ADB,adalah usaha-usaha non-pertanian yang mempeker-jakan kurang dari 10 orang termasuk pemilik usaha dan anggota keluarga.Sedangkan USAID mendefinisikan usaha mikro adalah kegiatan bisnis yang mempekerjakan maksimal 10 orang pegawai termasuk anggota keluarga yang tidak dibayar.Kadangkala hanya melibatkan 1 orang, yaitu pemilik yang sekaligus menjadi pekerja.Kepemilikan aset dan pendapatannya terbatas. Bank Dunia mendefinisikan Usaha mikro adalah merupakan usaha gabungan (partnership) atau usaha keluarga dengan tenaga kerja kurang dari 10 orang,termasuk di dalamnya usaha yang hanya dikerjakan oleh satu orang yang sekaligus bertindak sebagai pemilik (self-employed).
Usaha mikro sering merupakan usaha tingkat survival (usaha untuk sekadar memper-tahankan hidup atau survival level activities),yang kebutuhan keuangannya dipenuhi oleh ta-bungan dan pinjaman berskala kecil.Dengan melihat beberapa defenisi tentang usaha mikro, maka hal yang perlu di garis bawahi adalah bagaimana kekuatan usaha mikro bisa dijadikan se-bagai alternatif dalam mengurangi pengangguran.Karena pengurangan pengangguran secara oto-matis akan memberikan dampak positif untuk bisa mengurangi kemiskinan di Indonesia.Tetapi alternatif tersebut tidak bisa jalan begitu saja tanpa mendapatkan dukungan secara maksimal oleh pemerintah dan swasta dengan memberikan akses keadilan bagi usaha tersebut.
Peranan pemberdayaan seharusnya bisa terealisasi apabila pemerintah dan swasta bisa menciptakan suatu program yang sifatnya memberikan akses modal kepada usaha mikro.Sebab kendala yang banyak dihadapi oleh usaha ini adalah masalah permodalan.Fenomena permodalan ini apabila kita kaji lebih empiris di lapangan yaitu masih adanya ketidakadilan dalam penyalu-rannya.Misalnya usaha mikro sering dipersulit untuk bisa mendapatkan modal,seperti prosedur yang berbelit-belit,harus ada jaminan,serta banyak lembaga keuangan tidak menyediakan permo-dalan bagi usaha mikro.
Sehingga usaha mikro sering mengalihkan pinjaman permodalan kepada lembaga-lemba-ga keuangan informal.Sehingga yang terjadi adalah penghisapan atau eksploitasi oleh lembaga informal dalam hal ini rentenir.Eksploitasi tersebut terjadi dengan bunga yang tinggi,tetapi eks-ploitasi tersebut bisa dinikmati atau diterima oleh usaha mikro.Ini merupakan realita yang harus segera dijawab oleh pemerintah dan perbankan bahwa usaha mikro sebenarnya bisa mengun-tungkan dan mereka bisa membayar hutang yang mereka terima.
Data yang menunjukan bahwa pembiayaan yang bersumber dari lembaga keuangan non bank sebanyak 82.962 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 10,93 persen,perbankan seba-nyak 385.383 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 6,55 persen dan sumber permodalan lainnya sebanyak 661.629 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 3,43 persen.Sedangkan sumber permodalan yang berasal dari modal ventura mengalami penurunan dari tahun sebe-lumnya hingga mencapai 50,18 persen yaitu dari 16.002 UKM menjadi 7.972 UKM (BPS 2006).Sehingga kesimpulannya adalah data tersebut menunjukan bahwa sebagian besar permo-dalan untuk usaha mikro berasal dari lembaga-lembaga keuangan informal.
Kita sesungguhnya patut memuji kebijakan dari pemerintah SBY-JK yang menggulirkan beberapa kebijakan pro-rakyat.Selain memberi “ikan” yaitu lewat BLT dan Program Keluarga Harapan juga menggulirkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan PNPM Mandiri.Program-program ini diharapkan mampu membangkitkan usaha ekonomi berbasiskan kerakyatan sekaligus mengu-rangi kemiskinan.***