Gagal Masuk PTN, Masih Ada Universitas Terbuka

Gagal Masuk PTN, Masih Ada Universitas Terbuka
Oleh : Fadil Abidin

Selama beberapa bulan terakhir ribuan siswa-siswi yang baru tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat sibuk bukan kepalang. Ritual euforia kelulusan dengan berbagai cara dan tingkah laku di jalanan hanya dirayakan sesaat. Mereka selanjutnya harus melewati perjuangan masuk ke perguruan tinggi. Di antara mereka, banyak siswa yang cerdas namun terhenti pendidikannya karena masalah klasik, yaitu ketiadaan biaya. Perjalanan akademik merekapun berakhir, masuk kuliah ke perguruan tinggi hanya menjadi semacam impian.

Sedangkan bagi mereka yang keadaan ekonomi orangtuanya mapan, bukan berarti berjalan melewati jalan tol. Mereka semakin disibukkan atau dipaksa sibuk dengan beragam ikhtiar untuk membuat mimpi jadi kenyataan. Ada yang belajar intensif di bimbingan belajar, kelas karantina hingga les privat di rumah. Bukan hanya siswa, para orang tua juga sibuk bukan main. Selain mendukung dalam hal pembiayaan yang maksimal untuk pendidikan anaknya, mereka juga aktif dalam mendorong, mendukung hingga memaksa agar anaknya masuk di jurusan pilihan mereka. Mereka tentu ingin agar anaknya dapat meneruskan hegemoni ekonomi maupun jabatan yang mereka sandang.
Semua daya dikerahkan. Untuk apa semua itu dilakukan? Tentu saja agar bisa ‘tembus’ perguruan tinggi negeri (PTN) tertentu dengan label perguruan tinggi favorit dengan jurusan yang serba favorit pula. Saking ‘angker’nya beberapa jurusan dan PTN/Sekolah Tinggi tertentu sehingga untuk bisa menaklukkannya harus menempuh jalur bimbingan belajar khusus pula. Sebutlah di antaranya kelas khusus atau kelas karantina untuk masuk Fakultas Kedokteran dan kelas karantina STAN untuk Sekolah Tinggi Akuntasi Negara yang full-funding itu, dan masih banyak lagi kelas karantina lainnya. Ekspektasinya adalah setelah kuliah dan mendapatkan gelar sarjana, mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan mendapatkan gaji tinggi.
Atas nama menjaga kualitas dengan hanya menerima siswa yang tergolong ‘jenius’, PTN membuka beberapa jalur tertentu. Jalur yang paling populer tentu saja Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), tahun-tahun sebelumnya dikenal dengan sebutan SIPENMARU, UMPTN, dan SPMB. Kolaborasi bersama seluruh PTN Indonesia dalam menyeleksi calon-calon mahasiswanya. Diakui bahwa jalur ini merupakan jalur yang paling adil dalam sistem seleksi mahasiswa secara nasional. Siswa atau calon mahasiswa yang berprestasi cemerlang dari kalangan keluarga ekonomi menengah ke bawah bisa menembus PTN favorit yang ‘dikenal’ berbiaya murah dan berkualitas lewat jalur ini.
Jalur lainnya POSK bagi siswa yang memilki talenta dan berprestasi di cabang olahraga tertentu, dan jalur PMDK (tahun ini diganti menjadi jalur undangan). Bagimana seandainya tidak lulus melalui beberapa jalur di atas? Ada jalur lain yang banyak diperebutkan oleh mereka yang berasal dari kalangan berpunya yaitu JNS alias Jalur Non Subsidi. Namanya juga jalur non subsidi, dari proses pendaftaran hingga selesai kuliah, calon mahasiswa dan mahasiswa akan  dibebankan dengan biaya yang tak sedikit. Melalui jalur ini mungkin kita bisa berkaca, bagaimana komersialisasinya pendidikan di Indonesia.
Tiap jurusan ‘dijual’ dengan banderol mulai dari sepuluh juta hingga ratusan juta rupiah untuk jurusan favorit semisal Fakultas Kedokteran. Itu baru uang masuk. Selama perkuliahan, SPP mereka juga berbeda. Logikanya karena mereka masuk melalui “jalur khusus” maka uang kuliahnya berharga khusus pula. Jadi tidaklah heran bila di kampus-kampus tertentu terdapat jurang yang dalam, terdapat perbedaan yang kontras antara ‘jurusan kaya’ dan ‘jurusan miskin’. Bagi jurusan yang kurang favorit, jangan heran bila fasilitasnya juga apa adanya. Negeri sih negeri, tapi fasilitasnya tidak seperti fasilitas tetangganya yang favorit. Sedangkan jurusan-jurusan dengan uang masuk yang “wah”, gedung kuliahnya bisa jadi laksana ballroom hotel berbintang, ber-AC, mewah, tempat duduk empuk dan dilengkapi fasilitas perkuliahan yang canggih.
Bukan Segalanya
Lulus SNMPTN kemudian menjadi harapan satu-satunya bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi untuk bisa memasuki PTN. Lulus seleksi yang dilaksanakan secara bersama oleh seluruh PTN itu merupakan hal yang mereka dambakan. Sedangkan bagi yang tidak lulus, akan terbersit rasa kecewa dalam hati.
            Setahun lalu ada peristiwa tragis. Seorang remaja asal Pematang Siantar mengakhiri hidupnya karena gagal masuk USU (Universitas Sumatera Utara). Ketika harapan untuk memperoleh pendidikan yang baik dan terjangkau lewat PTN tertutup, maka seolah-olah masa depan pun menjadi suram. Peristiwa ini hendaknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak bahwa pendidikan merupakan hal yang vital bagi semua warga negara. 
Pertama bagi pemerintah, bahwa daya tampung PTN masih kurang. Di provinsi Sumatera Utara saat ini hanya ada dua PTN di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, yaitu USU dan Unimed (Universitas Negeri Medan) serta satu IAIN (Institut Agama Islam Negeri) di bawah Kementerian Agama. Sehingga rasio persaingan masuk PTN begitu ketat, apalagi jurusan atau fakultas tertentu yang favorit, bahkan rasionya ada yang mencapai 1:75, artinya 1 kursi PTN diperebutkan oleh 75 calon mahasiswa. Rasio ini semakin tinggi karena daya tampung melalui SNMPTN semakin sedikit karena ada alokasi untuk mahasiswa yang berpunya melalui “jalur khusus”.
Kedua, bagi para remaja harus disadari bahwa masuk PTN bukanlah segalanya. Jadi ketika gagal masuk PTN hendaknya jangan berputus asa. Masih ada tahun-tahun berikutnya untuk mengikuti SNMPTN. Jika ada dana yang cukup, masih bisa masuk PTS (Perguruan Tinggi Swasta) yang di antaranya juga telah mendapat akreditasi dan bermutu baik. Tapi jika tidak ada dana, terutama bagi lulusan SLTA dari golongan keluarga yang tidak mampu, bisa masuk Universitas Terbuka (UT).


Universitas Terbuka Selalu Terbuka
Akses pendidikan ke jenjang perguruan tinggi bagi sebagian besar masyarakat memang masih menjadi kendala. Daya tampung  PTN yang ada dibandingkan lulusan SMA tak sebanding. Untuk mengatasinya, UT diharapkan dapat menjadi alternatif bagi para lulusan SMA yang mau melanjutkan pendidikannya.
Lulusan SMA yang tidak dapat masuk ke PTN sebenarnya lebih banyak ditampung di PTS. Namun demikian, mereka harus membayar biaya pendidikan dua atau tiga kali lipat lebih banyak dari PTN. Oleh karena itu, bagi lulusan SMA dengan keterbatasan ekonomi UT bisa menjadi pilihan.
UT merupakan program pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah sehingga biayanya relatif lebih terjangkau. Jadi pemerintah sebetulnya sudah memikirkan para lulusan SMA yang gagal masuk PTN tetapi tidak ada biaya masuk PTS agar mereka bisa masuk UT. Tapi barangkali UT kurang disosialisasikan kepada masyarakat, dan selama ini ada stereotip bahwa UT “tidak jelas” baik mutu maupun proses pembelajarannya. UT juga sering dipelesetkan menjadi “universitas tidak tamat-tamat”, maklum saja anggaran dari pemerintah sering tertunda atau terlambat untuk program UT.
UT selama ini sering disalahpahami sebagai universitas khusus bagi mereka yang sudah bekerja atau guru, padahal lulusan SMA juga berhak diterima di sini. Dan biasanya ada kerjasama dengan PTN untuk menjaring siswa SMA yang tidak lulus untuk diarahkan ke UT. Registrasi masuk UT terbuka sepanjang tahun sehingga memungkinkan mahasiswa bisa masuk kapan saja. Pada 2010, sudah ada 650 ribu mahasiswa lanjutan dan baru. Jumlah itu melebihi target yang ditentukan sebelumnya, yakni 500 ribu mahasiswa di seluruh Indonesia. Dari segi jumlah lumayan banyak memang, tapi dari segi persentasi masih sangat kecil dibanding jumlah lulusan SMA.
Proses pembelajaran di UT, merupakan sistem pembelajaran jarak jauh dengan menggunakan Information and Communication Technology (ICT), digital library, e-learning, baik di dalam kelas maupun kelas jarak jauh. Selain itu, UT juga mengembangkan bahan ajar suplemen berbasis web yang bisa diakses siapa saja. Teknologi cetak dengan penerbitan modul-modul perkuliahan memang masih menjadi medium utama, tapi secara progresif sudah menggunakan media internet sebagai basis perkuliahan untuk membantu pembelajaran jarak jauh.
Namun demikian agar tetap menjaga kualitas pendidikan, UT tetap memberikan layanan tutorial tatap muka antara dosen dengan para mahasiswanya. Para tutor adalah dosen dari PTN yang bekerjasama dengan UT. Jadi, para mahasiswa tidak perlu khawatir terhadap kualitas UT. Tutorial tatap muka itu dilaksanakan 8 kali per semester dengan biaya sekitar Rp 20 ribu per SKS. Satu mata kuliah berdurasi selama dua jam, yang diselenggarakan tiap akhir pekan agar tidak mengganggu jadwal mengajar dosen dan tidak mengganggu jadwal mahasiawa yang guru atau yang tengah bekerja.
UT mempunyai target pada 2014 mempunyai 150 ribuan mahasiswa yang nonguru. Saat ini, UT mempunyai program “Sipas 1923” yang berarti sistem paket semester untuk usia 19-23 tahun. Pemerintah juga berencana akan memberikan beasiswa untuk siswa SMA yang mau masuk UT, dan tidak ada seleksi masuk, karena tujuannya untuk memberi akses kemudahan memperoleh pendidikan tinggi bagi semua warga negara. Syaratnya cukup mudah yaitu siswa SMA harus lulus UN atau paket C (Republika.co.id, 18 Mei 2010).
Bagi mahasiswa yang gagal melewati SNMPTN tahun ini, masa depan belumlah berakhir di sini. Masih ada alternatif lainnya, salah satunya masuk PTS, jika tidak ada biaya, bisa masuk UT dengan biaya yang relatif lebih terjangkau dan bisa dilaksanakan dengan sambil bekerja atau mencari program-program beasiswa lainnya. Jadi, tak perlu berlarut-larut meratapi kegagalan di SNMPTN. ***