Menyoal Tayangan Televisi di Bulan Ramadhan
Oleh : Fadil Abidin
Seperti telah mejadi tradisi, setiap tahun berbagai stasiun televisi melakukan metamorfosis terhadap tayangannya di bulan Ramadhan sehingga tampak seolah-olah berbau religius. Namun kita prihatin karena kebanyakan tayangan dikemas tidak sebagaimana layaknya suatu tuntunan yang ditujukan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan para pemirsa Muslim di bulan Ramadhan.
Tayangan televisi memang silih berganti, tapi menu siaran dari Ramadhan ke Ramadhan setiap tahunnya hanya berisi pesan-pesan yang kurang berbobot kecuali pesan konsumtif belaka. Selebihnya acara sinetron-sinetron yang justru bisa mengikis dan mementahkan makna Ramadhan dalam perspektif umat Islam sendiri.
Bagi orang dewasa boleh jadi siaran-siaran kontradiktif yang bisa mengurangi makna dan hakikat dalam menunaikan ibadah puasa dapat diantisipasi dengan kekuatan keimanan dan ketaqwaan yang sudah relatif lebih kokoh. Namun bagaimana halnya jika siaran tersebut menjadi tontonan anak-anak yang masih labil keimanan dan ketaqwaannya?
Berpuasa memang membuat tubuh menjadi lemas. Akibatnya ketika sore hari setelah melakukan aktivitas, banyak anggota keluarga yang akhirnya lebih memilih untuk menyelingi kegiatan ibadah puasa dengan bersantai di depan televisi sambil menunggu bedug maghrib.
Memang tak salah jika seseorang ingin melepas lelah sambil menonton tayangan televisi di bulan yang penuh rahmat ini. Tapi kenyataannya tak banyak stasiun televisi menayangkan acara yang sesuai dengan suasana bulan Ramadhan. Apalagi jika acara yang tak sesuai dengan nilai-nilai di bulan ini ditonton anak di bawah umur. Percuma saja jika kita selalu menyampaikan pada si kecil untuk menghormati orangtua, sedangkan tayangan di televisi yang kerap mengikutsertakan para selebriti serta pelawak kerap memperlakukan orangtua di antara mereka dengan kurang hormat, bahkan mengolok-olok mereka.
Simak saja pantauan yang dilakukan Depkominfo bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada bulan puasa tahun lalu. Mereka menengarai adanya 802 acara bermasalah yang ditayangkan berbagai stasiun televisi di Indonesia di 10 hari pertama bulan Ramadhan. Perincian yang dikemukakan saat itu adalah 59,4 persen berisi adegan kekerasan psikis, 23,7 persen berisi adegan kekerasan fisik, 12 persen adalah adegan cabul, dan 5 persen adegan mistis. Selain itu juga dilakukan pemantauan terhadap acara komedi dan kuis. Ternyata pada dua tipe program acara tersebut terdapat hal yang kurang baik karena mengandung kultur mencela dan dorongan untuk menjadi konsumtif.
Memang tak semua stasiun televisi menyiarkan acara yang menyimpang seperti di atas. Beberapa masih menyiarkan acara ceramah agama atau kajian tafsir dari ulama-ulama ternama maupun sinetron agama yang mendidik. Namun, jumlah tayangan ini masihlah sangat sedikit dibandingkan dengan acara yang bersifat komedi maupun sinetron religi yang ceritanya tak jauh berbeda dengan sinetron pada umumnya, hanya kemasan luarnya disesuaikan dengan suasana bulan Ramadhan. Yang menjadi masalah adalah tak banyak perubahan yang terjadi dari tahun ke tahun. Sehingga lagi-lagi kita harus mengonsumsi tayangan yang sungguh berlawanan dengan nilai-nilai yang ingin kita raih di bulan suci.
Metamorfosis Sinetron
Tak mudah untuk menghindari tayangan yang kurang mendidik bagi anak di bulan Ramadhan. Karena itu sebaiknya orangtua berperan aktif, di antaranya dengan melakukan pendampingan pada anak saat menonton televisi. Dengan cara ini orangtua dapat langsung meluruskan pendapat salah yang dapat ditangkap si anak saat menonton tayangan yang kurang mendidik.
Terkadang, alih-alih menyemarakkan Ramadhan, tayangan-tayangan televisi justru jauh dari nilai-nilai Islam pada umumnya dan khususnya nilai yang dikandung oleh bulan Ramadhan. Tayangan yang katanya sinetron religi, secara substansi justru menampilkan wajah Islam dan atau umat Islam yang lemah, jauh dari kesantunan, keluarga-keluarga Islam yang ditampilkan sebagai keluarga yang amburadul, penuh kedengkian, suka bertengkar, ndeso atau tokoh-tokoh protagonis yang justru lemah, tidak berdaya, bodoh dan sering dianiaya.
Hal ini memperlihatkan suatu kenyataan bahwa betapa buruknya sinetron kita saat ini, pasti saja di dalamnya selalu menampilkan sesuatu hal yang berbau kebencian, permusuhan dan keangkuhan. Baik sinetron tersebut menceritakan kisah percintaan ataupun kisah komedi bahkan religi. Pernahkah kita melihat sinetron yang bersih dari aroma-aroma kebencian tersebut? Rasanya sutradara, penulis naskah dan produser kurang afdol bila tidak menaburkan bumbu-bumbu seperti itu dalam karyanya.
Ditambah lagi saat ini sangat ramai sinetron remaja yang menampilkan adegan pacaran siswa SMP, SMA, dan gaya hidup yang membuat remaja bahkan anak-anak hidup dalam khalayan. Bersekolah di tempat yang lebih mirip mal, datang ke sekolah dengan mobil mewah, berpakaian dan berdandan layaknya mau ke pesta. Terkadang dalam gaya busana meniru seragam sekolah sailormoon ala Jepang dengan rok mini berkibar di atas lutut.
Atau, sinetron-sinetron yang bermetamorfosis, mendadak berubah menjadi bernuansa Ramadhan dengan hanya mengganti kostum para pemainnya yang biasanya berbusana seksi menjadi lebih ‘Islami’ dalam berpakaian (dengan berkerudung atau berjilbab) namun tak mengubah substansi. Sungguh, tayangan-tayangan sinetron kita tak lebih mengadopsi telenovela-telenovela yang laku manis dimasa lalu atau meniru tema-tema dari film India.
Belum lagi tayangan saat sahur berisi komedi-komedi yang hanya menampilkan goyonan-guyonan tidak bermutu, slapstick, lawakan yang berisi ejekan terhadap fisik, celaan, ironi, dan semacamnya. Tayangan sahur hanya dibuat untuk ‘sekadar’ mengusir kantuk. Belum lagi para ustadz yang diundang sebagai narasumber tak jarang justru lebih banyak diam dan terdominasi dengan banyolan-banyolan para selebritis yang menjadi bintang tamu.
Peran KPI
Menurut hasil penelitian (2009), jumlah pemirsa televisi di bulan Ramadhan melonjak secara signifikan, sedangkan acara yang digemari adalah sinetron. Jumlah pemirsa televisi memperlihatkan kenaikan sampai dengan rata-rata 12,9 persen dari hari biasa dari total populasi pesawat televisi (TV) yang berjumlah sekitar 42,6 juta unit. Atau artinya, menurut data dari AGB Nielsen Media Research, terdapat penambahan sejumlah 5,5 juta orang menonton TV setiap harinya ketika bulan Ramadhan.
Kebanyakan penonton TV saat Ramadhan tidak berbeda dengan penonton TV pada umumnya, yaitu perempuan dari kelas menengah bawah berusia 10-14 tahun dan 40 tahun ke atas. Dengan profil pemirsa tersebut, sinetron masih menjadi program yang paling banyak ditonton di sepanjang waktu siaran.
UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta, melalui Program Studi Ilmu Komunikasi sejak tahun 2006 sudah melakukan kajian analisis tayangan-tayangan televisi selama bulan Ramadhan. Penelitian dilakukan secara acak terhadap program-program di delapan stasiun televisi yang terdiri dari sinetron, musik, variety show, kuis, dan infotainment. Hasilnya, ditemukan bahwa kebanyakan tayangan televsi tidak mendidik pemirsa mengenai nilai-nilai moral dan religius Ramadhan. Bahkan, tayangan-tayangan gosip malah masih memuat cerita perilaku bebas, perselingkuhan, atau pergunjingan konflik keluarga, yang jauh dari nilai-nilai Islami.
Tayangan paling tidak mendidik adalah yang berformat komedi slapstik karena banyak menggunakan kata-kata kasar, makian, melecehkan kaum disabel (cacat tubuh), mengejek bentuk fisik (bentuk gigi, bibir, hidung, kepala, hingga berat badan), mengeksploitasi kaum waria, serta menertawakan kemiskinan. Acara musik dangdut juga seakan menjadi tayangan pornoaksi dengan menampilkan penyanyi dengan busana seksi dan goyangan erotis.
Tayangan televisi kita tampaknya semakin tidak berbobot. Tayangan murahan hingga iklan menyesatkan menjadi ‘santapan’ setiap hari keluarga di Indonesia. Karenanya untuk mengembalikan acara-acara televisi di bulan Ramadhan supaya selaras dengan makna dan hakikat Ramadhan, perlu pengawasan dan koordinasi bersama antara MUI (Majelis Ulama Indonesia), KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), dan LSF (Lembaga Sensor Film) guna menyaring acara-acara televisi sebelum disiarkan secara luas ke publik.
KPI saat ini sama sekali tidak berfungsi secara maksimal dalam mengawasi dan menjaga kualitas penyiaran. Pemerintah pun tidak bisa berbuat apa-apa, sementara tayangan televisi semakin jauh dari fungsi edukasi. Jika seandainya KPI diberi wewenang untuk menghentikan suatu tayangan televisi setelah adanya pengaduan dari masyarakat, tentu KPI bukan sekadar sebagai macan ompong yang hanya bisa berkoar tanpa daya.
Jika KPI diberi wewenang yang lebih, maka beberapa tahun ke depan kita tidak akan melihat lagi tayangan televisi yang sifatnya picisan dengan kualitas rendahan. Tetapi kita akan dapat menonton dan menikmati siaran-siaran televisi bersama keluarga dengan tayangan yang berkualitas tinggi karena mengandung tujuan filosofi hidup dalam beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. ***