Menyoal Perjanjian Ekstradisi Indonesia - Singapura
Oleh : Fadil Abidin
Kata ekstradisi berasal dari bahasa Latin extradere, yang terdiri dari kata ex artinya keluar dan tradere artinya memberikan atau menyerahkan. Istilah ekstradisi dikenal atau biasanya digunakan dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta.
Menurut UU No.1 Tahun 1979, ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan seorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejehatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan menghukumnya.
Hingga tahun 2007, Indonesia telah mengadakan perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara. Tapi, seluruh perjanjian tersebut disepakati secara bilateral dan hingga saat ini Indonesia belum pernah menandatangani perjanjian ekstradisi tersebut secara multilateral.
Ketujuh perjanjian ekstradisi itu adalah perjanjian ekstradisi dengan Malaysia, yang diratifikasi dengan UU No. 9 Tahun 1974, dengan Filipina diratifikasi dengan UU No. 10 Tahun 1976, dengan Thailand diratifikasi dengan UU No. 2 Tahun 1978. Perjanjian ekstradisi dengan Australia diratifikasi dengan UU No. 8 Tahun 1994, dengan Hongkong diratifikasi dengan UU No. 1 Tahun 2001, dengan Korea Selatan ditandatangani tahun 2001, dengan Singapura ditandatangani tanggal 27 April 2007.
Singapura Minta Wilayah
Pemulangan tersangka kasus pidana korupsi asal Indonesia yang kabur ke Singapura biasanya tersandung masalah perjanjian ekstradisi. Singapura masih menjadi tempat persembunyian yang nyaman bagi para koruptor Indonesia. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura belum bisa diberlakukan karena kedua negara belum meratifikasi perjanjian yang telah ditandatangani pada tahun 2007.
Antara pemerintah Indonesia dan Singapura memang pernah menandatangani nota kesepahaman tentang ekstradisi yang ditandatangani oleh masing-masing Menteri Luar Negeri yang disaksikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong pada tanggal 27 April 2007 di Istana Tampaksiring, Bali.
Untuk meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut agar dapat berlaku efektif diperlukan suatu persetujuan dengan parlemen negara masing-masing. Ratifikasi tersebut kemudian dilegalkan dalam bentuk suatu Undang-Undang. Tapi berhubung kedua negara belum meratifikasinya, maka perjanjian tersebut belum dapat berjalan efektif dan mengikat.
Kondisi tersebutlah yang menjadi celah bagi para koruptor untuk lari dan bersembunyi di Singapura. Apalagi, untuk pergi ke Singapura seseorang hanya membutuhkan paspor dan tak perlu visa. Karena tak ada perjanjian ekstradisi yang ditandatangani (diratifikasi), maka polisi Indonesia tak boleh beroperasi di Singapura tanpa izin pemerintah setempat. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura memang ada, tapi secara materiil eksistensinya dianggap tidak ada karena belum diratifikasi. Perlu dketahui, setiap perjanjian antar dua negara yang menyangkut pertahanan dan keamanan, kedaulatan, serta kriminal berat harus diratifikasi. Karena itu, perjanjian ekstradisi antara Singapura dan Indonesia termasuk perjanjian yang harus segera diratifikasi.
Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa pemerintah RI tak mengupayakan perjanjian tersebut agar segera diratifikasi? Upaya pemerintah RI agar perjanjian ekstradisi segera diratifikasi sebenarnya sudah lama dilakukan. Namun, syarat yang diajukan Pemerintah Singapura dipandang sangat tidak masuk akal. Singapura meminta suatu wilayah di Indonesia untuk dijadikan tempat pelatihan militer. Pemerintah RI jelas menolak mentah-mentah syarat tersebut, DPR juga tidak setuju.
Permintaan Singapura ini jelas tidak lazim dan melecehkan Indonesia. Sejumlah perjanjian esktradisi yang dibuat Pemerintah RI dengan negara-negara lain di dunia tidak pernah ada yang mensyaratkan hal seperti itu.
Kita tahu, Singapura adalah negara kecil dengan kemampuan militer yang besar. Ketersediaan lahan untuk parkir seluruh armada dan perlengakapan pesawat dan kapal tempurnya serta lahan untuk latihan militer adalah hal yang mutlak diperlukan. Jika Pemerintah RI menyediakan lahan untuk itu semua, berarti Indonesia dengan sengaja ikut menyokong kekuatan militer Singapura.
Kondisi ini tentu tidak boleh terjadi. Sebab, kita tahu bahwa Singapura adalah sekutu dekat AS. Jika militer Singapura kuat, akan kuat pula negara itu sebagai kepanjangan tangan AS. Dengan kata lain, semakin kuatnya Singapura akan semakin memperkuat hegemoni AS di sekitar Indonesia. Tidakkah kita ingat bagaimana pemerintah Singapura senantiasa ’mengobok-obok’ Indonesia dengan isu-isu terorisme yang menyesatkan?
Surga Koruptor
Singapura memang surga bagi buronan pelaku korupsi dari Indonesia. Sebagai gambaran, para pelaku pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tahun 1998-1999 diperkirakan membawa kabur uang rakyat Indonesia mencapai Rp 1.300 triliun. Uang haram ini berputar di Singapura dalam aneka bentuk investasi yang menguasai sekitar 5-7 persen perputaran uang bank di Singapura (Republika.co.id., 25/4/2007).
Maka tidaklah heran jika Singapura selalu mencari-cari cara dan alasan agar perjanjian ekstradisi tersebut tidak segera diratifikasi oleh pihak Indonesia, termasuk mengajukan syarat yang tidak masuk akal, yaitu meminta suatu wilayah RI untuk dijadikan pangkalan militer. Singapura tentu sangat takut jika perjanjian tersebut diratifikasi maka mereka akan mengalami kerugian ekonomi yang luar biasa.
Dana para koruptor asal Indonesia yang tercatat berjumlah Rp 1.300 triliun, itu belum termasuk yang tidak tercatat, yang diinvestasikan di banyak lembaga keuangan Singapura. Dana ini akan menghilang karena dilarikan kembali oleh para koruptor ke negara lain jika perjanjian ekstradisi diratifikasi. Hal ini tentu akan mengejutkan perekonomian Singapura, dan diperkirakan pertumbuhan ekonominya akan mengalami perlambatan.
Singapura memetik keuntungan besar dengan masuknya uang haram yang dilarikan para koruptor. Memang benar korupsi adalah masalah internal Indonesia. Namun, Indonesia berharap kerjasama Singapura karena sistem hukum Indonesia tidak mampu menjangkau para penjahat tersebut karena mereka berada di luar batas yurisdiksi hukum negara kita. Ketidaksediaan Singapura bekerjasama dengan Indonesia merupakan ganjalan yang berpotensi mengganggu dalam hubungan diplomatik kedua negara, bahkan munculnya sikap anti-Singapura oleh rakyat Indonesia tinggal menunggu waktu saja.
Tapi, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura serta merta tidak akan menjamin pengembalian atau pemulihan (recovery) aset Indonesia yang dibawa para koruptor. Saat ini Singapura belum menandatangani Konvensi PBB Tahun 2003 tentang Antikorupsi. Hal ini ditegaskan oleh Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Danang Widoyoko. “Ektradisi tidak cukup jika tidak disertai ratifikasi konvensi PBB,” katanya. Dalam konvensi PBB tersebut, khususnya yang mengatur tentang pemulihan aset, dinyatakan bahwa suatu negara yang telah berkomitmen dengan menandatangani konvensi berkewajiban membantu negara lain dalam pengembalian aset. Dalam hal ini, kata Danang, Singapura bisa saja berkelit untuk tidak mengembalikan aset Indonesia yang berada di negara tersebut karena Singapura belum menandatangani Konvensi PBB tentang Antikorupsi (Republika.co.id., 1/5/2007).
Kebutuhan akan perjanjian ekstradisi dengan Singapura kembali mencuat setelah sejumlah orang yang terkait dalam satu kasus suap dan korupsi di Indonesia melarikan diri ke negara tersebut. Sebelumnya, Gayus Tambunan yang terlibat dalam perkara mafia hukum dan pajak hengkang ke Singapura. Ia bersedia dibujuk pulang oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, bukan karena adanya faktor perjanjian ekstradisi.
Nunun Nurbaeti, tersangka kasus dugaan suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Idonesia yang dimenangi Miranda Goeltom pada tahun 2004, juga sempat diduga bersembunyi di sana. Saat ini mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin mengaku tengah menjalani perawatan di Singapura. Nama Nazaruddin disebut-sebut dalam sejumlah kasus hukum di Indonesia. Hingga saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi belum bisa mendatangkan keduanya karena terganjal persoalan, salah satunya adalah tidak adanya perjanjian ekstradisi dengan Singapura. ***