Menanti Kiprah Guru dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Menanti Kiprah Guru dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Oleh : Fadil Abidin

            Pembicaraan tentang profesionalisme guru saat ini menjadi sesuatu yang mengemuka ke ruang publik seiring dengan tuntutan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Ada tudingan bahwa mutu pendidikan di Indonesia rendah salah satunya karena kualitas guru yang mengajarnya juga rendah. Survei dan penelitian oleh lembaga internasional manapun menunjukkan bahwa mutu pendidikan Indonesia memang rendah, selevel dengan negara-negara miskin di Afrika dan negara yang tengah dilanda konflik.  

Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) juga masih sangat rendah, demikian pula mutu akademik sekolah di Indonesia. Menurut data dari tahun 2004 hingga 2010, dari 117 negara yang disurvei, Indonesia selalu berada pada peringkat 110 ke bawah. Bahkan sejak tahun tahun 2005 peringkat Indonesia kalah dengan Vietnam yang baru membangun negerinya sejak 1980 setelah dilanda perang.
Padahal dari tahun ke tahun anggaran pendidikan mengalami kenaikan yang sangat signifikan dalam APBN. Tahun 2011 anggaran pendidikan mencapai Rp 266,9 triliun dan tahun 2012 akan dinaikan menjadi Rp 286,6 triliun, melewati angka 20% dari total APBN. Ironisnya, anggaran yang sangat besar tersebut ternyata belum mampu meningkatkan mutu pendidikan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, maka pemerintah memfokuskan pada peningkatan kualitas guru. Guru yang dulu secara stereotip dijuluki sebagai “Oemar Bakri” yang bersepeda butut dan gajinya kerap “disunat” lambat laun akan bermetamorfosis menjadi profesi yang mentereng tak kalah dengan dokter atau pilot. Gaji guru (PNS) ditargetkan paling rendah Rp 2,5 juta, kemudian akan ditambah setiap bulannya dengan tunjangan profesi bagi guru yang sudah mendapatkan predikat guru profesional. Jadi take home pay (THP) seorang guru paling rendah akan mencapai Rp 5 juta per bulan.
Kenaikan pendapatan tersebut tak pelak pula menimbulkan kecemburuan bagi yang lain. Ada suara-suara sumbang, bahwa guru belum pantas digaji sebesar itu karena kualitas para guru belum teruji dan terbukti dalam menaikkan mutu pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia.
Harap diketahui, jam kerja para guru per minggu rata-rata 24 jam pelajaran, 1 jam pelajaran berdurasi sekitar 35-40 menit. Seorang guru hanya “bekerja” sekitar 14-16 jam per minggu. Selain itu guru hanya mempunyai hari bekerja efektif sekitar 250 hari per tahun, jadi ada sekitar 115 hari libur dalam setahun. Secara matematis seorang guru hanya bekerja rata-rata 10,3 jam per minggu atau hanya 1,7 jam per hari dalam setahun. Jika diperinci, pemerintah membayar sekitar Rp 100.000 per jam untuk guru ketika mengajar di depan kelas.
Profesi Guru
Tapi pertanyaannya, hal yang di atas untuk guru yang bagaimana? Tentu saja guru yang menyandang predikat sebagai PNS golongan III-IV ke atas yang telah mendapat tunjangan profesi guru. Bahkan untuk beberapa guru yang golongan IV ke atas mempunyai pendapatan lebih dari itu. Sedangkan bagi guru swasta atau guru honorer, harap maklum saja.   
Bagi guru non-PNS yaitu guru swasta atau guru honorer, harus putar otak mencari tambahan uang agar bisa “bertahan hidup”. Penulis sendiri adalah guru honorer yang mengajar di sebuah SD Negeri dengan gaji yang sangat memprihatinkan, tidak lebih dari sepertiga UMP Sumut tahun 2012.    
Nasib guru non-PNS maupun honorer yang mengajar di sekolah-sekolah negeri lebih buruk ketimbang buruh outsourching. Jika buruh outsourching dapat membentuk serikat kerja, dapat perlindungan asuransi (selama masih terikat kontrak kerja), dapat melakukan demo dan banyak LSM yang melindungi mereka, maka guru-guru non-PNS dan honorer tidak ada perlindungan sedikitpun.
Keberadaan mereka sewaktu-waktu dapat didepak dari sekolah, hal ini tergantung dari selera kepala sekolah. Padahal mereka kebanyakan adalah anak-anak muda yang kreatif, tak jarang pula lulusan perguruan tinggi, lebih berdedikasi dan rajin ketimbang guru PNS. Mereka menjadi guru honorer karena keadaan terpaksa.  
Tapi bagaimanapun masih ada “untungnya juga”, karena sebagai guru banyak waktu terluang setiap harinya sehingga dapat digunakan untuk mencari uang tambahan sebagai guru les privat, mengajar di sekolah lain, atau menjalankan usaha yang lain. Penulis sendiri memilih mengajar les dan menjadi penulis lepas di berbagai media massa. Dengan demikian kemampuan intelektual dan keterampilan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi (khususnya komputer dan internet) tetap terasah.
Harap maklum, banyak guru yang menyandang predikat sebagai “guru profesional” dan mendapat tunjangan profesi sebagai guru sebesar gaji pokok, tapi dalam kenyataannya tidak pantas menyandang predikat tersebut.
Berdasarkan UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Pasal 10, menyatakan bahwa seorang guru yang profesional harus mempunyai beberapa kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Pendidikan profesi yang diamanatkan UU kemudian diartikan hanya dengan PLPG  (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) yang berlangsung sekitar 10 hari. Setelah itu guru dinyatakan lulus, mendapat sertifikat guru profesional dan berhak mendapat tunjangan profesi. Padahal dalam realitasnya, diklat tersebut nyaris tidak membawa dampak peningkatan apapun bagi guru, baik kualitas profesi, kognitif, akademik, dan pedagogik. Yang malas tetap saja malas, sistem dan metode mengajar pun tak berubah.
Implikasi Profesi
Saat ini tidaklah mengherankan jika ada murid yang lebih pintar dari gurunya. Ketika murid-murid itu sudah melek teknologi, bisa internet dan mengoperasikan komputer, sang guru justru kebanyakan gaptek (gagap teknologi). Berdasarkan penelitian Universitas Negeri Medan (Unimed, 2005), yang dimuat dalam situs pskgj-unimed.ac.id disebutkan bahwa kemampuan guru dalam penguasaan IT dan ICT atau teknologi informasi dan komunikasi sangat rendah.
Saat ini penulis menilai, ada penyimpangan tujuan dalam pemberian tunjangan profesi guru. Uang tersebut oleh pemerintah pada awalnya dapat digunakan guru secara mandiri untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, keterampilan dan wawasan dengan pembelian alat-alat IT (komputer), mengikuti kursus dan aneka seminar. Tapi dalam kenyataannya uang tersebut justru digunakan untuk hal-hal konsumtif yang justru menimbukan kecemburuan kepada pihak lain.    
Implikasi dari proses sertifikasi guru dan UU Guru dan Dosen juga mengarah kepada hal yang mengkhawatirkan. Kewajiban untuk memiliki ijazah D4/S1 membuat para guru “berburu” ijazah. Di kalangan guru terkenal dengan “STIA” (Sekolah Tidak Ijazah Ada), ini untuk menegaskan bahwa untuk meraih ijazah tersebut tidak perlu kuliah, cukup dengan membayar sekian puluh juta, sudah dapat ijazah tanpa perlu bersusah payah.
Dengan segala yang dinikmati guru tersebut maka tidaklah heran jika banyak pihak yang menggugat. Kemenpan berancana akan menaikkan standar minimal mengajar bagi para guru yang ingin disertifikasi dari 24 jam menjadi 27,5 jam dalam seminggu. Usulan Kemenpan tersebut rencananya akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2013 mendatang. (Sekolahdasar.net, 10/09/2011).
Mendikbud, Mohammad Nuh akan mengeluarkan peraturan yang mengharuskan para guru untuk mempublikasikan karya ilmiahnya sebagai syarat mengikuti sertifkasi guru. Kemudian ada ketentuan tentang evaluasi terhadap guru yang telah menerima tunjangan profesi, sehingga tunjangan tersebut bukan sepanjang hayat tapi ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Publik menginginkan agar pemberian tunjangan itu berdasarkan kinerja.
Sekarang ini profesi guru tengah “naik daun”, jika dulu banyak orang yang enggan menjadi guru, maka sekarang menjadi pilihan profesi favorit yang diburu banyak orang. Mahasiswa di fakultas kependidikan tiap tahun membludak peminatnya. Pilihan ini tentunya karena berbagai alasan, mulai dari kesejahteraan yang bisa lebih baik, ada gaji dan tunjangan sertifikasi, jam kerja yang sedikit dan ada waktu luang yang begitu banyak sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kualitas diri, sampai niat suci untuk memajukan pendidikan.
Dengan deretan kemudahan ini seharusnya memberikan kesadaran bagi guru untuk terus mengabdi secara total dengan meningkatkan kualitas diri sehingga dapat meningkatkan kualitas pengajaran di kelas. Artinya apa yang sudah diberikan pemerintah haruslah sebanding dengan apa yang harus dilaksanakan. Semua pihak tengah menanti kiprah guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Apakah dengan anggaran yang sangat berlimpah di sektor pendidikan, kualitas pendidikan di Indonesia akan meningkat atau akan menjadi pengeluaran dana yang sia-sia. ***