Negara Autopilot, Negara Tanpa Nahkoda
Oleh : Fadil Abidin
“Negara tanpa pemimpin, negara tanpa nahkoda”
Bunyi slogan dan spanduk yang terpasang di beberapa titik di Jakarta pada akhir Januari lalu kemudian menjadi perbincangan hangat. Istilah negara tanpa pemimpin, negara tanpa nahkoda, kemudian dikenal sebagai negara autopilot. Istilah yang bernada sarkastis itu bermakna negeri ini berjalan nyaris tanpa pemimpin.
Rakyat di negeri ini niscaya bisa hidup dan mengurus diri sendiri tanpa perlu adanya kehadiran pemerintah. Toh, ketika rakyat kehilangan harta benda, mereka nyaris tak pernah melapor kepada aparat kepolisian karena adagium “kemalingan ayam, hilang kambing” begitu lekat di benak rakyat.
Ketika rakyat tertindas dan diambil haknya, mereka tidak mau berperkara di pengadilan. Di negara ini peradilan bak belantara mafia yang hanya berpihak kepada pemilik kekuasaan dan uang. Dengan kondisi seperti ini, siapa yang butuh pemimpin? Negara ini bak berjalan sendiri tanpa kontribusi para pemimpinnya. Setiap kali masalah datang menghadang, masyarakatlah yang dituntut untuk menyelesaikannya, entah itu dengan cara damai, ataupun kekerasan.
Ketika rakyat marah, pemerintah berbicara lewat moncong-moncong senjata untuk membungkam. Rakyat tak gentar dan membalas dengan serangan yang lebih hebat dengan dukungan massa yang lebih besar. Lihatlah kasus penembakan di Pelabuhan Sape dan berakhir dengan pembakaran kantor bupati di Bima oleh massa. Ini membuktikan bahwa rakyat di sana tak butuh pemerintah daerah.
Selama ini rakyat terkesan dan merasakan berjalan sendiri, berjuang sendiri untuk mengatasi kemiskinan, kemelaratan dan ketidakadilan dengan caranya sendiri. Enak betul jadi pemerintah di negeri ini. Pemerintah sepertinya tak perlu repot-repot mengatur negara. Ibarat pesawat yang bergerak dengan autopilot, negara ini dapat berjalan otomatis tanpa pemerintahan.
Negara Gagal
Pemerintahan saat ini dituding lebih mengutamakan pencitraan ketimbang kepentingan rakyat. Lembaga wakil rakyat seperti DPR, justru tidak mencerminkan sebagai wakil rakyat. Tudingan sebagai lembaga yang korup, bergaya hidup hedonis, skandal korupsi, mafia anggaran, tuntutan fasilitas yang mengada-ada, hingga permintaan pembangunan gedung yang baru. Lembaga legislatif pun dituding sibuk mengurusi kepentingan mereka sendiri.
Bangsa dan negara ini sudah sangat lama dililit aneka macam kebobrokan yang membekap semua lini kehidupan masyarakat, di lini ekonomi, sosial, hukum, politik, kehormatan bangsa dan lain-lain. Karena itu, banyak kalangan melabelkan negara ini sebagai negara gagal, negara lemah, atau yang belakangan ini dikatakan sebagai negera autopilot.
Padahal negara ini, sebagaimana juga negara-negara lainnya, didirikan dan dibentuk berdasarkan suatu kontrak sosial, yang mengatakan negara memberi perlindungan kepada segenap warga negara dan seluruh tumpah darah sebagai kewajiban utamanya. Sebagai imbangannya warga negara berkewajiban patuh kepada negara dengan mengikuti peraturan-peraturan yang digariskan negara dalam kontrak sosial itu.
Di Indonesia, fungsi, tugas, dan peran negara sebagai pelindung dan pemberi jaminan keamanan dan pencipta kesejahteraan diamanatkan dalam UUD 1945, maka segala ketidakadilan dan ketidaksejahteraan rakyat merupakan pengabaian tugas, fungsi, dan peran negara terhadap kontrak sosial bernegara.
Pemerintah yang tidak menjalankan fungsi dan tugas-tugasnya dikatakan juga sebagai negera autopilot atau sebagai negara gagal. Mengapa? Sebab dalam teori kontrak sosial Thomas Hobbes, John Lock, dan Jean Jaeques Rousseau, yang kemudian dipadukan dalam UUD 1945 mengatakan tujuan didirikan negara adalah to protect its people from violence and other kinds of harm (untuk melindungi warga negara dari segala bentuk kekerasan, ketidaknyamanan, atau lainnya).
Bagaimana indikasi sesungguhnya yang memotretkan negara gagal itu? Menurut sebuah studi yang dilakukan World Economic Forum dan Universitas Harvard (2002) terhadap 59 negara (Indonesia termasuk di dalamnya), berhasil dicirikan apa itu negara gagal: tingginya angka kriminalitas dan kekerasan publik, suap dan korupsi merajalela, kemiskinan masyarakat yang merebak, dan ketidakpastian yang tinggi.
Memimpin dan Menderita
Setiap penyelenggara negara harus paham bahwa dirinya ibarat seekor tuna di lautan hiu. Dirinya secara permanen selalu berada di bawah tekanan, kritikan dan celaan rakyat. Apalagi ketika ketakadilan merajalela. Kita harus paham satu hal. Wibawa tak dapat dibeli. Kebijakan tak dapat diserahkan kepada konsultan untuk dipikirkan dan dibedaki. Kemiskinan tidak sekadar angka-angka statistik yang mudah direkayasa.
Saat ini rakyat gampang sekali marah, mengganas, membakar dan anarkhis ketika republik seperti berjalan tanpa nahkoda. Mereka mengganas ketika pemerintah seakan tak hadir untuk mereka. Republik ini gemuk instruksi tetapi kurus implementasi. Lembaga lahir dan mati silih berganti. Alih-alih mengatasi kemiskinan struktural, kita lebih suka membuat struktur baru yang memboroskan anggaran.
Penyelenggara negara terlalu anonim untuk dijadikan tertuduh. Setiap kapal pasti punya nahkoda. Setiap negara punya kepala negara. Kepala negara dituntut mengendalikan republik saat badai. Dia juga dituntut dapat mengantisipasi badai dan segala gelombang samudera.
Para pemimpin di negeri ini harus memahami kredo dari KH Agus Salim, “leiden is lijden” (memimpin adalah menderita). Kredo tersebut terasa otentik mewakili ketulusan zamannya. Segera terbayang penderitaan Jenderal Soedirman yang memimpin perang gerilya di atas tandu. Setabah gembala ia pun berpesan, ”Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”
Zaman sudah terbalik. Suara-suara kearifan seperti itu terasa asing untuk iklim sekarang. Kredo pemimpin hari ini, ”Memimpin adalah menikmati”. Menjadi pemimpin berarti berpesta di atas penderitaan rakyat. Demokrasi Indonesia seperti baju yang dipakai terbalik, mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan.
Banyak orang berkuasa dengan mental jelata, mereka tak kuasa melayani, hanya bisa dilayani. Bagi pemimpin bermental jelata, dahulukan usaha menaikkan gaji dan tunjangan aparat-birokrat-pejabat, bangun gedung dan ruangan mewah agar wakil rakyat tak berpeluh-kesah, transaksikan alokasi anggaran untuk memperkaya penyelenggara negara dan partai, pertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan, utamakan manipulasi pencitraan.
Cukup rakyat saja yang menanggung beban derita. Biarkan rakyat Lebak, Banten, tetap hidup mengenaskan seperti zaman penjajahan. Anak-anak bangsa terus bergelantungan meniti jembatan reot, menantang maut menuju sekolahnya. Biarkan petani tergusur dari lahannya. Biarkan rakyat di sekitar pertambangan mengalami kerusakan lingkungan. Biarkan rakyat kecil dihukum berat karena tak mampu membeli “keadilan”.
Kelak, anak cucu kita hanya akan mendengar dari dongeng tentang sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi. Namun pada masanya mereka tidak akan pernah mendapati lagi ubi, beras, singkong, jagung, padi, tahu dan tempe, karena makanan tersebut kelak harus mereka beli dari luar negeri dengan harga yang tidak semua orang mampu menjangkau.
Marilah berdoa menirukan munajat para penjelajah bahari di abad kesilaman nusantara, ”Ya Tuhan, selamatkan kami. Lautan di Tanah Air ini luas dan ombaknya ganas menerjang. Bahtera kami oleng, sedang nahkodanya mencari selamat sendiri!” ***
* Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan.