Renungan di Hari Pendidikan Nasional


Renungan di Hari Pendidikan Nasional
Education Must Shift into The Future
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 2 Mei 2009

            Sejarah mencatat di sebuah aula Universitas Canada. Salah satu acara wisuda adalah  pemberian penghargaan kepada lulusan terbaik dengan nilai tertinggi (summa cum laude). Tiba-tiba aula bergemuruh, sesuatu yang luar biasa terjadi. Ketika Rektor hendak menjabat tangan mahasiswa terbaik itu, dia malah merobek ijazahnya di hadapan guru besarnya.

            “Mengapa kamu robek ijazah itu?” tanya sang guru besar. Mahasiswa itu menjawab, ”Tuan-tuan hanya mengisi otak kami dengan ilmu, tetapi tidak memberikan cinta.”
          Kisah tragis juga terjadi pada salah seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di sebuah universitas ternama di Singapura. Dia menikam profesor dosen pembimbingnya lalu bunuh diri dengan melompat dari lantai V gedung universitas itu. Di Jerman tak lama berselang, seorang mahasiswa menembak puluhan mahasiwa lainnya dan beberapa dosen, mahasiswa itu lalu bunuh diri. Di Amerika lebih mengerikan lagi, seringkali sekolah menjadi ajang pembantaian yang dilakukan oleh siswa yang stres. Puluhan nyawa telah melayang sia-sia di sekolah.
          Di Indonesia kekerasan di dunia pendidikan (sekolah) juga kerap terjadi dan terekam lalu disebarkan melalui kamera ponsel. Tawuran antar siswa, kekerasan, penganiayaan, perkelahian bahkan dilakukan oleh siswi-siswi perempuan. Siswa dan siswi pun tersekat-sekat menjadi ke-lompok-kelompok atau geng yang destruktif. Sungguh memprihatinkan.
          Dalam pandangan pujangga India, Rabindranath Tagore, sekolah itu tidak memberikan harapan apa-apa, bahkan dia menyebut masa sekolah sebagai “siksaan yang tak tertahankan” dan cenderung membuat anak-anak manusia menjadi frustrasi dan stres. Cinta, motivasi dan suasana kebatinan yang berorientasi pada perubahan masa depan lebih baik telah hilang di sekolah-sekolah.
          Kisah muram juga menimpa Thomas Alfa Edison, sang ilmuwan tersohor dengan berbagai penemuan dan lebih 100 hak paten teknologi, yang mengejutkan ia justru bukan berasal dari bilik sekolah. Edison kecil hanya mencicipi bangku sekolah beberapa bulan saja karena para gurunya menganggap ia siswa yang bebal dan tak layak berada di sebuah institusi agung yang bernama sekolah.
          Bagi Edison, sekolah bukanlah segala-galanya. Sekolah bukanlah satu-satunya tempat un-tuk memperoleh ilmu. Ia keluar dari sekolah dengan sebongkah harapan dan kepastian. Dia be-lajar di sekolah kehidupan yang mengajarkan tentang keuletan, disiplin, kegetiran hidup dan ke-jujuran dengan bimbingan ibunya, sang “guru agung”. Ibunya membekali Edison dengan sayap kebebasan untuk terbang mengarungi alam lepas mengeskplorasi berbagai hal, melintasi sekat-sekat yang diciptakan sekolah. Untuk membantu ibunya yang miskin, Edison kecil tiap hari ber-jualan koran di stasiun kereta api. Tapi itu tak menghalanginya belajar secara otodidak. Kini siapa yang tak mengenal Thomas Alfa Edison? Namanya mungkin akan dikenang oleh manusia selama ratusan tahun kemudian.
          Di Indonesia kita mengenal Andrie Wongso, seorang pengusaha sukses, penulis buku-buku best sellers dan motivator nomor satu Indonesia. Dia mempunyai gelar yang aneh dan satu-satunya di dunia yaitu S.D.T.T, T.B.S.S.I. Gelar tersebut singkatan dari Sekolah Dasar Tidak Tamat, Tapi Bisa Sukses Sampai Saat Ini. Dia mendapatkan gelar itu dari “Universitas Kehidupan”. Karena kemiskinan yang membelenggu, Andrie Wongso tidak bisa meneruskan sekolah sehingga SD pun tidak tamat. Tapi dia tidak berhenti belajar dari sekolah kehidupan. Kini jika ia berbicara dan memberikan kuliah tentang motivasi, para profesor atau tamatan S3 pun akan kalah dibuatnya. Kata-kata saktinya yang kerap dikutip adalah “Succes is my right” dan teriakan “Luar Biasa!” yang mampu menggugah semangat para audiensnya.

          Orientasi masa depan
          Dari ilustrasi di atas, ternyata sekolah atau tingkat pendidikan tidak serta merta dan mutlak bisa menentukan kesuksesan seseorang di masa depan. Namun sekolah bagaimanapun ia dipan-dang, masih sangat diperlukan sebagai institusi resmi tempat pendidikan dan pembelajaran. Namun pesoalannya, sekolah macam apa yang dibutuhkan saat ini? Apakah sekolah sebagai institusi pendidikan atau sekadar tempat memproduksi ijazah?
          Sebagai remaja yang pernah atau sedang duduk dibangku akhir SLTA, kita kerap meng-anggap sekolah hanya sebagai produsen ijazah. Mengapa? Untuk menghadapi Ujian Nasional (UN) atau seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) kita lebih mempercayakan Bimbingan Test/Bimbingan Studi (BT/BS). Bukankah ini sebuah indikasi bahwa sekolah tidak bisa dian-dalkan? Bukankah kita lebih baik ‘bersekolah’ saja di BT/BS ketimbang di sekolah? Kita tetap memilih bersekolah di sekolah hanya karena sekolah mengeluarkan ijazah yang diakui legalitas-nya secara formal di seluruh Indonesia. Sedangkan BT/BS tidak mengeluarkan secarik ijazah pun. Bagi lembaga BT/BS jika anak didiknya banyak yang lulus sekolah dengan nilai tinggi dan diterima PTN favorit merupakan sebuah kebanggaan sendiri. Tak jarang BT/BS memuat iklan klaim keberhasilan para anak didiknya di koran-koran lengkap dengan nama, foto dan PTN yang berhasil dimasuki. Para siswa sekarang tampaknya nggak pe-de menghadapi UN maupun SPMB tanpa memasuki BT/BS.
          Kondisi delegitimasi sekolah formal sesungguhnya juga akibat dari kebijakan pemerintah yang memaksakan UN sebagai satu-satunya tolok ukur kelulusan siswa. UN saat ini dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan dan menakutkan bagi para siswa.Padahal UN hanya menguji-kan 4-5 mata pelajaran. Keberhasilan guru hanya diukur berdasarkan kemampuannya dalam mentransfer pengetahuan yang dimilikinya kepada siswa dalam menjawab soal-soal UN. Bukan-kah dalam hal ini sekolah tidak jauh beda dengan BT/BS?     
          Bertahun-tahun sekolah kita terpasung dalam ruang hafalan-hafalan teori dan rumus, tidak membumi, tidak ada upaya serius untuk membawa para siswa mampu menerjemahkan berbagai ranah keilmuan yang diperoleh ke dalam realitas sosial. Ilmu yang dituntut siswa setiap hari di sekolah tak mampu menjadi pemecah masalah (problem solver) dalam kehidupan nyata sehari-hari.Dalam kondisi demikian, bagaimana mungkin sekolah mampu melahirkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, kreatif dan responsif? Tujuan akhir pendidikan di sekolah kita secara kasat mata sepertinya tidak lebih dari sekadar perolehan angka-angka kelulusan yang tertulis di atas selembar ijazah.
          “School never teach us how to think. They only teach us what to think,” sindir Bill Gould dalam sebuah tesisnya. Padahal menurut Alvin Toffler, sekolah (baca : pendidikan) harus ber-orientasi pada perubahan masa depan. Education must shift into the future. ***