Politik “Injury
Time”
Oleh :
Fadil Abidin
Dimuat
dalam OPINI Harian Analisa Medan, 24 Mei 2014
Mungkin
para pejabat atau politisi kita suka menunda-nunda pekerjaan. Sehingga nasihat
para orang bijak, “Kerjakan apa yang bisa dilakukan hari ini, jangan tunda
sampai esok” dipelesetkan menjadi anekdot “Kalau semua dikerjakan hari ini,
esok mau kerja apa?”
Mungkin
juga para pejabat atau politisi tersebut terbawa masa-masa romantisme (atau
kemalasan?) dahulu ketika masih duduk di bangku SLTA atau pada waktu kuliah.
Mereka berprinsip menggunakan SKS, bukan Sistem Kredit Semester, tapi lagi-lagi
dipelesetkan menjadi ‘sistem kebut semalaman’. Tiap hari berleha-leha, santai,
nongkrong di sana, kumpul-kumpul di sini sehingga tidak pernah membaca atau
belajar. Nah, begitu masa ujian tiba, baru sibuk belajar sampai larut malam
hingga dini hari.
Suka
menunda dengan berbagai alasan masih sibuk, belum sempat, nanti, esok, lusa,
kapan-kapan, dan sebagainya. Suka berubah-ubah ketika ditanya kapan waktunya
tanpa menegaskan kapan tepatnya, adalah sebuah karakter yang membuat bangsa ini
dikenal (maaf) sebagai bangsa “jam karet”. Konon kalau orang Indonesia berjanji
akan datang jam 09.00, maka niscaya ia akan datang jam 09.30 atau bahkan jam
10.00.
Jadi,
alangkah malangnya bangsa ini jika para pejabat atau politisi bersikap seperti
itu. Ketika berkampanye dan ditanya,”Kapan negara ini akan sejahtera?”
Jawabannya terdengar klise,”Nanti atau esok.” Kalau era Orde Baru rakyat
Indonesia dijanjikan akan sejahtera setelah lima Pelita (Pembangunan Lima
Tahun), yang berarti 25 tahun, dan setelah itu bangsa Indonesia ini akan lepas
landas. Tidak disebutkan setelah lepas landas apakah akan tetap terbang atau
mendarat lagi di landasan. Tapi yang terjadi adalah justru kita jatuh,
terjerembab, dan hancur di landasan.
Ketika
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) akan digelar, tiga bulan atau bahkan
dua bulan sebelumnya rakyat tidak tahu siapa-siapa saja calonnya. Begitu, batas
akhir pendaftaran calon kepala daerah, maka berbondong-bondonglah partai atau
gabungan partai mendaftarkan calonnya. Sehingga ada istilah pasangan calon
kepala daerah “kawin paksa” atau “mendadak calon kepala daerah”. Semuanya
terjadi karena serba mendadak, dilaksanakan menjelang detik-detik akhir (injury
time) batas waktu pendaftaran. Rakyat pun tidak tahu pasti apa prestasi,
kapabilitas, atau rekam jejak dari para calon.
Jadi
politik injury time adalah kebijakan yang diambil menjelang akhir-akhir batas
waktu yang telah ditetapkan. Jika dipraktikkan oleh perpol maka kebijakan ini
menjadi “wait and see” untuk mencari keuntungan, tidak mau mengambil risiko,
tidak percaya diri, dan ragu-ragu dalam memutuskan suatu perkara yang penting.
Tahapan Pemilu
Dalam
tahapan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) ternyata berlaku sama. Penetapan partai
politik peserta pemilu, yang kemudian digugat oleh dua parpol sehingga bisa
ikut pemilu. Penetapan DPT (Daftar Pemilih Tetap), pengajuan nama-nama DCS
(Daftar Calon Anggote Legislatis Sementara) hingga Daftar Calon Tetap (DCT),
dan seterusnya semuanya ditetapkan pada waktu injury time (detik-detik akhir).
Demikian
juga ketika kampanye, pada detik-detik akhir batas waktu kampanye, baik parpol
maupun caleg jor-joran menghamburkan uang. Iklan parpol makin gencar, baik di
media cetak maupun elektronik. Para caleg tidak ketinggalan membagi-bagikan uang,
sembako, memberikan bantuan barang, hingga melakukan ‘serangan fajar’.
Tapi
ironisnya, ketika diwajibkan melaporkan dana kampanye, parpol maupun caleg baru
melaporkan dana kampanye pada detik-detik terakhir. Itu pun dengan terpaksa
karena ada sanksi pembatalan keikutsertaan dalam pemilu. Laporan yang dibuat
pun terkadang tidak masuk akal, tidak transparan, tidak rinci dari mana dana
didapat dan ke mana dana dihabiskan.
Penghitungan
suara di TPS yang dilakukan oleh KPPS juga kebanyakan selesai pada masa injury
time. Pileg dengan peserta multi-partai yang menggunakan sistem proporsional
daftar terbuka, dan suara terbanyak membuat KPPS kelabakan. Tidak sedikit KPPS
yang menyelesaikan penghitungan suara pada tengah malam bahkan dini hari.
Rekapitulasi
penghitungan suara di PPS, PPK, terus ke KPU Kabupaten/Kota, hingga KPU
Provinsi juga diselesaikan pada waktu injury time. Dalam benak mereka, yang
penting selesai tidak melampaui batas akhir sehingga terhindar dari sanksi.
Akibatnya, ketidakberesan di tingkat PPS dilempar ke PPK, ketimpangan di
tingkat PPK dilempar lagi ke KPU Kabupaten/Kota, dan akhirnya ketidakpuasan,
kecurangan, dan kejanggalan di tingkat KPU Kabupaten/Kota dilempar lagi ke
tingkat KPU Provinsi.
Akibatnya,
ketika rekapitulasi penghitungan suara tingkat nasional, KPU Pusat harus
menerapkan ‘sistem kebut semalaman’. Para komisioner KPU Pusat harus ‘lembur’
membenahi ketidakberesan kinerja para penyelenggara pemilu di bawahnya.
Wajah-wajah loyo, lelah, dan tegang jelas terpancar. Para komisioner KPU harus
bekerja di bawah bayang-bayang ancaman pidana pemilu jika tidak mampu
menyelesaikan tengat waktu 9 Mei 2014 atau 30 hari sesudah pelaksanaan Pileg.
Wacana dikeluarkannya Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) pun sempat
dilontarkan agar batas waktu rekapitulasi penghitungan suara dapat
diperpanjang.
Tapi
akhirnya, di menit-menit akhir, KPU Pusat berhasil juga menetapkan hasil pemilu
tingkat nasional dengan sejumlah catatan, keberatan, dan gugatan. Dugaan ketidakberesan,
kejanggalan, dan kecurangan ini pun dilemparkan lagi ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Kali ini bukan KPU yang harus melakukan, tapi parpol peserta pemilu dan
calon anggota DPD (Dewan Perwakilam Daerah) yang dipersilahkan menggugat.
Lagi-lagi
terjadi injury time, Pengajuan Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) ke MK oleh
parpol dan calon anggota DPD juga menunggu detik-detik hari terakhir. Hari
pertama, sunyi tidak ada yang mendaftar, tapi begitu memasuki hari akhir, maka
berbondong-bondonglah yang mendaftarkan gugatannya.
Mendadak Capres dan Cawapres
Dua
bulan menjelang Pilpres (Pemilu Presiden) 9 Juli 2014 bangsa Indonesia belum
tahu siapa calon presiden dan calon wakil presiden. Dari era reformasi hingga
sekarang pasangan capres dan cawapres sering muncul mendadak. Maklum saja,
penetapan pasangan capres dan cawapres yang diajukan parpol maupun gabungan
parpol selalu diwarnai dengan lobi-lobi, negosiasi, kompromi, dan transaksi
sebelum mencapai kata sepakat untuk koalisi. Siapa mendapat apa, mendapat jatah
kursi menteri berapa, dan dapat proyek APBN berapa. Itu semua merupakan bagian
dari koalisi.
Koalisi
dengan bagi-bagi jabatan menteri seperti 10 tahun pemerintahan SBY, coba
dilawan dengan wacana baru bertajuk “koalisi tanpa syarat” oleh Capres Joko Widodo.
Wacana koalisi tanpa syarat justru mendapat cibiran dari para politisi itu
sendiri. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, menyebut koalisi
tanpa bagi-bagi kursi adalah omong kosong (Kompas.com, 19/04/2014). Jadi kita tunggu saja pembuktian dan praktik
koalisi tanpa syarat ala Jokowi.
Tapi yang pasti para pejabat dan politisi di negeri ini
senang menunda-nunda hingga detik-detik terakhir. Tidak seperti yang terjadi di
negara-negara lain di dunia, di mana calon presiden dan wakilnya telah
dipersiapkan jauh-jauh hari bahkan setahun sebelum pemilu. Hal ini bertujuan
agar rakyat dapat mempelajari rekam jejak capres dan cawapres dengan detail, mendalami
visi dan misi, prestasi, serta kapabilitasnya.
Waktu yang panjang
memberikan kesempatan kepada rakyat untuk “membaca” keseharian dan perilaku
sang kadidat. Waktu yang panjang dapat memberikan peluang agar rakyat berpikir
matang sebelum menjatuhkan pilihannya sehingga pilihannya benar-benar rasional,
bukan karena faktor emosional atau euforia sesaat semata. Jadi, masihkah kita
akan terus-menerus terjebak dalam politik injury time?