G-30-S/PKI :
Sejarah Gelap yang Tak Kunjung Terang
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 30 September 2010
Dulu ketika masih di SD, SMP dan SMA, setiap tanggal 1 Oktober, saya dan juga satu generasi lainnya di Indonesia, selalu diwajibkan ikut upacara Hari Kesaktian Pancasila di sekolah. Hari untuk memperingati dimana Pancasila tetap sakti, tidak takluk oleh ideologi komunis. Hari untuk memperingati saat enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat gugur dalam peristiwa yang hingga kini menjadi sejarah kelam negeri ini, peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G-30-S/PKI.
Dulu setiap tanggal 30 September malam, pasti diputar film berjudul Pengkhianatan G-30-S/PKI di televisi. Film sama yang diputar berulang-ulang sampai 12 tahun berturut-turut hingga pemirsa hafal detail jalan ceritanya. Film dengan tata musik dan efek suara yang mencekam. Waktu SD tiap kali adegan pembunuhan para jenderal dimulai, saya selalu tidak berani menontonnya, saya merasa takut bahkan sampai berbekas hingga sekarang. Bagi saya waktu itu, Pengkhianatan G-30-S/PKI adalah film horor yang maha menakutkan.
Setelah Orde Baru tumbang dan era reformasi bergulir, banyak orang bersuara tentang peristiwa tahun 1965. Banyak orang yang merasa tidak bersalah tapi disalahkan dalam kasus itu lalu dipenjara bertahun-tahun tanpa pengadilan. Orang yang terlibat dan dituduh antek PKI seperti menanggung ’dosa turunan’ bapak, anak hingga cucu akan menerima stigmatisasi sebagai PKI juga sehingga ruang gerak sosial-ekonomi dibatasi. Stigmatisasi tersebut secara massal menimpa etnis Tionghoa hanya karena mereka dianggap punya afiliasi dengan RRC yang pada waktu itu mendukung PKI. Padahal banyak yang dituduh tersebut justru rakyat awam yang tak tahu apa-apa.
Dulu waktu rezim Orde Baru berkuasa, pelajaran sejarah selalu menunjukkan bahwa PKI adalah pelaku utama satu-satunya peristiwa 30 September 1965. Pascareformasi, ada yang menyuarakan PKI cuma kambing hitam dari intrik dan ambisi segelintir orang untuk meraih kekuasaan. Sampai sekarang, misteri seputar peristiwa yang menjadi titik balik revolusi di Indonesia dan berujung 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa, masih gelap. Entah kapan misteri itu akan terkuak.
Dari sekian banyak pelajaran sejarah tentang Indonesia, mungkin peristiwa 1965 yang paling rumit. Bisa jadi buku pelajaran sejarah yang sekarang dibaca anak-anak SD, SMP dan SMA tentang peristiwa itu sudah sangat berbeda dengan pelajaran sejarah tentang peristiwa itu yang dulu saya terima. Bisa jadi, sudah sangat berbeda. Dulu, dari SMP hingga perguruan tinggi seluruh rakyat Indonesia wajib mengikuti Penataran P4 yang merupakan indoktrinasi Pancasila yang selalu menekankan bahaya laten PKI. Tapi kini Penataran P4 tidak ada lagi bahkan pelajaran PMP dan mata kuliah Pancasila juga dihapuskan.
Sejarah Gelap
Setelah Orde Baru tumbang, debat tentang G-30-S/PKI seakan tidak pernah berhenti. Ia terus menjadi kontroversi. Tetapi ada kecenderungan, mereka yang semula meyakini PKI menjadi dalang Gerakan 30 September 1965 mulai mengendur atau sekurangnya mereka seperti cukup berkata dalam diam. Sementara suara yang menolak atau tak percaya keterlibatan PKI makin nyaring. Ada pihak yang menghendaki penyebutan G-30-S/PKI cukup dengan G-30-S saja tanpa singkatan PKI, karena ada gugatan keraguan bahwa PKI yang mendalangi gerakan tersebut. Ini patut diperdebatkan.
Negara juga cenderung bersikap pasif dan membiarkan keraguan ini terus menyeruak di tengah masyarakat. Kini selama reformasi misalnya, setiap 30 September tak ada lagi kewajiban mengibarkan bendera setengah tiang tanda perkabungan nasional. Para guru di sekolah juga tak lagi segairah dulu menjelaskan kejahatan dan kebiadaban PKI. Zaman memang telah berubah, juga pandangan-pandangan masyarakatnya tentang hal-hal yang dulu dianggap ‘luar biasa’. PKI kini memang tak lagi dianggap sebagai monster atau hantu menakutkan.
Dulu, hal-hal yang berkenaan dengan komunis diberangus bahkan buku yang ditulis oleh orang yang berhaluan ’kiri’ juga dilarang beredar. Buku-buku sastra karya Pramudya Ananta Toer dilarang hanya karena ia bekas pemimpin Lekra, salah satu onderbouw PKI. Kini, komunis sebagai ideologi yang dibicarakan biasa-biasa saja, bahkan buku-buku tentang ideologi komunis bebas beredar di masyarakat. Toh, dengan membaca buku-buku Karl Marx atau Friederich Engels misalnya, tak lantas membuat orang menjadi komunis.
Apa yang sebenarnya terjadi 45 tahun lalu, pada sebuah peristiwa yang disebut Gerakan 30 September atau G-30-S atau G-30-S/PKI oleh mereka yang yakin pelakunya Partai Komunis Indonesia? Peristiwa ini kadangkala juga disebut Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) karena secara kronologis peristiwa ini memang terjadi pada 1 Oktober dini hari. Pertanyaan itu hampir tidak pernah memperoleh jawaban yang lengkap. Bahkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) sebagai bagian dari rangkaian peristiwa yang terkait, juga masih diperdebatkan isi dan bentuknya, bahkan dokumen aslinya belum ditemukan hingga sekarang.
Hal ini menunjukkan bahwa sejarah bangsa Indonesia diwarnai babak-babak yang masih kelabu, bahkan gelap. Berbagai buku yang diterbitkan tidak cukup memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Buku-buku yang muncul, bukan saja berisi informasi yang berbeda, bahkan bertentangan. Masyarakat disodori buku-buku yang dikritik memiliki banyak kelemahan, menggunakan sumber-sumber yang tak teruji dan berbau kepentingan, serta hanya untuk mengecam dan melakukan pembelaan diri atas dosa di masa lalu.
Buku-buku, perbincangan, bahkan seminar ilmiah belum mampu menguak misteri peristiwa yang bersimbah darah yang dialami bangsa ini. Jangan dikira bahwa korban G-30-S adalah hanya para perwira yang kini disebut Pahlawan Revolusi. Tapi efek dari lanjutannya adalah ’pembersihan’ secara sistematis dan massal dari orang-orang yang diduga terlibat G-30-S. Sumber-sumber dari luar negeri menyebutkan angka korban jiwa mencapai 1,9 juta di seluruh Indonesia di tambah jutaan orang yang terampas kemerdekaan, hak politik, ekonomi sosial dan budayanya.
Kebesaran Jiwa
Kegelapan sejarah ini ternyata bukan saja dialami oleh mereka yang lahir setelah tahun 1965, tetapi juga mereka yang sudah lahir beberapa tahun sebelumnya. Dan sekarang, guru-guru sekolah dibiarkan memilih sumber sendiri untuk menjelaskan semua itu kepada murid-muridnya. Kita tidak tahu apa yang ada di pikiran anak-anak kita tentang peristiwa yang begitu besar dan mewarnai perjalanan bangsa.
Dalam keadaan seperti ini, maka setiap orang bisa menulis sejarah itu dalam memorinya sendiri, dengan persepsi dan versinya sendiri. Sebagai bangsa kita tidak memiliki sejarah yang sama, karena banyak sekali peristiwa yang tidak kita pahami dan terima secara bersama. Ini adalah titik rapuh yang serius bagi bangsa kita, karena kebangsaan kita sebenarnya dibangun dengan pengalaman sejarah yang sama dan hanya akan bisa dipertahankan dengan kebersamaan dalam ’menulis’ sejarah yang sama pula.
Keprihatinan dan kepedulian tentang masalah ini tampaknya juga belum mampu menggerakkan kita untuk mengatasi masalah ini. Elite-elite kita yang berada pada pusaran sejarah peristiwa-peristiwa tersebut masih begitu berat untuk bicara jujur dan meletakkan pelita untuk menerangi babak-babak sejarah itu. Pertimbangan melindungi diri terlihat begitu kuat daripada kepentingan bangsa, dan membiarkan bangsa ini tidak pernah berdamai dengan masa lalunya.
Sementara buku-buku yang muncul dengan informasi yang simpang siur dan bertabrakan, justru membuat masalah masa lalu itu terus hidup dan terus menghantui sampai sekarang. Dan sejarah yang gelap tidak memberikan pelajaran apa-apa bagi kita sekarang, kecuali menjadi beban. Kita khawatir bahwa keadaan yang seperti ini akan semakin parah dan kita sebagai bangsa kehilangan orientasi tentang jati diri, bangsa tanpa sejarah.
Sejarah memang tidak sepenuhnya berupa kegemilangan yang dicatat dengan tinta emas. Sejarah tidak selamanya berisi kejayaan yang diabadikan dalam prasasti atau monumen peringatan. Memang diperlukan kebesaran jiwa untuk mencatat sejarah secara jujur dan objektif, juga kesediaan mencatat kepahitan dan sisi buruk kita sebagai bangsa, agar kita dapat mengambil hikmah dari peristiwa masa lampau. Sejarah dapat dijadikan acuan dalam memperbaiki kondisi di masa depan.
Penguakan misteri G-30-S/PKI bukan untuk meneruskan dendam, tetapi justru agar kita bisa belajar dari masa silam. Belajar dari kesalahan masa silam juga bisa meningkatkan kualitas kita sebagai bangsa. Sejarah di mana pun memang sering melahirkan perdebatan tiada henti. Ia bisa menjadi amat subjektif tergantung dari mana melihatnya. Karena itu, sering pula batas antara pahlawan dan pengkhianat hanya terpisah oleh batas yang amat tipis, yakni pergantian rezim atau politik. Tetapi apa pun alasannya, sebuah bangsa mestinya mempunyai sejarah yang ditulis dengan jujur.
Dan sekarang ini bangsa Indonesia memerlukan kebesaran jiwa untuk meluruskan sejarah masa lalu yang masih gelap, termasuk peristiwa 45 tahun lalu dan peristiwa-peristiwa penting kemudian. Dalam konteks ini kita perlu mendorong Sekretariat Negara, Kementerian Pendidikan Nasional, ahli sejarah, akademisi di perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk bersinergi menulis ulang bagian-bagian gelap sejarah kita secara objektif, jujur dan bisa dipertanggungjawabkan agar generasi mendatang tidak larut dalam keraguan.***