Lusuhnya Bendera di Halaman Rumah Kita


Lusuhnya Bendera di Halaman Rumah Kita
Oleh : Fadil Abidin

Memaknai Hari Kemerdekaan yang ke-66, marilah kita mendengar sejenak lagu berjudul “Sumbang” yang dinyanyikan oleh Iwan Fals yang pernah populer di tahun 80-an. Penggalan syairnya antara lain,"....lusuhnya kain bendera di halaman rumah kita, bukan satu alasan untuk kita tinggalkan, banyaknya persoalan yang datang tak kenal kasihan menyerang dalam gelap....".
Lagu “Sumbang” seakan tetap relevan terhadap situasi dan kondisi terkini bangsa ini. Coba kita renungkan kembali syair lagu tersebut. Konteks lusuhnya kain bendera, bisa dimaknai sebagai buramnya dalam memandang "Merah Putih", lunturnya kita memaknai cita-cita pendiri bangsa ini sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Lusuhnya bendera secara fisik dan simbolis memang karena kesalahan kita sebagai bangsa yang tak mampu menjaga agar bendera Merah Putih tetap berkibar dengan gagah. Kita sebagai bangsa kerap dipecundangi oleh bangsa-bangsa lain yang secara kuantitas lebih kecil dari kita. Kita tak mampu menjaga laut, hutan, pulau, dan kekayaan alam di bumi Nusantara  sehingga dicuri oleh orang-orang asing.
Kita tak mampu menjaga perbatasan negara kita, sehingga banyak patok-patok batas negara kita bergeser ke dalam wilayah negara tetangga. Ironisnya, bukan warga Malaysia yang menggesernya, terkadang rakyat Indonesia sendiri yang menggesernya dengan dalih agar desa dan rumahnya bisa masuk ke dalam wilayah Malaysia. Mereka menganggap menjadi bagian dari bangsa Indonesia tidak mempunyai masa depan yang gemilang, maka lebih eloklah mereka menjadi warga Malaysia. 
Menurut data dari berbagai sumber, konon warga Indonesia yang berada di Malaysia sekitar 3,5 juta jiwa lebih. Separuhnya telah lama bermukim dan menetap di sana selama puluhan tahun. Jika seandainya ada opsi pemilihan warga negara, niscaya mereka akan memilih menjadi warga negara Malaysia. 
Ini bukan sebuah gerakan separatisme, makar, pengkhianatan atau lunturnya semangat nasionalisme. Jangan bicara soal nasionalisme kepada rakyat yang lapar, miskin, sakit, bodoh, dan pengangguran dengan masa depan yang suram. Sementara para pejabat di republik ini terus-menerus berpesta pora dalam gelimang harta, fasilitas negara, dan merajalelanya korupsi.   
Merah Putih Tidak Berkibar Lagi
Ancaman warga Desa Mungguk Gelombang, Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat untuk mengibarkan bendera Malaysia di desa mereka, seperti yang dilansir oleh MetroTV (2/8/2011) patut kita maknai dengan bijak. Warga setempat kesal karena pemerintah tak memperhatikan kondisi infrastruktur di perbatasan. Misalnya, kerusakan jalan yang sudah didera bertahun-tahun, tapi tak juga diperhatikan. Mereka juga mengeluhkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Dan ironisnya, justru pemerintah Malaysia yang selama ini “membangun” desa tersebut. Sudah bertahun-tahun pemerintah Malaysia membantu menyediakan sarana dan prasarana air bersih, pengobatan gratis, fasilitas pendidikan, rumah ibadah, menyediakan lapangan kerja, sehingga warga desa setempat dalam jual-beli menggunakan ringgit ketimbang rupiah. Akibatnya, warga lebih berempati pada negeri tetangga dari pada negeri sendiri.
Warga desa merasa mereka belum “merdeka”. Mereka mengaku berulang kali mendengar kabar akan pencairan dana pembangunan. Namun, mereka sama sekali belum pernah menikmati kemajuan pembangunan dan kesejahteraan. Pemerintah seakan telah meninggalkan mereka. Warga pun mengancam akan mengibarkan bendera Malaysia pada HUT RI ke-66, apabila tuntutan dan perhatian bagi mereka tak juga dipenuhi.
Lalu, apa tanggapan pemerintah daerah setempat? Seperti biasa, kita hanya pandai beretorika, berencana dan mengadakan rapat tanpa solusi yang cepat dan bijak. Seperti biasa, pendekatan kita ialah pendekatan militeristik. Pemerintah daerah setempat langsung menghubungi pihak Polri dan TNI untuk melakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih di perbatasan pada 17 Agustus 2011, bertepatan dengan HUT RI.
Kemudian muncul dalih klise, pemerintah daerah setempat berharap masyarakat yang ada di wilayah perbatasan dapat lebih sabar untuk menunggu pembangunan dari pemerintah, belum adanya pembangunan bukan berarti pemerintah tidak perduli. Pembangunan katanya butuh proses, bukan instan langsung jadi. Tapi sampai kapan?
Tidak Tahu Merah Putih
Dikutip dari Kapanlagi.com, ternyata banyak rakyat Indonesia yang tinggal di daerah perbatasan dengan Malaysia, terutama di Desa Sugumun, Kecamatan Sekayam, Sanggau, Kalimantan Barat, memasang bendera Merah Putih terbalik, putih di atas dan merah di bawah.
Ada beberapa alasan yang melatarinya. Pemasangan bendera Merah Putih terbalik yang sering dilakukan oleh para orangtua yang berumur 40 tahun ke atas, karena mereka memang tidak tahu kalau bendera negaranya adalah Merah Putih. Mereka lebih mengenal bendera Malaysia “Jalur Gemilang” yang kerap berkibar di perbatasan atau di televisi Malaysia. Maklum mereka tidak pernah bersekolah dan di daerah perbatasan tidak ada siaran televisi Indonesia. Sedangkan generasi mudanya, sebagian sengaja memasang bendera terbalik sebagai sindiran bahwa negaranya bukan Indonesia. 
Alasana lainnya cukup memalukan, yaitu kemiskinan. Sehingga untuk membeli bendera Merah Putih saja mereka tidak sanggup. Warga umumnya mengaku memasang warna merah di bawah dan putih di atas karena takut warna merahnya luntur ke kain putih ketika diguyur hujan. Warga tidak punya uang jika harus membeli bendera baru lagi jika luntur.
Jangan ditanya soal hapal atau tidak sila dalam Pancasila atau lagu kebangsaan Indonesia Raya. Jangankan generasi tua, generasi muda saja masih banyak yang belum pas atau banyak salah ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mereka lebih hafal menyanyikan lagu “Negaraku”  lagu kebangsaan negara tetangga ketimbang lagu Indonesia Raya.
Kondisi tersebut akibat desa mereka sangat terpencil dan putus hubungan dengan kecamatan terdekat, yang bisa ditempuh delapan jam perjalanan melewati jalan tanah berlumpur. Warga desa dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari lebih banyak bergantung dari Malaysia. Selain karena mudah didapat, juga bisa ditempuh satu jam perjalanan dengan jalan kaki.
Bukan Alasan
Lunturnya semangat nasionalisme di kalangan masyarakat di daerah perbatasan, selain karena kemiskinan, tidak adanya gerak pembangunan, dan tidak pedulinya pemerintah RI. Juga tidak terlepas dari pengaruh globalisasi, masyarakat di sana dengan mudah mengakses setiap informasi dari negara tetangga tanpa diimbangi informasi dari bangsa Indonesia. Sehingga masyarakat di daerah perbatasan lebih kenal para pemimpin maupun tokoh pejuang di negara tetangga ketimbang Indonesia, karena di sana warga dengan mudah bisa nonton TV Malaysia. Siaran TV Indonesia tidak dapat diterima di sana.
Kisah “lusuhnya” bendera kita di daerah perbatasan, bukanlah satu-dua kasus saja, tapi ratusan jumlahnya. Sebagai negeri tetangga, Malaysia ibarat “tanah surga” bagi sebagian warga Indonesia. Masyarakat menganggap Malaysia lebih menjanjikan kehidupan yang lebih baik dengan lapangan kerja dan upah yang cukup layak ketimbang di negerinya sendiri. Tak heran, jika kemudian mereka rela menjual rumah, tanah dan hewan ternak agar dapat menjadi TKI/TKW di luar negeri, baik secara legal maupun ilegal. Tidakkah para pemimpin di negeri ini malu melihat ironi ini? 
Tidakkah para pemimpin negeri ini tahu bahwa tidak ada pemerintah yang memerintah di negeri ini pun rakyat masih bisa tetap hidup. Mereka tidak butuh pemerintah yang hanya sibuk mengurus dirinya sendiri, mengurus partai, keluarga, kolega, teman dan golongannya saja. Tidakkah mereka tahu bahwa nun di sana, di daerah pedalaman dan perbatasan, banyak rakyat yang merasa sudah tidak menjadi bagian dari bangsa Indonesia lagi.
Merah Putih ibarat hati kita. Jika lusuhnya bendera mampu kita "cuci" maka semestinya pula hati kita. Dengan apakah kita “cuci” Merah Putih itu? Hanya dengan mengedepankan sikap jujur, adil, dan bijaksana dari para elit pimpinan negeri ini, maka tidak diperlukan lagi pidato berapi-api, retorika dan upacara bendera untuk membangkitkan kembali semangat nasionalisme bangsa ini. Lusuhnya bendera di halaman rumah kita, bukan satu alasan untuk kita tinggalkan. Merdeka! ***