Tuduhan Plagiat atau Pembunuhan Karakter?

Tuduhan Plagiat atau Pembunuhan Karakter?
Oleh : Fadil Abidin

            Ada seorang teman (sebut saja AR) yang baru saja lulus kuliah S1, sambil menunggu panggilan kerja maka ia pun berinisiatif menulis artikel dan mengirimkan ke sebuah surat kabar. Setelah beberapa kali mencoba, maka tulisan artikel karyanya dimuat. Sejak itu pun ia mulai menekuni dunia tulis-menulis.

            Mungkin karena bakat atau karena situasi dan kondisi yang memaksa, maka AR seperti “kesetanan” dalam menulis. Dan hasilnya hampir setiap minggu ada saja karyanya yang dimuat. Setiap bulan ada sekitar 4-6 artikel yang dimuat di surat kabar, sesuatu yang luar biasa bagi seorang pemula. Tapi hal tersebut hanya berlangsung kira-kira 5-6 bulan. Setelah itu mendadak nama AR “hilang” dari peredaran.
            Karena kesibukan sebagai guru dan peserta program PSKGJ Unimed, saya baru bisa mengunjunginya beberapa waktu lalu. Saya menanyakan kenapa tidak menulis lagi? Ia menjawab sudah mendapat kerja dan sibuk dengan pekerjaannya tersebut. Saya lalu bertanya lagi, menulis kan bisa menjadi pekerjaan sampingan yang bisa memberikan kepuasan batin dan menghasilkan uang juga?
Setelah saya desak terus, akhirnya ia menyerah. Ia dituduh melakukan plagiat dan namanya di-black list. Padahal ia merasa tidak melakukan plagiat. Ia merasa karakternya telah  dibunuh dan kini telah mati. Jika dulu ia suka membaca dan menulis, kini ia membenci bahkan   muak membaca artikel di koran. Bahkan ia bersumpah tak mau menulis lagi! 
Ia pun lalu menunjukkan surat e-mail dari redaksi yang berasal dari seorang pembaca yang mengadukannya melakukan plagiat (nama dan alamat e-mail pelapor dirahasiakan oleh redaksi). Saya takjub karena si pelapor barangkali “fans berat” AR. Coba bayangkan ada sekitar 5 artikel karya AR yang dilaporkannya. Ia mengajukan bukti-bukti cuplikan dari blogs, wordpress, situs berita, dan website lainnya bahwa karya AR menjiplak dari aneka situs di internet tersebut. Wow! Ada apa ini?
Saya lalu bercanda, bahwa si pelapor barangkali cewek (dari rentetan bahasa yang digunakan, saya menduga cewek) yang pernah kau sakiti sehingga balas dendam. Ia hanya tersenyum dan membantah.    
Sekilas saya membandingkan tulisan AR dengan sumber “plagiat”. Ternyata nggak sama-sama amat! AR mengaku biasanya menggunakan sekitar 5-7 sumber tulisan untuk membuat satu artikel yang panjangnya 3-4 halaman folio. Terkadang ia menyebutkan sumber dan terkadang ia lalai mencantumkan sumbernya ketika melakukan copy paste di internet. Dan celakanya, yang lalai inilah yang kemudian menjadi “sasaran tembak” si pelapor bahwa AR melakukan plagiat.
Apa Itu Plagiat?
Plagiat atau plagiarisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ialah penjiplakan yang melanggar hak cipta, yaitu hak seseorang atas hasil penemuannya yang dilindungi oleh undang-undang. Plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan / pendapat sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri.
Dengan merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebenarnya hampir setiap hari kita menyaksikan plagiarisme atau plagiat, baik yang sengaja maupun yang tidak. Para pakar dalam berbagai bidang tidak jarang melontarkan pendapat yang sebenarnya merupakan hasil penelitian atau pendapat orang lain sebelumnya untuk menganalisis atau menjelaskan suatu topik aktual di bidang tertentu. Pada umumnya mereka ‘malas’ menjelaskan bahwa analisis atau pendapat itu berasal dari orang lain dan mereka hanya sekadar mengulangi atau meminjam pendapat tersebut (di televisi kita sering menyaksikannya).
Demikian juga seorang pejabat yang membuka suatu pertemuan ilmiah, bisa mengambil secara tak sengaja pendapat orang lain. Hal itu dapat terjadi, misalnya, apabila konsep sambutan tersebut dibuat oleh orang lain (staf yang dia tunjuk untuk itu), yang barangkali kurang faham akan tatakrama pengutipan pendapat orang lain.
Dalam keseharian para peneliti di lingkungannya, plagiarisme bisa terjadi di antara sesama mereka, misalnya melalui diskusi yang bisa melahirkan gagasan-gagasan asli dari seseorang tetapi gagasan-gagasan itu kemudian menjadi ‘milik bersama’ atau milik seseorang yang sebenarnya tidak berhak (Sumber: http://niasonline.net/2008/07/15/plagiarisme/).
Sehingga yang digolongkan sebagai plagiarisme antara lain menggunakan tulisan orang lain secara mentah, tanpa memberikan tanda jelas (misalnya dengan menggunakan tanda kutip atau blok alinea yang berbeda) bahwa teks tersebut diambil persis dari tulisan lain dan mengambil gagasan orang lain tanpa memberikan anotasi yang cukup tentang sumbernya.
Dalam buku Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah, Felicia Utorodewo dkk. menggolongkan hal-hal berikut sebagai tindakan plagiarisme : mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri, mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri, mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri, mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri,menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya, meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya, dan meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.
Hal-hal yang tidak tergolong plagiarisme : menggunakan informasi berupa fakta umum atau yang sudah diketahui secara luas, menuliskan kembali (dengan mengubah kalimat atau parafrase) opini orang lain dengan memberikan sumber jelas, mengutip secukupnya tulisan orang lain dengan memberikan tanda batas jelas bagian kutipan dan menuliskan sumbernya (Wikipedia.org.id).
Copy Paste, Boleh Tidak?
Saya pribadi lebih condong membatasi  copy paste, bukan melarangnya. Karena jika hal ini ditinjau dari  UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta, pasal 15 sebenarnya juga membenarkan copy paste. Copy paste diperkenankan  untuk  kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta. Guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar pengadilan, keperluan ceramah/pengajaran yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Saya sebagai guru juga kerap melakukan copy paste. Misalnya ketika membuat RPP, silabus atau program pembelajaran yang kemudian saya kembangkan sendiri sesuai dengan kondisi siswa dan fasilitas sekolah (dan saya tidak perlu menyebutkan sumbernya). Ketika membuat rangkuman pelajaran, praktikum atau membuat soal-soal ujian terkadang saya juga melakukan copy paste dari BSE (buku sekolah elektronik) atau internet. 
Sebagai penulis yang sudah 10 tahun aktif di kegiatan menulis artikel pun saya pernah dituduh plagiat. Tapi saya kemudian melakukan konfirmasi dan penjelasan kepada redaksi. Terkadang ada pihak-pihak yang memang “tidak suka” sehingga mencari kesalahan atau memang ketidaktahuan batas antara plagiat dan mengutip tulisan atau fakta yang sudah diketahui secara umum (walaupun pada kalangan terbatas).  
Misalnya ketika saya menulis, bahwa pohon berfungsi untuk menahan tanah longsor , banjir, menjaga resapan air dan menjaga kualitas udara. Ada pembaca yang melaporkan tulisan ini sebagai plagiat karena pernah ditulis oleh S (misalnya) dan tidak mencantumkan sumbernya.  Ini kan konyol namanya?
Bagi saya, menulis itu adalah ekspresi jiwa bahwa “aku menulis maka aku ada”. Dan honorarium sebagai “efek samping”-nya walaupun penting tapi tidak menjadi hal yang utama.  Sehingga setelah 10 tahun menulis di Harian Analisa Medan walaupun honor tak naik, tak menjadi masalah. Bahkan ada penulis pemula yang honorariumnya melebihi saya. Terkadang saya tidak menghitungnya, pernah saya menerima honor kurang, bagian tata usaha kurang cermat menghitungnya (dan tidak ada ganti rugi). Tapi suatu kali pernah berlebih dan diharuskan mengganti, itu juga tak menjadi masalah. Jika honorarium menjadi fokus utama, maka akan mudah terjebak melakukan plagiat.     
Tapi juga tuduhan plagiat bisa berdampak sangat serius, untuk itu harus berhati-hati sebelum melaporkan atau menjatuhkan “vonis”. Jika hal tersebut tidak benar, maka ini bukan saja fitnah, tapi sangat merugikan karena bisa membunuh karakter seseorang.***