Ke(tidak)canggihan Korupsi di Indonesia
Oleh : Fadil Abidin
“In India,
corruption is under the table. In China, it is over the table,
while
in Indonesia corruption includes the table."
Dimuat dalam Kolom OPINI Harian Analisa Medan
Anekdot di atas sering
kita lihat di dunia maya. Dan di dunia nyata ternyata juga nyaris sama. Modus
korupsi di Indonesia ternyata masih menggunakan teknik kelas “rendah” karena
bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh mereka yang tidak pernah sekolah
sekalipun.
Praktik korupsi di Indonesia begitu blak-blakan dan
dilakukan secara terang-terangan. Seperti anekdot di atas, di India, korupsi
dilakukan di bawah meja. Di China, dilakukan di atas meja, sementara di
Indonesia, sekalian mejanya juga dibawa.
Sehingga tidaklah heran jika Anwar Ibrahim,
mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia, pernah menyatakan bahwa korupsi di Indonesia
masih kalah canggih dari Malaysia (republika.co.id, 30/1/2012).
Anwar Ibrahim mengakui penanganan korupsi di Malaysia juga masih
lemah. Tingkat korupsi di negeri jiran itu pun dikatakannya masih tinggi. Menurut
Anwar, ada perbedaan antara fenomena korupsi yang terjadi di negerinya dan
Indonesia. Faktor warisan penjajahan pun ditudingnya memiliki pengaruh terhadap
perbedaan perilaku korupsi tersebut.
“Tingkat korupsi di Malaysia sendiri sesungguhnya tinggi
dan besar. Hanya saja, karena kami ini merupakan warisan penjajahan Inggris,
korupsi dikemas dengan lebih sophiscated (canggih),” ucap Anwar seusai
menghadiri Sarasehan Nasional Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam PB (HMI)
di ITB Bandung (30/1).
Lebih lanjut di hari yang sama tapi di lain kesempatan, Anwar
Ibrahim punya cara sendiri mengkritik soal korupsi yang terjadi di Indonesia,
maupun negaranya, Malaysia. Dengan gaya setengah bercanda, Anwar menyebut
praktek korupsi di negaranya lebih canggih. Di Indonesia, lebih blak-blakan.
"Di
Malaysia, tahap korupsinya itu tinggi, tapi tidak kelihatan," kata Anwar
di sela-sela pidato kebudayaan "Kepemimpinan dalam Dinamika Perubahan
Ekonomi Politik" di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, (30/1/2012). "Itulah hebatnya kita
(Malaysia)."
Menurut Anwar, modus koruptor di dua
negara ini bisa berbeda karena kondisi latar belakang penjajahan kedua negara.
Di Malaysia, menurut Anwar, karena bekas negara jajahan Inggris, di depannya
terlihat santun, tapi di belakangnya, modusnya pelan tapi canggih.
"Inggris ini kan level sophiscation-nya hebat," kata Anwar.
"Jadi dia sudah canggih ketika kemudian diadopsi oleh koruptor
Malaysia."
Adapun
di Indonesia, pengaruh budaya Belanda sebagai negara penjajah juga
mempengaruhi. Belanda, menurut Anwar, dikenal sebagai negara yang keras
sehingga ketika diadopsi Indonesia, modus koruptor juga berbeda dengan
Malaysia. "Di sini (Indonesia)
dilakukan di atas meja, di bawah juga ada," kata Anwar
yang disambut tawa hadirin
(Tempo.co, 31/1/2012).
Karenanya,
kata Anwar, cara korupsi di Indonesia tak dapat diterapkan di Malaysia. Soalnya
gaya dan modusnya berbeda. Jadi modus rasuah (suap-menyuap dan korupsi) di Indonesia pun
jika diterapkan di Malaysia bisa dianggap curang atau malah dibilang tidak
beradab. Padahal esensinya sama: korupsi. "Apa pun bentuknya, korupsi itu
sangat tidak bermoral," ujarnya.
Anwar
menegaskan, masalah utama yang harus dihadapi seluruh bangsa saat ini adalah
keserakahan para pemimpin. "Negara semiskin (sumber daya alam) apa pun
jika diurus dengan baik, maka akan mampu menjaga rakyatnya dengan baik,"
ujar Anwar.
Keserakahan
akan kekuasaan dan kekayaan ini, kata Anwar, yang membuat pemimpin lupa
mengurus rakyatnya. Untuk itu, dia melanjutkan, diperlukan pemimpin yang
benar-benar memikirkan rakyat. "Untuk itu perlu adanya guiding idea
yang harus sesuai dengan kenyataan, tak hanya sekadar ide, tetapi harus diikuti
dengan praktek," katanya. "Inilah pentingnya ketegasan melawan
korupsi."
Anwar mengatakan, di Malaysia ada semacam diplomasi dalam
korupsi. Sehingga, berbagai kasus korupsi di negeri itu disimpan sedemikian
rupa. Hal ini dikarenakan transparansi di negerinya masih menjandi barang
langka. “Jadi di sinilah perbedaan kami dengan Indonesia. Karena Indonesia
warisan penjajahan Belanda, korupsinya tidak canggih. Bahkan sudah
terang-terangan,” tutur Anwar sambil berseloroh.
Korupsi Tidak Canggih
Pertanyaannya, jika korupsi di Indonesia tidak canggih,
mengapa sulit untuk diberantas? Jawabannya adalah political will dari pemerintah yang nyaris tidak ada. Di Indonesia
memang ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan tipikor (tindak
pidana korupsi) yang saat ini telah ada di daerah-daerah. Tapi dalam
implementasinya, pengadilan tipikor justru lebih sering memberikan vonis bebas
atau hukuman yang kelewat ringan kepada para koruptor.
Keadilan di Indonesia itu seperti pisau, tajam ke bawah tapi
tumpul ke atas. Ketika rakyat miskin mencuri seekor ayam seharga Rp 10.000
dihukum 3 bulan penjara dan ketika di tahanan atau penjara tak jarang pula
menerima siksaan fisik. Tapi seorang koruptor yang mencuri uang rakyat sebesar
10 miliar cuma dihukum 3,5 tahun penjara. Dan ketika ditahan atau dipenjara
bisa keluar masuk rumah tahanan. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Sang
koruptor bisa menyewa pengacara mahal yang bisa melobi hakim dan jaksa,
memutarbalikkan fakta serta mencari celah-celah hukum yang ada.
Pemecahan kasus-kasus korupsi di pengadilan Indonesia sengaja
dibuat rumit dan berlarut-larut, padahal kasusnya sudah teramat
terang-benderang. Kasus suap Wisma Atlet Sea Games dan Hambalang yang
melibatkan Nazaruddin dan berbagai pihak misalnya, sangat vulgar dan terang
benderang, tapi sengaja diperumit.
Demikian juga megaskandal Bank Century, kasus ini dibuat
seolah-olah “maha rumit” oleh para pejabat kita. Padahal kasus penggelontoran
dana talangan ini modus operandinya termasuk “kacangan” yang bisa dilakukan
oleh seorang tamatan SD sekalipun.
Nyaris tidak ada kasus yang menggunakan teknik tingkat
tinggi apalagi yang canggih dalam modus korupsi di Indonesia. Kasus-kasus
korupsi di Indonesia pada umumnya masih seputar mark up proyek pembangunan, suap-menyuap
untuk memenangkan tender proyek, penggelapan dana anggaran, penggelapan dana
bantuan sosial, pengadaan barang, dan sebagainya. Semua itu tidak canggih,
karena bisa dilakukan oleh siapa saja asal mempunyai jabatan.
Ketidakcanggihan modus korupsi di Indonesia, diikuti pula
oleh ketidakcanggihan penegakkan hukumnya. Korupsi semakin menjadi karena
hukumannya kelewat ringan dan tidak menimbulkan efek penjeraan. Siapa pun tampaknya
akan bercita-cita melakukan korupsi (bila ada peluang), jika hukumannya cuma 3
– 5 tahun, sementara hasil korupsinya bisa mensejahterakan anak-cucu hingga
tujuh turunan.
Sindiran Anwar Ibrahim bahwa modus korupsi di Indonesia kalah
canggih dengan Malaysia, sebenarya menohok kita semua. Sudah begitu dungukah
bangsa ini, sehingga untuk memberantas korupsi yang tidak canggih saja kita
tidak mampu? ***