Menyambut HKSN


Redefinisi Konsep dan Problem Kesetiakawanan Sosial
Oleh : Fadil Abidin
Dimuat di Harian Analisa Medan, 19 Desember 2008

            Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) diabadikan dari peristiwa sejarah pada 20 Desember 1948 ketika terjalin kemanunggalan TNI dan rakyat tepat sehari setelah agresi militer II Belanda yang menyerang ibukota Yogyakarta.Dua kekuatan milik bangsa yaitu TNI dan rak-yat,bahu-membahu dalam perjuangan bersenjata untuk mengenyahkan penjajah.Kesetiakawanan yang tulus dilandasi rasa tanggung jawab yang tinggi kepada Tanah Air menumbuhkan solidari-tas bangsa yang sangat kuat untuk membebaskan Tanah Air dari cengkeraman agresor.

            Kilas sejarah yang melatarbelakangi peringatan HKSN membuktikan ide awal kesetiaka-wanan sosial bermula dari solidaritas kerakyatan dan kebangsaan yang dimiliki seluruh lapisan rakyat.Dalam berbagai peristiwa budaya masyarakat Indonesia yang berasaskan kepada sema-ngat kekeluargaan,kebersamaan dan gotong royong,kesetiakawanan sosial memunculkan priba-hasa "ringan sama dijinjing,berat sama dipikul".Rakyat dengan kesadarannya sendiri sebenarnya telah memulai perilaku kebersamaan,kepedulian dan membangun kesetiakawanan dengan upaya yang dilakukannya tanpa perlu disemangati oleh slogan-slogan dari pemerintah.Dan kesadaran tersebut bisa menjadi modal besar bagi bangsa ini.
Sesungguhnya kesetiakawanan sosial lahir bukan karena persoalan belas kasih (meneri-ma),tetapi sebaliknya lahir dari semangat dan upaya membangun kepedulian bukan hanya dari satu pihak saja melainkan sinergisitas antara seluruh komponen yang ada.Namun,semangat kese-tiakawanan sosial yang dimiliki bangsa ini justru tereduksi oleh apa yang sering disebut dengan batas kewenangan dan pergeseran konsep pemahaman.
Konsepsi kesetiakawanan sosial yang saat ini dipahami masyarakat (bahkan juga peme-rintah) adalah HKSN merupakan hari di mana pemerintah akan bagi-bagi bantuan,karena me-mang selama ini begitulah keadaannya.HKSN diibaratkan sebagai hari kebijakan untuk memberi bantuan yang dibagikan kepada masyarakat penyandang "masalah kesejahteraan sosial".Jika konsepsi ini kita kaitkan dengan sejarah munculnya HKSN,bisa dibilang konsepsi ini salah kap-rah.Dengan demikian kita bukan membangun semangat pemberdayaan,tetapi hanya memupuk dan mempertontonkan belas kasih dan sikap pasrah terhadap keadaan.
Redefinisi konsep dan pemahaman
Dalam upaya mengubah konsepsi dan pemahaman yang sempit terhadap gejala yang muncul dalam konteks kesetiakawanan sosial.Departemen Sosial (Depsos) sebagai garda terde-pan dalam pemecahan masalah sosial,dihadapkan pada  tantangan besar bagaimana agar tidak di-konotasikan sebagi departemen  yang "bermain" terhadap penyandang "masalah kesejahteraan sosial",tetapi menjadi organisasi yang mampu menjalankan misi kelembagaan yang sesungguh-nya dengan sebaik-baiknya.
Menilik sejarah pada 1955 saat pertama Depsos didirikan,misi dan tugas pokoknya fokus kepada pemberian makanan untuk kaum miskin.Pada 1980 dan 1990-an,Depsos berkembang un-tuk juga ikut menangani efek-efek negatif pembangunan,karena pembangunan cenderung con-dong kepada ekonomi tapi melupakan ekses sosial.Menjelang pertengahan tahun 1990-an, Dep-sos praktis tidak banyak bekerja karena sebagian besar pekerjaannya sudah dilakukan secara mandiri oleh masyarakat,baik melalui kegiatan swadaya,LSM,maupun kegiatan sosial perusaha-an-perusahaan.Karena kesejahteraan rata-rata masyarakat sudah meningkat dibanding sebelum-nya dengan pendapatan di atas 1.000 dolar AS.Indonesia menjadi negara berpendapatan mene-ngah,dari negara miskin (1945-1970)  menjadi negara berkembang (1970-1990).
Tahun 1997,Indonesia dihantam krisis moneter yang membawa negeri ini menuju keter-purukan di semua lini kehidupan.Tugas Depsos saat itu menangani orang miskin,melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial (JPS),program padat karya hingga menyiapkan makanan gratis bagi orang yang tidak mampu.Banyaknya tugas yang harus dilakukan Depsos pada masa krisis tersebut sehingga Depsos kewalahan dan dapat tidak tahu lagi apa yang harus dikerjakan,ditam-bah kondisi keuangan negara yang menipis.Ironisnya pada tahun 1999,Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan departemen ini.Sebuah langkah yang dapat dipertanggungjawabkan secara politik,tetapi dalam konteks pembangunan sosial,kenyataan tersebut sulit diterima.
Agar relevan seiring perkembangan zaman,peringatan HKSN seharusnya tidak hanya menjadi kegiatan seremonial berbelas kasih  atau memberi bantuan belaka.Melainkan upaya un-tuk membangun kembali semangat kesetiakawanan,kebersamaan,semangat perubahan dan sema-ngat untuk fokus pada upaya pemberdayaan.
Konsepsi pemberdayaan tersebut mengarah kepada pergeseran paradigma seperti: (i) pembangunan harus menempatkan manusia sebagai objek pembangunan; (ii) hasil pembangunan selayaknya dinikmati seluruh lapisan masyarakat; (iii) pembangunan harus bisa  mengaktuali-sasikan potensi dan budaya lokal; (iv) pelayanan sosial dasar disediakan untuk semua warga negara; (v) pemberdayaan (bukan santunan) penyandang masalah kesejahteraan sosial menjadi komitmen bersama antara pemerintah pusat dengan daerah,antara pemerintah dan dunia usaha, LSM dan lintas sektor, dan; (vi) pendekatan pemberdayaan penyandang masalah kesejahteraan sosial dilakukan secara individual, keluarga, kelompok, dan komunitas secara terpadu.
            Problem kesetiakawanan
            Dari sejarahnya,kesetiakawanan sosial sesungguhnya adalah solidaritas;tenggang rasa yang sanggup merasakan dan ditunjukkan dalam bentuk toleransi kepada orang lain;serta berse-dia mengulurkan tangan bagi orang lain.Orang yang memiliki kesetiakawanan akan ditunjukkan dengan sikap rela berkorban bagi kemaslahatan yang lain,berdiri di atas kepentingan bersama, dan mau mengakui serta menerima keberadaan yang lain.
Namun,kini kita menyaksikan sejumlah fakta yang paradoks dan cenderung mengarah pada semakin menurunnya nilai-nilai kesetiakawanan sosial.Betapa tidak,nilai kesetiakawanan justru seringkali muncul pada kasus-kasus seperti korupsi dan kejahatan.Seringkali kita disuguh-kan oleh pemberitaan menyangkut aksi korupsi yang dilakukan secara berjamaah.Dalam konteks ini memang kesetiakawanan sosial lebih bermakna solidaritas pada sesuatu yang merugikan bagi yang lain.Setia kawan untuk melakukan kejahatan!
Saat ini pun kita seringkali menyaksikan fakta sosial yang cenderung menyurutkan nilai kesetiakawanan sosial.Eskalasi konflik antar suku dan kelompok masyarakat di beberapa daerah yang meningkat akhir-akhir ini menjadi tampilan wajah suram bangsa ini.
Masalah sosial lain yang sering dihadapi masyarakat Indonesia seperti kemiskinan,men-jadi penyebab bagi erosinya nilai kesetiakawanan sosial.Kemiskinan yang semakin menggurita dan tak kunjung usai penyelesaiannya menjadikan penyebab bagi memudarnya kepercayaan sosial masyarakat kepada pemerintah.Disparitas miskin-kaya,pendidikan-tidak berpendidikan, memang sangat tinggi di negara kita dan sangat rawan menjadi konflik sosial.
 Menurunnya nilai kesetiakawanan sosial masyarakat dapat ditelusuri dari beberapa pe-nyebab: pertama, menguatnya semangat atau sikap hidup yang individualis dalam masyarakat sebagai ekses dari gelombang globalisasi.Kedua,menguatnya identitas-identitas komunal bersa-maan dengan menguatnya identitas kedaerahan.Seringkali sikap kesetiakawanan yang dibangun di antara masyarakat lebih bersifat lokal,tidak lebih mampu melampaui batas-batas kedaerahan itu.Sebagai contoh,ketika untuk mendudukkan jabatan tertentu lebih cenderung mencari orang yang satu suku,satu daerah bahkan satu marga.Akibatnya kepentingan daerah atau kelompok le-bih dominan ketimbang kesetiakawanan sosial secara nasional.Ketiga,sangat jarangnya figur pemimpin yang memberikan teladan bagi masyarakat dalam menjalin kesetiakawanan sosial. Masyarakat di negeri ini seringkali menyaksikan para pemimpin yang terlibat silang pendapat dan saling sikut memperebutkan jabatan.
Problem memudarnya rasa kesetiakawanan sosial sebenarnya bukan menimpa masyara-kat tapi lebih menimpa kepada para pemimpin kita.Mereka-mereka yang telah lama dininabobo-kan oleh gelimangan materi sebagai dampak dari kemjuan ekonomi dan para pejabat yang ter-lena akan jabatannya.Mereka menjadi egois dan tidak peduli dengan kemiskinan di sekitarnya.
Ketika negara ini sedang menghadapi krisis finansial global sehingga rupiah anjlok terhadap dolar,orang-orang kaya malah memborong dolar untuk spekulasi.Ketika para buruh di-PHK,para pejabat sedikit pun tidak ada menunjukkan simpatinya.Para PNS masih bisa tertawa sambil keluyuran di mal pada waktu jam kerja,padahal di sekitar mereka banyak pengangguran. Di sinilah problem kesetiakawanan sosial kita! Kesetiakawanan sosial seharusnya menjadi ge-rakan yang dibangun dan dimulai dari para pemimpin.Merekalah yang harus turun merangkul dan memberi keteladanan kepada rakyat.***