Zakat dan Kepedulian Sosial

Zakat dan Kepedulian Sosial
Oleh : Fadil Abidin

Tanpa terasa, waktu begitu cepat berlalu dan hampir sebulan penuh seluruh umat Muslim menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Berkah Ramadhan ini akan segera  meninggalkan segenap umat Muslim sebelum berjumpa kembali satu tahun mendatang. Ada satu kewajiban lagi yang harus ditunaikan umat Muslim, yakni berzakat fitrah.
Inilah salah satu kewajiban di bulan Ramadhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab pahala orang yang berpuasa akan tergantung di langit jika tidak ditunaikan zakat fitrah. Jadi, bisa dikatakan zakat fitrah merupakan rangkaian kesempurnaan ibadah seorang Muslim ketika menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa belum sempurna amal ibadah seseorang yang dilakukan pada bulan Ramadan sebelum dia menunaikan kewajiban zakat fitrah. Ini wajib hukumnya bagi setiap umat Muslim yang mampu. Yang dimaksud 'mampu' adalah mereka yang sehari semalam dikaruniai makanan dan ada kelebihan dari yang dimakan. Mereka itulah yang kemudian wajib berzakat fitrah. Berdasarkan definisi ’mampu” ini, maka nyaris seluruh umat Muslim wajib berzakat fitrah. Sehingga zakat fitrah bisa disebut juga sebagai zakat diri.
Sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW, zakat fitrah harus ditunaikan dan disalurkan sebelum pelaksanaan salat Idul Fitri. Pembayarannya dengan menggunakan komponen bahan makanan pokok, seperti beras, korma, gandum dan sebagainya. Disunnahkan untuk tidak memakai uang sebenarnya, karena pada zaman Rasul zakat fitrah ditunaikan dengan bahan makanan. Tetapi karena perkembangan zaman, sementara banyak ulama semisal Yusuf Qardhawi dan sebagainya, membolehkan membayar dengan uang senilai 2,7 kg bahan makanan pokok per jiwa.
Tujuan dari zakat fitrah ini pada awalnya adalah agar pada Idul Fitri nanti, jangan sampai ada kaum fakir miskin yang tidak menikmati rezeki. Sehari itu saja. Diharapkan dengan berbagi kebahagiaan di hari fitri, hubungan antar sesama dapat terjalin dengan baik, terutama muncul semangat solidaritas dan kepedulian terhadap kaum tidak berpunya. Oleh karenanya menjadi tanggungjwab bersama agar pada hari fitri nanti semua merasakan kenikmatan rezeki. Terlebih ketika kondisi dan situasi perekonomian bangsa sedang suram, jumlah rakyat miskin juga diperkirakan bertambah dan pengangguran terus meningkat, maka kewajiban zakat fitrah harus benar-benar ditunaikan.
Menggugah Kesadaran
Kewajiban zakat fitrah yang hanya sebesar 2,7 kg bahan makanan pokok atau uang dengan nilai sama per jiwanya sebenarnya itu simbolis dan sebagai stimulasi saja sifatnya. Namun lebih dari itu, diharapkan melalui zakat fitrah, jiwa sosial seseorang terketuk untuk selanjutnya bersedia mengeluarkan zakat maal (zakat harta), zakat profesi, infak dan sedekah serta amal jariyah lainnya yang lebih besar.
Pesan inti dari perintah berzakat fitrah adalah untuk menggugah kedermawanan dan kepdulian sosial. KH Amidhan, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahkan mengatakan zakat fitrah sebenarnya tak lebih dari simbol kepedulian sesaat. "Tapi dalam jangka panjang harus ada tindak lanjut yang signifikan," ujarnya. Semisal dengan membayar zakat maal yang berupa hisab (perhitungan) dari harta yang tentunya jumlahnya bisa lebih besar. Oleh karenanya sebagai upaya mendorong peningkatan zakat, perlu ada sosialisasi zakat secara berkesinambungan demi terwujudnya pemerataan keadilan sosial.
Terkait esensi kewajiban zakat fitrah, sebenarnya ada dua tujuan. Pertama, secara sosial zakat ini adalah untuk kepentingan kaum miskin, dan kedua, sebagai sarana 'membersihkan' harta seseorang. Jadi zakat fitrah wajib bagi umat Muslim agar pada hari Idul Fitri nanti tidak ada lagi yang meminta-minta dan tidak merasakan kebahagiaan.
Jika dilihat secara perorangan, memang jumlah 2,7 kg beras terasa kecil sekali, tapi bila diakumulasikan jumlahnya cukup besar dan diharapkan bisa meringankan beban fakir miskin. Sementara kalau mau membayar lebih, tentu boleh saja tetapi melalui komponen sedekah, infak dan sebagainya.
Zakat fitrah berbeda dengan zakat maal. Zakat fitrah ini kaitannya dengan fitrah manusia sebagai diri individu yang beragama Islam. Mereka yang telah menjadikan agama Islam sebagai pedoman hidup, harus secara konsekuen dan konsisten melaksanakan segala perintah-Nya termasuk berpuasa di bulan Ramadhan. Sebagai ganjaran pahala bagi yang melaksanakan puasa dan amalan lain di bulan suci itu, Allah SWT sudah menjanjikan untuk menghapuskan dosa-dosanya di masa lalu dan kembali fitrah (suci seperti bayi yang baru dilahirkan). Akan tetapi, belumlah sempurna pahala Ramadhan tersebut jika zakat fitrah belum ditunaikan. Dengan demikian, zakat fitrah menjadi kewajiban bagi umat Muslim tanpa kecuali.
Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak berpunya? Sesuai ajaran Islam ’tangan di atas lebih mulia dari tangan yang berada di bawah’. Tapi bagi kaum fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya, tetaplah merupakan penerima zakat fitrah. Namun pesan yang hendak disampaikan adalah, akan lebih baik jika tidak selamanya mereka menjadi penerima zakat, dalam artian perlu ada peningkatan taraf hidup.
Islam tidak memerintahkan agar orang menerima zakat melainkan mengeluarkan zakat. Di sinilah selanjutnya peran dan tanggung jawab pemerintah untuk mengurusi para fakir miskin tersebut, antara lain melalui pengelolaan zakat secara benar. Sehingga untuk mencapai tingkatan muzakki (orang yang berzakat), seorang mustahik (orang yang menerima zakat) harus ditransformasikan secara bertahap agar menjadi orang yang mampu dan keluar dari kemiskinannya untuk kemudian bisa menjadi seorang muzakki.
Maka dari itu, momentum Ramadan ini amat tepat menjadi pijakan guna memantapkan kembali komitmen kepedulian sosial umat. Harusnya dalam konteks kemiskinan yang kian meningkat dewasa ini, para pihak terkait berupaya lebih keras menggolkan aturan zakat sebagai substitusi pembayaran pajak. Kalau ini bisa terlaksana, tentu akan berdampak signifikan bagi peningkatan penerimaan zakat. Zakat fitrah memang kewajiban utama, namun hendaknya bukan akhir dari segalanya. Ditekankan, zakat fitrah sejatinya menjadi pemicu tumbuhnya semangat berderma yang jika itu sudah tertanam, maka selepas Ramadhan, berzakat, berinfak dan bersedekah akan terus dilakukan.
Hubungan Sosial
Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan vertikal seorang hamba dengan Tuhannya (hablum minallah) tetapi juga memperhatikan hubungan sosial (hablum
minan-naas)
. Salah satu bentuk kepedulian Islam terhadap hubungan sesama manusia adalah ditetapkannya aturan zakat.
Dalam Islam, zakat memiliki posisi yang sangat penting. Ia tidak saja sebagai ibadah vertikal kepada Allah, tetapi juga berfungsi sebagai ibadah sosial dalam rangka mengharmoniskan hubungan horizontal antar sesama manusia. Zakat adalah perintah yang di dalamnya terkandung semangat kesejahteraan dan keadilan dalam kehidupan sosial.
Al-Qur’an senantiasa mensejajarkan kata salat dan zakat. Sekitar 27 ayat menjelaskan  tentang kewajiban salat dan zakat disebut secara berurutan (Yusuf Qardhawi : 1973). Kedua perintah itu, dalam Al-Qur’an selalu memperlihatkan dirinya sebagai “inti” dari seluruh ajaran Islam. Sedangkan Rasulullah meletakkan salat dan zakat sebagai pilar  Islam setelah pengakuan keesaan Tuhan. Jika salat bertujuan untuk meneguhkan keislaman  pada dimensi spiritual personal, maka zakat berfungsi sebagai aktualisasi keislaman yang terkait dengan realitas sosial.
Beragama yang baik ialah yang melaksanakan segala ritual dengan istiqamah (konsisten), dan mewujudkan maknanya dengan sikap sosial nyata demi kemaslahatan manusia. Al-Qur’an menyatakan bahwa kesediaan berzakat menjadi ciri orang yang mendapatkan kebahagiaan (QS.23 : 4). Orang yang berzakat dianggap sebagai orang yang memperhatikan hak fakir miskin (QS. 9 : 60), sekaligus membersihkan, menyuburkan dan mengembangkan hartanya serta mensucikan jiwanya (QS. 9 : 103 dan QS. 30 : 39).
Ada beberapa hikmah yang terkandung dari kewajiban berzakat, di antaranya: Pertama, sebagai sarana untuk membersihkan harta. Kedua, sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan. Ketiga, menghindari kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Keempat, mewujudkan keseimbangan dalam distribusi harta, dan  keseimbangan tanggung jawab individu dalam masyarakat. Dan kelima, mewujudukan
solidaritas sosial, rasa kemanusian dan keadilan, ukhuwah islamiyah, persatuan umat, dan pengikat batin antara yang kaya dengan yang miskin. ***




* Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan, guru dan mahasiswa
               FIP-PSKGJ Unimed