Antara Mal dan Cagar Budaya

Gubernur vs Walikota :
Antara Mal dan Cagar Budaya
Oleh : Fadil Abdin

Ada satu paradoks di negeri ini. Ketika ada orang yang menyuarakan kejujuran, malah mendapat ancaman, cibiran bahkan pengusiran dari rumahnya. Inilah yang dialami Siami, orang tua dari Alinafiah yang membongkar praktik contek massal di SDN Gadel 2, Surabaya. Kini paradoks tersebut berlanjut, orang yang bermaksud melestarikan peninggalan bersejarah justru disebut bodoh.

Pentas “kebodohan” tersebut justru dilakonkan oleh Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo yang menyebut Walikota Solo, Joko Widodo, sebagai orang bodoh. “Walikota Solo itu bodoh. Kebijakan Gubernur kok ditentang? Sekali lagi saya tanya, Solo itu masuk wilayah mana?” kata Bibit (Solopos,26/6/2011).
Lantas apa reaksi Joko Widodo dikatakan demikian? Pria yang akrab dipanggil Jokowi ini tetap kalem. "Iya, saya itu memang masih bodoh. Masih harus banyak belajar ke banyak orang. Dibilang begitu ya nggak apa-apa," kata Jokowi di Balaikota Surakarta (27/6/2011).
Pembangkangan Jokowi terhadap perintah atasannya bukanlah tanpa alasan. Gubernur Jateng bersikeras membangun mal di lahan bekas Pabrik Es Saripetojo, Solo, yang merupakan gedung peninggalan bersejarah. Jokowi juga berpendapat pendirian mal baru adalah untuk membatasi maraknya pasar modern yang akan mengancam keberadaan pasar tradisional di sekitarnya. Sebelumnya telah ada 12 kali pengajuan pendirian mal dari sejumlah pihak yang tidak disetujui karena memang Pemkot Surakarta berkomitmen membatasi keberadaan mal di Solo.
Kita patut memberi apresiasi yang tinggi dan acungan empat jempol kepada Walikota Solo, Jokowi. Sangat jarang kita menemukan pemimpin seperti ini, ia berani mempertahankan idealisme walaupun harus berseberangan dengan atasannya dan dikatakan sebagai “bodoh”. Jokowi barangkali berpendapat bahwa atasannya adalah rakyat Solo.  
Bermula dari Pabrik Es
Gedung bekas Pabrik Es Saripetojo yang hendak dijadikan mal oleh Gubernur Jateng, oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bangunan bersejarah dan layak dijadikan sebagai cagar budaya. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, menyatakan, gedung Pabrik Es Sari Petojo di Purwosari Solo masuk kriteria bangunan kuno dan tercatat sebagai benda cagar budaya (BCB) yang harus dilindungi, karena itu rencana pembongkaran bangun ini untuk mal harus dibatalkan.
"Gedung tersebut dibangun pada tahun 1888 dan telah tercatat sebagai BCB di BP3 dengan sertifikat nomor 64," kata Kepala BP3 Jawa Tengah, Tri Hatmadji. Oleh karena itu, pihaknya meminta kepada investor untuk menghentikan pembongkaran bangunan gedung tersebut, karena dinilai melanggar UU No. 11/2010 tentang Benda Cagar Budaya (Antara, 23/6/2011).
Jadi, salah besar jika menganggap Pabrik Es Saripetojo tiada memiliki ikatan historis dengan kehidupan masyarakat Solo. Ia bukan sembarang pabrik yang sepi cerita dan makna.  Bila ingin membicarakan pabrik es di Kota Solo (juga di kota lainnya di Indonesia), mau tak mau mesti mengaitkannya dengan realitas sejarah toewan-toewan kulit putih yang menginjakkan kaki di bumi Hindia Belanda. Fenomena es batu sesungguhnya sudah ada di Batavia sejak pertengahan abad XIX. Lembar kalender menunjuk angka 16 November 1846. Orang Betawi terheran-heran lantaran menyaksikan dan merasakan dinginnya es batu yang diangkut oleh kapal dari Boston (Amerika) di pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak tersedia cukup data ihwal bagaimana cara awak kapal tersebut menjaga biar “barang mewah” ini tidak mencair.
Kaum kolonialis memang sengaja mengekspor es batu ke negara-negara berhawa panas. Javasche Courant edisi 3 Februari 1847 menginformasikan kaum pribumi kala itu menyebut es sebagai “sesuatu yang mengeluarkan uap yang mengherankan dan membingungkan”. Bahkan, saking takjubnya, menilai es laksana kristal yang berharga.
Di wilayah beriklim tropis seperti Hindia Belanda yang terik, es dipandang barang yang sangat bermanfaat. Penduduk lokal dan para pendatang berkulit putih itu leluasa menenggak minuman dengan es baru pada 1870. Kala itu, pabrik es pertama beroperasi di Batavia yang juga menjalar ke kota-kota lain termasuk di Solo. Pabrik Es Saripetojo diperkirakan berdiri sekitar 1902 bersamaan dengan masuknya unit genset pembangkit listrik tenaga diesel di Kota Solo.
Kota Solo yang disebut Petrus Blumberger, seorang Asisten Residen Surakarta yang juga pengamat pergerakan kebangsaan, sebagai ”tempat jantung Jawa berdenyut” ini di era 1900 menampung 1.973 orang Eropa, 5.129 orang China, 171 orang Arab, 262 orang timur asing lainnya dan 101.924 orang Jawa. Menurut sejarawan Vincent JH Houben dalam karyanya Keraton dan Kompeni (2002), orang Belanda berbondong-bondong datang ke Vorstenlanden (daerah kekuasaan kerajaan) karena tergoda oleh bisnis industri gula yang cukup menguntungkan  untuk ukuran waktu itu, selain kepentingan menjabat dalam struktur birokrasi kolonial.
Kondisi kota Solo yang multiras ini tak beda jauh dengan kondisi Batavia. Meski rumah dilengkapi taman dan di sepanjang jalan kota dipenuhi pepohonan rindang, tetap saja tidak serta merta membuat dingin tubuh bagian dalam para warga asing itu. Dengan demikian, logis seandainya mereka membutuhkan es batu demi melerai panas yang membekap tubuhnya.
Demikianlah, Pabrik Es Saripetojo merupakan bukti sejarah strategi orang-orang Belanda tempo doeloe beradaptasi dengan lingkungan beriklim tropis. Berkat pabrik itu pulalah, masyarakat Jawa Tengah mengenal es batu. Pertanyaannya, haruskah pemerintah provinsi Jateng  tetap ngotot membangun mal di atas bangunan bernilai historis ini? (Heri Priyatmoko, 2011, Historitas Pabrik ES Saripetojo).
Mengenal Jokowi
Walikota Solo Joko Widodo atau yang kerap disapa Jokowi, sadar betul terhadap sejarah yang melingkupi Pabrik Es Saripetojo. Kesadaran inilah yang membuat Jokowi berani “menentang” perintah Gubernur Jateng. Siapa sebenarnya Jokowi? Setelah Basuki Cahya Purnama, mantan Bupati Belitung Selatan, bupati pertama dari etnis Tionghoa yang dianggap sebagai bupati teladan, maka Jokowi merupakan generasi berikutnya yang bisa disebut sebagai bupati teladan.
Jokowi telah dua kali terpilih menjadi Walikota Solo periode 2010-2015, dan sejak menjadi Walikota Solo tahun 2005 hingga sekarang, ia tidak pernah tidak pernah mengambil gajinya. Ia hanya menandatangani slip gaji, uangnya disumbangkan kepada orang-orang yang kurang mampu.
Ada peristiwa menarik, sesaat setelah Jokowi menjabat sebagai Walikota Solo, kepala Satpol PP datang kepadanya untuk meminta dana untuk membeli 600 pentungan dan 600 tameng. Maklum saat itu pedagang kali lima merupakan salah satu sumber kesemrawutan di kota Solo. Jokowi tersentak dan berkata, “Kita mau menggebuki atau mengayomi rakyat?”
Sejak saat itu Joko memerintahkan seluruh tameng dan pentungan dikumpulkan dan dimasukkan dalam gudang dan dikunci. Untuk mempertegas citra pemerintahan tanpa kekerasan, Jokowi mengganti sosok kepala satpol PP yang identik dengan pria besar berwajah garang dengan seorang wanita.
Lalu apakah ia berhasil menertibkan pedagang kaki lima (PKL) tanpa kekerasan? Tidak hanya sukses, ia kini bahkan menjadi tokoh inspirasi. Republika menobatkannya sebagai Tokoh Perubahan 2010. Sebelumnya, pada tahun 2008 ia terpilih sebagai Tokoh Pilihan tahun 2008 versi majalah Tempo.
Menertibkan kesemrawutan tanpa kekerasan memang bukan perkara mudah.
Konon, untuk memindahkan PKL Banjarsari saja, Jokowi mengajak para pedagang untuk makan siang bersama lebih dari 50 kali. Ia baru mengungkapkan rencana pemindahan PKL tersebut setelah makan siang ke-54. Pemindahan PKL ke lokasi baru pun dilakukan dengan tanggung jawab. Ia mengadakan pawai meriah khusus untuk prosesi pemindahan pedagang tersebut. Pawai ini membuat lokasi baru tersebut diserbu masyarakat.
Jokowi sadar, jika ia membangun maka yang perlu dibangun terlebih dulu adalah aparat, bahkan ia memulai dari dirinya sendiri. Sebagai pemimpin ia menunjukkan pola hidup sederhana. Mobil dinasnya adalah mobil bekas pejabat sebelumnya Toyota Camry yang berusia lebih dari 10 tahun. Semasa dinas, Camry-nya sudah mogok 4 kali. Supirnya sering jadi bahan cemooh supir dari walikota atau bupati wilayah lain. Bagi Jokowi, kesederhanaan membuatnya bisa fokus dalam bekerja untuk rakyat, tidak berpikir memperkaya diri sendiri.
Untuk membangun SDM aparat, ia mengadakan pelatihan rutin untuk pegawainya. Karena aparat yang profesional akan mempermudah pengembangan kota. KTP, yang dulu dibutuhkan waktu berminggu untuk membuatnya, kini bisa dibuat hanya dalam waktu 1 jam dengan biaya cuma Rp 5.000. Untuk membangun perekonomian rakyat, Jokowi memberi dukungan penuh pada pengusaha lokal. Ia juga membuka kran investasi yang siap menggandeng pengusaha lokal atau memberi dampak nyata bagi masyarakat. Sejak awal ia sudah menempatkan pemihakannya kepada rakyat. Dalam 5 tahun pemerintahannya, ia mendirikan 15 pasar tradisional, padahal sebelumnya tidak ada pasar tradisional baru selama 30 tahun. Ia memilih untuk membuat satu pasar tradisional milik puluhan warga daripada puluhan hipermart milik satu pengusaha.
Jokowi sadar bahwa Solo merupakan kota yang miskin sumber daya alam. Maka ia  mencanangkan kota Solo sebagai kota Meeting, Incentive, Convention dan Exhibition.
Menjadikan Solo sebagai daerah kunjungan wisata dan seminar dengan memanfaatkan hotel yang ada dan peninggalan sejarah yang tersisa. Kunjungan orang dari luar berarti bisa menjadi sumber pedapatan daerah dan warga kota Solo pada umumnya.
Ia menciptakan branding kota Solo sebagai “Solo,The Sipirit of Java”. Sang walikota mendaftarkan Solo sebagai anggota organisasi Kota-Kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Usahanya membawa hasil, Solo berkembang pesat, dan rakyat kembali memilihnya menjadi walikota untuk periode berikutnya sampai 2015 dengan perolehan suara 90% dalam Pilkada tahun 2010 lalu.
Jabatan politik di Indonesia mungkin hanya bisa dipegang maksimal 10 tahun, tapi nama, jasa dan karya seseorang bisa abadi selamanya ketika ia menjabat. Kisah Jokowi seharusnya menjadi insprasi pemimpin di sini, untuk lebih berpihak kepada rakyat kecil dan  menghargai sejarah. Demi menjaga idealisme, Jokowi tidak peduli disebut bodoh.
Di kota ini banyak gedung-gedung bersejarah diruntuhkan menjadi ruko, mal dan pusat perbelanjaan demi mewujudkan sebuah kota metropolitan yang kehilangan identitas masa lalunya. Semoga tulisan di atas semakin menginspirasi kita semua, di setiap level kepemimpinan. ***