Dari Kleptokrasi Menuju Mafiosokrasi

Dari Kleptokrasi Menuju Mafiosokrasi
Oleh : Fadil Abidin

            Ditetapkannya Angelina Sondakh, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat,  oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus suap Wisma Atlet Sea Games (3/2/2012) membuktikan bahwa negara ini tidak hanya dikuasai oleh para klepto (pencuri atau maling). Mereka telah berevolusi, dari klepto menjadi mafioso (organisasinya disebut mafia).

            Modus operandi para mafioso tentu lebih canggih dari klepto. Mereka beroperasi secara rahasia dan teroganisasi rapi. Mereka biasanya memakai bahasa sandi yang hanya dimengerti oleh anggota internal di kalangannya sendiri. Selama persidangan tipikor (tindak pidana korupsi) untuk tersangka mantan bendahara umum Partai Demokrat, Nazaruddin, maupun Mindo Rosalina, terungkap istilah seperti dalam film mafia: bos besar, ketua besar, apel malang, apel washington, putri, Bali, departemen kebugaran dan sebagainya.
            Uang suap dari manipulasi proyek Wisma Atlet Sea Games konon mengalir ke pihak-pihak yang bertarung dalam perebutan kursi Ketua Umum Partai Demokrat. Dan uang suap ternyata lebih banyak mengalir kepada “ketua besar” yang kemudian terpilih menjadi ketua umum. Hal ini tentu saja memperkuat anggapan publik bahwa para pemimpin negara ini sesungguhnya para klepto dan mafioso. 
            Jadi demokrasi di negeri ini lebih dari sekadar kleptokrasi (pemerintahan para maling) tapi telah berevolusi menjadi mafiosokrasi (pemerintahan para mafioso). Para mafioso membentuk jaringan yang rapi lewat cara-cara demokrasi formal untuk meraih kekuasaan. Mereka menggunakan uang haram dari berbagai tindak suap-menyuap, korupsi, mark up proyek dan penyelewengan anggaran untuk biaya kampanye dan politik uang, tujuannya adalah meraih kekuasaan.
            Kekuasaan ini diperlukan untuk melanggengkan hegemoni, baik kekuasaan politik, wewenang, kekuasaan kapital maupun kekuasaan untuk memonopoli hukum. Hukum dan peradilan perlu dikuasai untuk melindungi kolega-kolega mereka yang tersangkut masalah hukum. Minimal memberikan hukuman yang ringan, dan ketika divonis penjara sekalipun mereka bisa keluar-masuk tahanan.
Korupsi Politik  
Dalam arti yang luas, korupsi politik adalah penyalahgunaan jabatan politik untuk keuntungan pribadi. Penggunaan uang haram dari praktik tercela untuk meraih kekuasaan atau jabatan politik juga bisa dikatakan korupsi politik. Semua bentuk pemerintahan sebenarnya rentan terhadap praktik korupsi jenis ini. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sederhana atau kompleks, terorganisasi atau tidak. Uang haram dari hasil korupsi biasanya mengalir deras ketika terjadi pertarungan perebutan kursi ketua umum sebuah partai politik, kampanye pemilu maupun pemilihan kepala daerah.
Uang mengalir kepada peserta kongres pemilihan ketua umum suatu parpol untuk mendukung suatu calon. Tidak sedikit juga caleg (calon anggota lesgislatif) yang menggunakan uang haram untuk mempertahankan kursinya. Calon kepala daerah juga melakukan hal yang sama. Calon PNS atau PNS juga melakukan sogokan agar diterima menjadi PNS atau agar bisa naik jabatan. Pengusaha juga melakukan suap agar menang tender proyek pemerintahan.
Sistem suksesi jabatan publik yang sangat korupstif ini pada akhirnya hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang korupstif pula. Sistem ini melahirkan sebuah sistem pemerintahan yang dikendalikan para mafioso. Praktik korupsi, pungli, suap-menyuap dan upeti menjadi suatu keharusan dalam urusan apapun, dan pada akhirnya sudah dianggap biasa.
Bukan peperangan atau miskinnya sumber daya alam, korupsi merupakan penghalang serius terhadap pembangunan menuju masyarakat sejahtera. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi tapi karena upeti. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Nafsu Hewaniah
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor industri, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal (pungli), ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian karena dianggap melakukan suap ketika ada penyelidikan.
Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut korupsi yang dilakukan politisi. Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politik.
Korupsi merupakan penyakit kronis yang mempunyai banyak kemudharatan. Berawal dari nafsu hewaniah seseorang, dampak korupsi dapat dirasakan oleh berbagai elemen masyarakat. Selain negara mengalami kerugian akibat tindak korupsi, ulah oknum yang tak bertanggung jawab ini mempersempit ruang hidup masyarakat bawah. Bagaimana tidak? Uang yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat masuk ke kantung pribadi. Sehingga, angka kemiskinan di negeri ini tak kunjung turun secara signifikan.
Dampak negatif yang diakibatkan oleh tindakan korupsi ternyata tak lepas dari keterkaitannya dengan politik, antara lain secara lebih khusus melalui uang. Secara umum, cara memperoleh kekuasaan di negeri ini adalah dengan uang. Jangankan jabatan ketua umum parpol, untuk jabatan ketua parpol tingkat kecamatan saja seseorang harus mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk “menjaring” kader.
Singkat kata, korupsi dapat muncul sebagai imbas dari pelanggaran politik, seperti money politic. Politik uang dapat berjalan ketika hukum di negeri ini lemah. Bukan hanya itu, dampak politik uang yang berimbas pada naluri untuk melakukan korupsi, dengan dalih mereka telah mengeluarkan banyak uang untuk pencalonan diri, maka ia akan secepat mungkin mencari pengganti dana yang telah dikeluarkan tersebut.
Memberantas korupsi tidak hanya sebatas mengganti undang-undang. Mengubah norma itu gampang, yang sulit adalah menegakkannya. Motto peradilan Inggris mengajarkan pada kita, "Berikan aku hakim, polisi, atau jaksa yang baik, meskipun dengan hukum yang buruk."
Pemberantasan korupsi di Indonesia masih dalam taraf normatif, legal-formal dan dengan pembentukan lembaga baru semacam KPK. Tapi kesemuanya belum efektif memberantas korupsi, terutama korupsi yang dilakukan politisi dan pejabat publik. Modus operandi tindak korupsi di negeri ini kian canggih, jika dahulu hanya sekelas maling kini telah mengarah kepada praktik mafia, dari kleptokrasi menuju mafiosokrasi. ***