Kontradiksi dalam Memaknai Ramadhan


Kontradiksi dalam Memaknai Ramadhan
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 1 Agustus 2011

Bulan Ramadhan tiba, ditandai dengan kenaikan harga-harga, semua orang resah. Bulan Ramadhan seharusnya disambut dengan penuh kegembiraan telah bergeser menjadi bulan kecemasan karena kenaikan harga. Hasil riset Retail Measurement Services Nielsen menyebutkan bahwa tingkat konsumsi atau belanja barang masyarakat merangkak naik setiap bulan puasa dengan rata-rata kenaikan mencapai 16 persen per tahun.

Ini tentu aneh, karena selama bulan Ramadhan masyarakat seharusnya mengurangi pola konsumsi karena aktivitas puasa di siang hari. Sehingga dengan adanya aktivitas tersebut, secara logika tingkat konsumsi dan belanja barang, terutama bahan makanan harusnya menjadi turun. Jika ada yang berdalih bahwa bahan makanan “ditumpuk” untuk berbuka puasa dan sahur, ini juga kontradiksi.
QS Al A’raf : 31 mengajarkan umat Islam untuk tidak berlebihan saat makan, apalagi di bulan Ramadhan. Melihat kontradiksi ini pula, saya sepakat dengan Prof. Didik J Rachbini yang menulis artikel “Paradoks Ramadhan, Antara Praktik Fikih dan Ekonomi”, yang mengkritik kebiasaan masyarakat yang justru cenderung lebih konsumtif selama Ramadhan dan Idul Fitri.
Menurut Prof. Didik, ada pertanyaan, mengapa pada Ramadhan konsumsi justru naik? Padahal, pada siang hari selama bulan itu, umat Islam harus menahan diri dari (di antaranya) makan dan minum. Artinya, frekuensi dan jumlah makanan yang dikonsumsi semestinya berkurang. Tetapi, dalam kenyataan terjadi sebaliknya. Konsumsi justru meningkat. Peningkatan konsumsi lebih banyak lagi menjelang dan beberapa hari sesudah Idul Fitri.
Dengan tingkat konsumsi yang meningkat itu, hukum ekonomi berjalan, harga-harga kebutuhan pokok merangkak naik. Itu dikeluhkan ibu-ibu yang berbelanja di pasar (dan keluhan semua orang juga). Mengapa kejadian tersebut selalu berulang setiap tahun tanpa ada pencegahan awal yang sigap dari pemerintah.
Kontradiksi muncul akibat adanya peningkatan konsumsi kolektif di tengah masyarakat, mulai dari buka puasa bersama, sahur bersama, atau ritual sosial lainnya yang pada akhirnya mendorong peningkatan konsumsi. Kemudian muncul pula pola konsumsi yang lain dari hari biasanya, kolak, sirup, kue, aneka panganan, aneka minuman, buah dan sebagainya.   
Hal ini jelas mendongkrak inflasi yang pada akhirnya mengerek harga barang menjadi tinggi. Maka Ramadhan pun, menjadi bulan pemicu kenaikan harga akibat tradisi ini. Sebenarnya bukan cuma peningkatan konsumsi bahan makanan, tetapi juga peningkatan konsumsi barang dan jasa lainnya, misalnya bahan sandang, pecah belah, barang elektronik, listrik, biaya pulsa telepon, bahan bakar minyak (BBM) dan gas.
Distorsi Makna
Maka dengan pola yang seperti ini, Ramadhan pun menjadi terdistorsi maknanya. Puasa seyogyanya dimaknai sebagai upaya untuk menahan aneka keinginan pada diri, baik nafsu positif seperti makan, minum, dan bersebadan dengan istri maupun nafsu negatif lainnya, termasuk diantaranya berlebihan dalam mengkonsumsi sesuatu. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa berlebihan-lebihan akan menyeret kita pada kemubaziran, dan hal tersebut akan menjadikan kita berkawan dengan syaitan.
Bentuk-bentuk “berlebihan” tersebut misalnya adalah munculnya menu-menu yang tidak wajar, atau jumlah makanan yang “di luar normal” hingga pada akhirnya banyak yang terbuang dan mubazir. Benar ini mungkin bagian dari respek kita terhadap bulan suci, tapi rasanya tidak bermakna jika dilakukan dengan cara seperti ini.
Di sisi lain, masih ada sebagian dari kita yang mengkalkulasikan kebutuhan terhadap makanan secara tidak logis. Dengan alasan selama puasa kita tidak mengkonsumsi apapun sejak pagi hingga petang, maka diasumsikan kebutuhan akan makanan dan minuman akan meningkat berlipat-lipat saat berbuka sehingga diperlukan persediaan makanan yang berlipat pula.
Padahal hukum keseimbangan metabolisme tubuh kita tidaklah demikian adanya. Kapasitas tubuh mengkonsumsi bahan makanan tetaplah normal seperti biasanya. Gen dan hormon bekerja secara kooperatif menjalankan fungsi sel agar tetap survive tanpa suplai makanan selama siang hari. Sementara energi bisa terus diambil dari deposit makanan yang kita pasok selama sahur atau cadangan lemak dalam tubuh. Tidak ada masalah dengan itu. Asupan makanan saat berbuka adalah energi baru supaya sel-sel terus survive dalam akivitas malam, bukan bentuk “kompensasi” dari aktivitas puasa di siang hari. Dan kapasitas tubuh untuk menerima asupan makanan tetap dalam kapasitas normal, bukan berlipat seperti dikalkulasikan sebagian pihak.
Shaum atau berpuasa di bulan Ramadhan, salah satu hikmahnya adalah supaya kita dapat menumbuhkan empati terhadap penderitaan orang lain yang miskin dan kelaparan dengan cara "menahan hawa nafsu" makan, minum, dan seksual. Khusus untuk makan dan minum, kita bisa melihat, bahwa sebagian besar umat Islam sama sekali belum mampu menahan hawa nafsunya.
Hal ini dibuktikan dengan semakin tingginya biaya belanja di bulan Ramadhan. Menu-menu yang pada hari biasa tidak tersedia, sekarang tersedia dan justru menambah biaya. Efeknya adalah melambungnya harga-harga bahan makanan karena tingginya permintaan. Hal ini mengakibatkan salah satu hikmah puasa menguap begitu saja. Seharusnya, menu makanan dan minuman saat berbuka puasa dan sahur tidaklah berbeda dengan sehari-hari, atau bahkan kurang daripada itu.
Kalau kita berpuasa dengan benar, mengikuti petunjuk Rasulullah, seharusnya harga bahan kebutuhan pokok ini turun, karena logikanya, permitaan akan kebutuhan bahan pokok seiring dengan pelaksanaan puasa seharusnya juga berkurang. Permintaan kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako), dengan berkurangnya frekuensi makan kita, dari tiga kali sehari pada hari biasa, menjadi hanya dua kali sehari (berbuka dan sahur) pada waktu bulan puasa, seharusnya juga menurun.
Lapar dan Dahaga
Setiap bulan Ramadhan tiba selalau ada kontradiksi atau paradoks yang tampaknya telah menjadi tradisi. Pada waktu siang hari kita berpuasa, kita tahan lapar, haus dan berhubungan biologis dengan istri. Namun, malam hari, pada saat diperbolehkan untuk itu, kita seperti balas dendam. Jangankan waktu berbuka, pagi atau siang hari kita sudah mulai sibuk, mempersiapkan kira-kira mau buka dengan apa nanti sore. Segala macam makanan dan minuman sudah terbayang siang harinya. Sore harinya dapur kita lebih sibuk dari biasanya, kalau tidak memasak, atau bahkan sudah memasak sekalipun, kita sering merasa belum cukup, yang dijual di pasar lebih menarik. Maka tidak heran pasar kaget pun menjamur, khusus menjual makanan untuk berbuka tumbuh di mana-mana.
Puasa yang diharapkan dapat membantu implikasi konsekuensi sikap untuk mampu sabar, hemat, bersahaja, dan mengendalikan diri terhadap sikap duniawi. Tetapi umat Islam malah justru terjebak dalam sikap konsumtif dan seolah puasa hanya dijadikan untuk mengubah jadwal makan bahkan konsumsinya melebihi dari sehari-hari.
Sikap lain yang juga menjadi kontradiksi dalam memaknai Ramadhan adalah turunnya produktivitas umat selama puasa. Kantor-kantor pemerintahan biasanya “agak lesu” sehingga kualitas pelayanan publik menurun, sementara dari kita banyak yang datang terlambat datang kerja, agak bermalas-malasan setelah shalat Zuhur atau Ashar, dan wajah kita tampak “cemberut” dari hari biasanya.
Padahal seharusnya Ramadhan bisa digunakan untuk mendorong kita agar bisa giat seperti halnya yang dicontohkan oleh Rasulullah, yakni melaksanakan perang Badar meski dalam kondisi puasa. Tetapi umat Islam malah justru menjadikan puasa sebagai alasan untuk malas beraktivitas.
Puasa juga seharusnya membuat wajah kita lebih mudah tersenyum, bukan bertambah kecut atau cemberut. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, bahwa tersenyum adalah salah satu bentuk sedekah. Dan ketika hal itu dilakukan pada bulan Ramadhan maka pahalanya akan dikalikan 70 kali lipat.
Kontradiksi dalam bulan Ramadhan ini hendaknya bisa dikikis dan menjadikan bulan ini sebagai bulan reformasi perubahan diri pada umat. Sebab kalau sampai kontradiksi macam ini terus-menerus dilestarikan bahkan menjadi semacam tradisi atau budaya, maka Ramadhan hanya akan berlalu tanpa makna apapun.
 Proses yang seharusnya kita lalui adalah menjadikan Ramadhan sebagai jalan menuju puncak keimanan dan ketakwaan kita pada Allah SWT, serta diimplementasikan dalam bentuk kemampuan untuk mengendalikan diri dalam kehidupan sehari-hari, tidak akan tercapai jika perilaku seperti ini terus dipertahankan.  Karenanya, tidak heran bila Rasulullah dengan lugas bersabda,“Banyak orang berpuasa tetapi tidak diperoleh pahala dari puasanya melainkan hanya  lapar dan dahaga”.